Kajian tentang hadis-hadis rukyat telah dilakukan oleh para peneliti baik dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya adalah “Hermeneutika Hadis-Hadis Rukyatul Hilal” oleh Abdul Majid (1438/2017). Penelitian ini mencoba memahami hadis rukyat dengan menggunakan teori interpretasi hermeneutika Jorge J.E. Gracia, yang mengacu pada tiga macam fungsi, yakni fungsi historis, fungsi makna, dan fungsi implikatif. Ketiga fungsi ini sangat penting dalam memahami hadis-hadis rukyat sehingga dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif.
Berdasarkan hasil kajiannya, peneliti menyimpulkan hadis-hadis rukyatul hilal meliputi perintah estimasi ketika hilal tidak terlihat, perintah istikmal, pernyataan kesaksian melihat hilal, keummian umat Islam, dan matlak. Dalam perspektif sanad, hadis-hadis tersebut dinilai autentik oleh para pengkaji hadis. Hanya saja dalam praktiknya pemahaman tekstual lebih dominan di kalangan umat Islam. Padahal secara historis rukyat mengandung pengertian ru’yat bil ‘ain, ru’yat bi al-Ilm, dan ru’yat bi al-Qalb.
Akibat pemahaman tekstual yang dominan, maka “rukyat” digunakan sebagai alat penentu memulai dan mengakhiri Ramadan karena dianggap secara tekstual sesuai pesan Nabi saw. Hal ini menjadikan upaya unifikasi kalender Islam seringkali mengalami kebuntuan. Mengapa? Satu pihak memahami hadis rukyat secara tekstual, sedangkan pihak lain memahami secara kontekstual.
Menurut Abdullah Saed, sebagaimana dikutip Sahiron Syamsuddin kelompok tekstual lebih mengutamakan aspek bahasa dan mengabaikan aspek historis. Sementara kelompok kontekstual memadukan aspek bahasa, aspek sejarah, dan aspek maghza.
Dua tipologi yang berkembang di atas, khususnya dalam memahami hadis-hadis rukyat perlu diletakkan secara proporsional tanpa merendahkan satu dengan lainnya. Masing-masing memiliki argumentasi dan tidak lepas dari wacana dan epistema yang mengitarinya. Pertanyaan yang dapat dimunculkan apakah dua tipologi tersebut bisa dipertemukan? Jawabnya bisa jika kedua belah pihak “open mind” dan menyadari keilmuan yang dimiliki sangat terbatas. Kasus Covid-19 menyadarkan umat Islam agar dalam menyelesaikan perkara tidak cukup dengan satu disiplin keilmuan. Perlu pendekatan multidisiplin dan interdisiplin.
Dalam kasus mencari titik temu antara hisab dan rukyat ada yang berpendapat “kriteria tunggal” adalah 𝙥𝙖𝙣𝙖𝙘𝙚𝙖 untuk mewujudkan kebersamaan. Sekilas tawaran ini sangat logis dan ilmiah. Namun dalam praktiknya masih jauh dari harapan. Misalnya dalam penentuan awal Jumadil Awal 1444 H. Berdasarkan data hisab ijtimak : Kamis 24 November 2022, ketinggian hilal di Jayapura 3,41° – di Pelabuhan Ratu 4,92° dan elongasi di Jayapura 4,98° – Banda Aceh 6,58°. Dari 28 lokasi rukyatul hilal Awal Bulan Jumadil Awal 1444 H, Kamis 24 November 2022 oleh Tim BMKG di seluruh Indonesia, dari Papua sampai Banda Aceh, hilal tidak teramati, karena ufuk Barat dari lokasi rukyatul hilal berawan tebal dan sebagian hujan.
Data hasil hisab di atas sudah memenuhi kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS (3,6.4) namun tidak terkonfirmasi adanya laporan keberhasilan melihat hilal sehingga awal Jumadil Awal 1444 H jatuh pada hari Sabtu 26 November 2022. Seharusnya jika konsisten dengan kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS (3,6.4) maka permulaan Jumadil Awal 1444 H jatuh pada hari Jum’at 25 November 2022 dan tidak perlu dilakukan istikmal. Kasus ini menggambarkan kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS (3,6.4) sebatas sebagai pemandu rukyatul hilal bukan sebagai penentu. Apalagi dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal tidak ada yang bisa menjamin Neo-Visibilitas Hilal MABIMS sebagai penentu, kecuali Singapore.
Sikap pengguna rukyat di atas dapat dimaklumi karena secara organisasi terikat dengan Keputusan Munas Alim Ulama di Sukorejo Situbondo pada tanggal 6 Rabiul Awal 1404/21 Desember 1983 yang dimuat dalam “Ahkamul Fuqaha'” No. 342 sebagai berikut …..𝘗𝘦𝘯𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘙𝘢𝘮𝘢𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘚𝘺𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘩𝘪𝘴𝘢𝘣, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘥𝘪𝘪𝘬𝘶𝘵𝘪. 𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘑𝘶𝘮𝘩𝘶𝘳𝘶𝘴 𝘚𝘢𝘭𝘢𝘧 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘵𝘴𝘶𝘣𝘶𝘵 𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘙𝘢𝘮𝘢𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘚𝘺𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘪𝘳𝘳𝘶’𝘺𝘢𝘩 𝘢𝘶 𝘪𝘵𝘮𝘢𝘮𝘪𝘭 𝘵𝘴𝘢𝘭𝘢𝘵𝘴𝘪𝘯𝘢 𝘺𝘢𝘶𝘮𝘢𝘯”. Sepanjang pembacaan penulis sampai sekarang keputusan ini masih dipedomani. Realitas ini tampaknya kurang dipahami pihak yang hanya mengedepankan kriteria sebagai solusi utama untuk mencari titik temu. Selagi tidak ada titik kesamaan antara paham tekstual dan kontekstual, dalam memahami hadis-hadis rukyat untuk menentukan awal bulan Kamariah maka titik temu hanya bersifat utopis. Dengan kata lain, kriteria apapun yang ditawarkan tidak akan menyelesaikan masalah hisab dan rukyat. Apalagi menghadirkan kalender Islam pemersatu.
Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan kalender Islam pemersatu langkah utama adalah memadukan paham tekstual dan kontekstual dengan mempertimbangkan manhaj yang dikembangkan. Selanjutnya hadis-hadis rukyat dimunasabahkan dengan QS. At-Taubah ayat 36 yang menjelaskan tentang jumlah bulan dalam setahun, yaitu Muharam, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Jika langkah ini bisa dilakukan, maka kriteria apapun yang diinginkan sesuai pesan nas dan sains dapat digunakan. Sehingga akhirnya kehadiran kalender Islam pemersatu dapat segera diwujudkan.
Editor: Soleh