Sebagai wadah keilmuan bangsa Indonesia yang pluralistik, kitab suci Al-Qur’an merupakan sumber hukum dan nutrisi jiwa bagi manusia. Dan sosok layaknya Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, nampaknya mengejawantahkannya melalui buah karyanya yaitu tafsiral-Qur’anul Majid an-Nur.
Ia mulai menulis tafsir ini sejak tahun 1952 hingga 1961. Naskah kitab tafsirini langsung ia diktekan kepada seorang pengetik hingga menjadi naskah siap cetak (Bayyinah, 2020, p. 267).
Sistematika PenulisanTafsir al-Qur’anul Majid an-Nur
Sementara itu, untuk sistematika penulisan tafsiral-Qur’anul majid an-Nur sendiri, memakai sistematika penulisan tartib mushafi, karena urutan kajian dalam tafsir ini sesuai dengan urutan surat. Yaitu dimulai dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas (Bayyinah, 2020, p. 268).
Yunahar Ilyas dalam disertasinya berjudul Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufassir Indonesia Modern: Hamka dan M. Hasby Ash Shiddiqiey, Hasbi Ash-Shiddieqy memakai lima metode dalam tafsirnya:
Pertama, menyebut ayat-ayat yang difirmankan untuk mensyarah (menjelaskan) maksud menurut tertib mushaf.
Kedua, menerjemahkan makna ayat dalam bahasa Indonesia supaya mudah dimengerti.
Ketiga, menafsirkan ayat-ayat dengan merujuk kepada makna yang asli.
Keempat, menfsirkan ayat dengan ayat untuk memberikan bantuan terhadap pembaca untuk mengumpulkan ayat-ayat yang sejurus atau sepokok.
Kelima, mensyarah (menjelaskan) asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat) dengan bantuan hadis yang shahih yang diakui para ahli (Irfani, 2019).
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dan Fikih Indonesia
Ulama asal Aceh yang diberi nama Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, merupakan seorang ulama autodidak. Ia menuntut ilmu dari satu dayah ke dayah lainya. Hanya satu setengah tahun pernah mengenyam pendidikan formal di bangku sekolah Al-Irsyad (1926).
Pemikiran-pemikiranya diakui dunia International. Hal tersebut dibuktikannya melalui penyampaian makalahnya di Lahore Pakistan pada tahun 1958, dalam tajuk International Islamic Colloquium (Ash-Shiddieqy, 2012, p. 195).
Terlahir di sebuah bangsa yang besar dengan mayoritas beragama Islam, sepak terjangnya di dunia pendidikan memacu asa angan-angan sosok Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, untuk menelurkan gagasan baru perihal fikih berkepribadian Indonesia.
Di samping tafsirAl-Qur’anul Majid An-Nur, Hasbi Ash-Shiddieqy juga menulis sebanyak 72 buku dan 50 artikel bertemakan tafsir, fikih, hingga tauhid (Ash-Shiddieqy, 2012, p. 196).
Orasi Ilmiah Hasbi Ash-Shiddieqy dalam perhelatan Dies Natalies IAIN Sunan Kalijaga, menegaskan bahwasannya syariat Islam akan harus selalu dikaji supaya menjadi wadah penampung kemaslahatan masyarakat melalui fikih perkepribadian Indonesia.
Di sisi lain, hambatan untuk mempromosikan fikih perkepribadian Indonesia menurutnya disebabkan karena masih maraknya pandangan fanatik (ta’ashub) mazhab tertentu di kalangan masyarakat Indonesia (Irfani, 2019).
Sebuah Problem-Solving
Namun, solusi pemecahan masalah (problem solving) yang ditawarkan Hasbi Ash-Shiddieqy, cukup brilian.
Ia berpesan agar kalangan Perguruan Tinggi (PT) Islam Indonesia, harus memproduksi kader-kader mujtahid berkarakter khas yang mumpuni untuk menjadi agen pengembangan fikih berkepribadian Indonesia.
Sementara itu, dalam perspektif Hasbi, fikih Indonesia merupakan suatu hal yang selaras dan senada dengan kesadaran dan budaya masyarakat. Hasbi tidak ingin memaksakan pemberlakuan fikih dalam bingkai kehidupan sehari-hari.
Aneksasi demikian justru akan sia-sia. Namun menilik kehadiran aspek tradisi sebagai pembentukan hukum Islam yang baru adalah suatu keniscayaan, karena hukum Islam memuat kesetaraan antar masyarakat (egalitarianisme) (Irfani, 2019).
Implementasi gagasan “fiqih Indonesia” direalisasikan Hasbi Ash-Shiddieqy melalui pandanganya tentang zakat, yaitu pengelola zakat ada pada pemerintah, sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat muslim maupun non-muslim.
Untuk itu, menurutnya pungutan zakat berlaku pada muslim maupun non-muslim. Pandangan Hasbi Ash-Shiddieqy berakar pada poin hukum zakat, yang pada dasarnya dimanifestasikan semua agama (Irfani, 2019).
Hasbi Ash-Shiddieqy lah yang pertama menggembar-gemborkan fikih berkepribadian Indonesia sejak tahun 1940 dan dipertegas pada tahun 1960.
Pada mulanya, menimbulkan arus gelombang penolakan, karena mereka menganggap fiqih dan syariat (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Namun justru hal tersebut berbanding terbalik setelah tiga puluh lima tahun semenjak 1960.
Dikarenakan suara-suara yang menginginkan masyarakat Indonesia membutuhkan “fiqih Indonesia” mulai mencuat lagi ke permukaan. Namun, apalah daya di bawah tak berakar di atas tak bertunas. Mereka enggan menyebut siapa penggagas pertama “Fiqih Indonesia” Wallahu’alam (Ash-Shiddieqy, 2012, p. 196).
Editor: Yahya FR