Hiruk-pikuk peringatan Haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara seremonial telah usai. Tenda-tenda di Pesantren Tebuireng yang ramai pada pertengahan Desember lalu mungkin sudah dilipat. Pun demikian keriuhan di Ciganjur pada 20 Desember lalu, yang mengusung tema besar “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”, telah meninggalkan jejak memori.
Namun, esensi Haul sejatinya bukan pada keramaian fisiknya, melainkan pada keheningan refleksinya. Besok, tanggal 30 Desember, adalah titi mangsa yang sesungguhnya yaitu hari ketika Guru Bangsa itu berpulang secara fisik, namun hidup abadi dalam pemikiran kita.
Bagi pembaca IBTimes yang kental dengan kultur modernis, mengenang Gus Dur, seorang tokoh paling otentik dari Nahdlatul Ulama (NU) akan selalu membawa romantisme tersendiri. Meminjam guyonan lawasnya yang tak lekang waktu, Gus Dur mungkin adalah satu-satunya representasi “Warga Muhammadiyah Cabang Tebuireng”.
Rakyat di Mata Gus Dur dan Buya Syafii
Tema Haul ke-16 tahun 2025 ini, “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”, terasa sangat relevan jika kita sandingkan dengan sahabat sejati Gus Dur dari Muhammadiyah: Almarhum Buya Syafii Maarif. Kedua tokoh ini adalah “Dua Sayap Garuda” yang menerjemahkan jargon demokrasi tersebut bukan sebagai prosedur politik semata, melainkan sebagai laku hidup.
Bagi Gus Dur, “Rakyat” adalah mereka yang terpinggirkan (mustadh’afin). Ia membela rakyat bukan dengan pidato berapi-api, tapi dengan kebijakan yang memanusiakan, mulai dari Papua hingga etnis Tionghoa. Sementara bagi Buya Syafii, “Rakyat” adalah Dhomir (nurani) bangsa yang tidak boleh dikhianati oleh elit politik.
Dalam perspektif kajian masyarakat dan budaya, relasi kedua tokoh ini memiliki fungsi sosiologis yang vital sebagai Cultural Broker (perantara budaya). Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk namun rawan tersegregasi dalam kotak-kotak ormas, Gus Dur dan Buya Syafii hadir melampaui sekat-sekat primordial tersebut. Mereka tidak hanya menjadi milik NU atau Muhammadiyah, tetapi menjadi “perekat sosial” (social glue) yang menjahit kembali tenun kebangsaan setiap kali ada gesekan horizontal.
Di tengah situasi kebangsaan kita hari ini, di mana istilah “atas nama rakyat” sering kali dibajak untuk kepentingan oligarki, refleksi dari Ciganjur dan Tebuireng kemarin menjadi tamparan keras.
Jalan Sunyi dan Kontroversi
Mengenang Gus Dur dan Buya Syafii tentu bukan berarti kita sedang mengkultuskan manusia suci tanpa cela. Keduanya adalah manusia biasa yang tak lepas dari kontroversi, bahkan sering kali memantik kemarahan sebagian umat pada zamannya.
Gus Dur kerap kali membuat warga Nahdliyin dan umat Islam “senam jantung” dengan manuvernya. Mulai dari gagasannya membuka hubungan diplomatik dengan Israel, pembelaannya yang tanpa tedeng aling-aling terhadap minoritas yang dianggap sesat, hingga ucapan legendarisnya: “Tuhan tidak perlu dibela”. Bagi sebagian kalangan konservatif, langkah Gus Dur sering dianggap melampaui batas syariat atau “kebablasan”.
Setali tiga uang, Buya Syafii pun tak sepi dari hujatan. Kita masih ingat betul bagaimana di pengujung usianya, Buya Syafii kerap dilabeli “Liberal” bahkan “Sesat” oleh saudara seimannya sendiri, terutama saat suhu politik Jakarta memanas (2016-2017). Sikapnya yang memilih berdiri di atas prinsip keadilan, meski harus berseberangan dengan arus besar massa Islam saat itu, membuatnya di-bully habis-habisan di media sosial.
