Peran Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Quran
Memaknai dan menafsirkan teks kitab suci yang diwahyukan kepada para nabi pasti menimbulkan pertanyaan. Misalnya apakah bahasa yang digunakan dalam kitab suci tersebut adalah bahasa Tuhan atau perkataan Tuhan yang dibahasakan oleh nabi sesuai dengan bahasa daerahnya? Faktanya adalah bahwa bahasa yang digunakan dalam kitab suci yakni bahasa manusia. Pertanyaan selanjutnya, di mana letak kesucian kitab suci itu, apakah pada aspek bahasa, simbol atau maknanya? Maka disinilah peran hermeneutika untuk memudahkan kita dalam memahami teks al-Quran.
Fakta menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam kitab suci tidak lepas dari bahasa lokal tempat para nabi dilahirkan, seperti kitab suci Weda dalam agama Hindu dengan bahasa Sanskerta, Tripitaka dalam Budha dengan bahasa Pali, Zarathustra dalam Zoroaster dengan bahasa Persia, Taurat dalam Yahudi dengan bahasa Ibrani, Bibel dalam Kristen dengan bahasa Aramaik, al-Quran dalam Islam dengan bahasa Arab dan Granth Sahib dalam Sikh dengan bahasa Punjabi.
Mengenai posisi ini, sebagian ulama menilai bahwa kesuciannya lebih pada maknanya, bukan pada substansi bahasanya. Dengan keterbatasan manusia termasuk para nabi dalam menangkap dan memahami grand idea dari kitab suci, menjadikan kebenarannya tidak lagi bersifat absolut, tetapi relatif.
Pandangan Pakar Hermeneutika
Hermeneutika pada awalnya dikembangkan sebagai alat untuk menafsirkan Bibel, kemudian berkembang sebagai alat interpretasi bidang-bidang ilmu yang lain seperti sastra, budaya, sosiologi, filsafat, dan lainnya. Adapun tokoh-tokoh yang mengembangkan metode hermeneutik adalah Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Gorge Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur dan Jacques Derrida.
Kalau ditelisik secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan dan dalam bahasa Inggris disebut hermeneutic. Dalam studi keislaman, padanan kata yang paling dekat dengan makna hermeneutik adalah tafsir, ta’wil, syarah dan bayan.
Menurut Zygmunt Bauman, bahwa hermeneutik merupakan sebuah upaya menjelaskan, menelusuri dan pengertian dasar yang tidak jelas, kontradiktif dan masih kabur. Sedangkan Schleiermacher menjelaskan, hermeneutik merupakan sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma.
***
Berbeda dengan Schleiermacher, Recouer mengatakan bahwa hermeneutika sebagai interpretasi terhadap simbol-simbol dan sebuah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Tak kalah juga, Schleiermacher membagi dua tugas hermeneutika, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Schleiermacher juga menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi objektif-historis dan subjektif-historis terhadap sebuah pernyataan.
Rekonstruksi objektif-historis bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan. Sedangkan rekonstruksi subjek-historis dimaksudkan untuk membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Dari sini dapat diketahui bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.
Pendekatan Tokoh Feminis dalam Memahami Teks
Dalam perkembangannya, kelompok feminis Islam mulai menggunakan hermeneutika sebagai alat interpretasi al-Quran untuk mencari makna yang lebih integral dan holistik. Bagi kaum feminis, apa yang dihasilkan oleh ulama ortodok dalam menafsirkan al-Quran mengandung bias gender, sehingga dibutuhkan sebuah metode yang mampu menggali lebih jauh makna yang tersembunyi dalam teks.
Asma Barlas juga menyebutkan tiga metode untuk memahami teks al-Quran yaitu, reading behind the text, reading the text, reading in front of the text. Bagi Barlas, metode hermenutika penting untuk diterapkan dalam rangka memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan teks al-Quran tanpa didasari dengan prejudis bias gender. Tak hanya itu, menurut Barlas, Al-Quran memiliki dua suara yakni, laki-laki dan perempuan. Tuhan sendiri lintas gender dan tidak memiliki gender. Begitu juga dengan suara-suara yang terdapat dalam kitab suci al-Quran.
***
Pertama, reading behind the text. It means to reconstruct the historical ‘context from which the text emerged, bagaimana teks dilihat dalam kaitannya dengan sejarah tempat dan waktu teks itu muncul. Dari teks masa lampau ini, teks bukan milik si penyusun lagi, melainkan setiap orang. Mereka bebas untuk menginterpretasikan. Dalam hal ini, penafsir harus mempertimbangkan faktor di luar teks yang menyebabkan teks itu lahir.
Kedua, reading the text adalah bagaimana teks itu diinterpretasi dan bukan pada hal yang di luar teks. Interpreter atau penafsir penuh dengan prejudice yang akan menghasilkan dialog dengan masa sebelumnya sehingga akan muncul penafsiran yang sesuai dengan konteks interpreter.
Ketiga, reading in front of the text. It means to recontextualize it in the light of present needs, something that requires a double movement, from the present to the past and back to the present, bagaimana teks bisa menciptakan pandangan-pandangan yang ideal. Ada nuansa-nuansa baru yang sifatnya produktif atau dalam bahasa teks ada keterkaitan antara the world of the text dengan the world of the author, dan dengan the world of audience.
Konsep Hermeneutika Tokoh Feminis Lain
Pendekatan yang ditawarkan oleh Asma Barlas berbeda dengan pendekatan Gadamer dalam memahami teks. Gadamer melihat teks dalam bingkai waktu yaitu masa lampau (past) masa sekarang (present) dan masa yang akan datang (future). Dari ketiga pendekatan yang ditawarkan oleh Gadamer, Asma Barlas mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, ketiganya harus digunakan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Menariknya, ternyata tokoh feminis lain, Fatima Mernissi mempunyai konsep yang sama dengan para tokoh hermeneutika lainnya. Fatima menekankan pentingnya dekonstruksi sejarah dan penafsiran ulang atas ayat-ayat al-Quran. Dekonstruksi sejarah dianggap sangat penting untuk melihat seluruh perdebatan dan pergulatan yang berlangsung di seputar masalah perempuan dan gender.
Di awal sejarahnya, perempuan Muslim sangat aktif dalam berbagai kegiatan publik, tetapi fase-fase selanjutnya mengalami penurunan. Bagi Mernissi, hal ini banyak disebabkan oleh intervensi dan over-control dari penguasa Muslim. Maka lanjut Mernissi mereka harus bertanggung jawab atas rendahnya pandangan masyarakat terhadap perempuan.
Tak hanya Mernissi, Amina Wadud juga menawarkan rekonstruksi metodologi tafsir yakni metode hermeneutika al-Quran yang selalu berhubungan dengan tiga aspek. Pertama, dalam konteks apa teks itu ditulis, atau dalam kaitannya dengan al-Quran adalah dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan. Kedua, bagaimana komposisi tata bahasa teks atau ayat tersebut, bagaimana pengungkapannya dan apa yang dikatakannya. Ketiga, bagaimana keseluruhan teks sebagai weltanschaung (pandangan dunia).
Dengan adanya beberapa metode ini diharapkan bisa menangkap spirit dan ide-ide dalam al-Quran. Baik yang tersirat maupun tersurat secara holistik dan integral. Sehingga tidak akan terjebak pada pemahaman yang bersifat parsial dan bias gender. Tetapi tidak memungkinkan juga akan adanya benturan pemahaman dan penafsiran teks dan konteks ayat-ayat dalam al-Quran.
Editor: Miftachul W. Abdullah