Namun, justru di situlah letak integritas mereka. Kontroversi yang melekat pada Gus Dur dan Buya Syafii adalah bukti bahwa mereka bukan pemimpin “populis” yang hanya mencari tepuk tangan ( people pleaser).
Mereka berani menempuh jalan sunyi. Mereka rela tidak populer, rela dihujat, bahkan rela ditinggalkan pengikutnya, demi mempertahankan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran nurani dan konstitusi. Inilah teladan yang langka hari ini: pemimpin yang berani mengambil risiko untuk tidak disukai demi membela akal sehat.
Substansi di Atas Simbol: Tinjauan Komunikasi
Keberanian melawan arus itu lahir dari satu titik temu pemikiran mereka: Substansi di atas Simbol. Gus Dur dan Buya Syafii sama-sama “alergi” terhadap formalisme agama yang kaku.
Ingatlah anekdot legendaris tentang rokok. “Di NU merokok itu makruh, di Muhammadiyah haram,” kata Gus Dur. “Kenapa? Karena di Muhammadiyah, rokoknya ‘dimatikan’ (Muhammadiyah) dulu, nggak boleh dihisap.”
Secara Ilmu Komunikasi, guyonan ini bukan sekadar lelucon warung kopi. Ini adalah strategi komunikasi tingkat tinggi yang disebut sebagai tension reduction (pengurangan ketegangan). Gus Dur menggunakan humor sebagai media diplomasi kultural untuk mencairkan komunikasi yang beku akibat perbedaan doktrin.
Ia mengubah pesan teologis yang “berat” dan kaku menjadi pesan yang cair dan inklusif. Dengan tawa, Gus Dur mengajak kita mendekonstruksi sakralitas ormas yang berlebihan, sehingga dialog antar-kelompok bisa terjadi tanpa urat leher yang tegang.
Kerinduan Pada Penjaga Moral
Sepeninggal mereka, lanskap ormas keagamaan kita mengalami pergeseran signifikan. Jika Gus Dur dan Buya Syafii adalah tipe “Pemimpin Kultural” yang bergerak dengan kekuatan moral (moral force) untuk mengoreksi jalannya negara, hari ini kita mungkin lebih sering melihat wajah “Pemimpin Struktural”.
Pemimpin ormas hari ini memang sukses menjadikan organisasi lebih rapi secara manajerial, ekspansif secara aset global, dan lihai dalam negosiasi politik tingkat tinggi. Namun, ada satu hal yang terasa hilang: Daya Kritis.
Kita merindukan sosok pemimpin umat yang tidak silau oleh cahaya kekuasaan. Kita rindu tokoh yang berani menempuh risiko menjadi tidak populer, tidak punya beban birokrasi, dan berani “miskin” demi menjaga independensi masyarakat sipil (civil society). Gus Dur dan Buya Syafii mengajarkan bahwa ormas Islam seharusnya menjadi “Rem Moral” bagi negara yang ugal-ugalan, bukan sekadar menjadi stempel legitimasi atau penyedia massa bagi elit politik.
Merawat Warisan
Kini, di penghujung tahun 2025, Haul ke-16 telah berlalu. Acara di Jombang, Jakarta, Cirebon, Malang, hingga Gresik telah usai. Namun tugas kita belum selesai.
Mari jadikan tanggal 30 Desember ini sebagai momen kontemplasi. Di tengah polarisasi yang masih tersisa, mari kita teladani keberanian Gus Dur dan Buya Syafii. Keberanian untuk berbeda pendapat, keberanian untuk membela yang lemah, dan keberanian untuk tetap waras di tengah gempuran fanatisme.
Lahul Fatihah untuk Gus Dur dan juga sahabat sejatinya Buya Syafii. Semoga kita bisa merawat demokrasi ini dengan akal sehat, selera humor yang baik, dan keberpihakan nyata pada rakyat.

