Inspiring

Imam Al-Ghazali: Mereka yang Muslim dan Mereka yang Kafir

4 Mins read

Umat Islam pasti sangat mengerti tentang istilah “kafir”. Sebab kata kafir ini merupakan kata yang lazim diucapkan pada satu kelompok ke kelompok yang lain. Terutama dengan niat untuk merendahkan, menyalahkan, atau menyesatkan.

Meskipun, tema kafir sebenarnya merupakan problem paling krusial masyarakat Muslim sepanjang sejarah. Biasanya, perdebatan-perdebatan yang panjang dan konflik-konflik yang tak pernah usai di kalangan masyarakat Islam hampir selalu bermuara pada isu kafir ini.

Al-Ghazali dan Kitab Al-Tafriqah

Di sini, saya ingin menghadirkan satu tokoh penting dalam kesarjanaan Islam. Tentu tentang bagaimana ia memahami konsep “kafir” dalam ruang lingkup ilmu-ilmu Islam. Beliau adalah Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), Imam al-Ghazali lahir di Thus dari keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai pemintal benang. Ia merupakan tokoh besar yang menurut saya, selalu menakjubkan. Sejumlah predikat kesarjanaan dianugrahkan kepadanya, filosof, teolog, faqih, dan sufi besar.

Pikiran-pikiran al-Ghazali selalu mengangumkan. Karya-karya intelektualnya sangat subur, kritikal, tajam, dan ensiklopedis. Bahkan, sang guru, Imam Haramain, sebagaimana saya kutip dari bukunya kyai Husen Muhammad (2011), menyebut al-Ghazali sebagai “Bahr Mughdiq” (lautan luas-deras).

Di antara sekalian banyak karya al-Ghazali yang sangat mengagumkan, ada satu kitab penting yang pernah ia tulis, yakni berjudul Fayshal al-Tafriqah bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Tidak ada yang tahu secara persis, kapan kitab ini ditulis, tapi banyak ulama berpendapat bahwa kita ini ditulis sebelum al-Ihya’ ‘Ulum al-Din. Sebab, isi kitab ini menggambarkan proses pergulatan intelektual yang mencekam dan menggetarkan jiwa. Boleh jadi, kitab ini ditulis ketika al-Ghazali sedang menjalani proses ‘uzlah atau proses transisi dari corak pemikirannya yang teologis-filosofis ke spiritual-esoteris.

Dilihat dari judulnya, kita mungkin sudah dapat menerawang bahwa kitab al-Tafriqah ini berisi penjelasan tentang konsep penting antara “Muslim” dan “Kafir”. Misalnya, siapa sebenarnya yang bisa disebut sebagai Muslim dan siapa pula yang boleh disebut kafir?

Baca Juga  Islamofasisme: Gerakan Islamisme atau Gerakan Nasionalisme Ekstrem?

Kegelisahan al-Ghazali dalam merumuskan konsep kafir juga tidak lepas dari pergolakan sejarah Islam di era klasik, di mana ada peristiwa besar yang kemudian dikenal sebagai “al-Fitnah al-Kubra” (fitnah besar). Paling tidak, peristiwa ini menandakan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dalam sekte-sekte akidah yang saling menyalahkan, bahkan membunuh, seperti Syi’ah, Murji’ah, Khawarij, dan Jama’ah al-Muslimin.

Ini terjadi pasca terbunuhnya khalifat ketiga, Utsman bin Affan. Meski peristiwa ini akibat dari gejolak politik, tapi ujung-ujungnya mengarah ke perdebatan teologis, yakni soal Muslim dan kafir.

***

Dalam pandangan al-Ghazali, sekte-sekte yang saling berpecah di antara mereka merupakan kumpulan dari orang-orang yang dungu cara berpikirnya. Orang yang berpandangan bahwa kafir adalah orang yang menolak atau menentang doktrin mazhab/sekte seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ari, Hanbali, atau mazhab lainnya. Baginya, hal itu merupakan suatu kebodohan yang nyata dan kebutaan pikiran yang kelam.

Bahkan, al-Ghazali mengkritik sejumlah teolog yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengetahui ilmu teologi secara mendalam atau hanya karena mereka tidak mengetahui dalil-dalil agama sebagaimana pengetahuan para teolog. Imam al-Ghazali menganggap bahwa para teolog itu telah membatasi rahmat Tuhan yang sungguh mahaluas dan dianugerahkan untuk semua mahluk-Nya.

Agaknya, al-Ghazali ingin mengatakan bahwa kebenaran itu sebenarnya tidak tunggal dan bahwa kebenaran itu tidak terkait dengan pandangan orang atau golongan, tidak juga karena dianut oleh mayoritas atau minoritas. Siapapun berhak memperoleh kebenaran dari Tuhan, seseorang atau suatu kelompok besar pun, kecuali Nabi, tidak bisa dijadikan ukuran atas klaim kebenaran.

Makna Muslim dan Kafir Menurut Al-Ghazali

Menurut al-Ghazali, “Kufr” (kafir) dan “iman” (Muslim), adalah termonologi agama, dan bukan termonologi sekular. Karenanya, istilah ini haruslah dipahami berdasarkan literatur-literatur yang otentik melalui sumber agama.

Baca Juga  Islam Rahmatan lil Alamin: Tiga Pandangan Tokoh Muslim

Al-Ghazali mendefinisikan kafir sebagai orang yang mendustakan Nabi Muhammad dan hal-hal yang disampaikannya. Sedangkan imam/Muslim adalah orang yang membenarkan semua yang disampaikan Nabi Saw.

Rumusan yang diberikan al-Ghazali ini rasa-rasanya sangat simpel dan jelas serta tentu saja membawa konsekuensi bahwa penganut agama lain yang tidak percaya dengan Nabi Muhammad, seperti Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain, masuk kategori kafir, karena memang agama ini lahir sebelm Islam. Dalam konteks ini, al-Ghazali berbicara atas nama seorang teolog bukan filosof.

Namun demikian, bila mencermati lebih lanjut, rumusan yang diberikan oleh al-Ghazali tidaklah sesederhana itu. Meski tampak lugas, tetapi perlu penjelasan yang lebih luas dan mendetail. Misalnya bisa dilihat melalui perkataan al-Ghazali, “Ketauhilah bahwa apa yang saya sampaikan tentang kafir dan Muslim, meskipun jelas dan lugas, di baliknya masih ada yang tersembunyi. Sebab, setiap kelompok Islam mengkafirkan lawannya dan mengatakan mereka telah mendustakan Nabi Muhammad”.

Lima Hermeneutika Imam Al-Ghazali

Bila kita cermati lebih jauh, apa sebenarnya yang dimaksud oleh al-Ghazali dengan kata “mendustakan” atau “membenarkan” Nabi dalam mendefinisikan “kafir” dan “Muslim”? Bagaimana sebuah pernyataan, dalam hal ini pernyataan Nabi, dapat dinyatakan benar atau salah? Bagaimana seseorang bisa mengetahui dengan pasti bahwa sebuah berita berasal dari Nabi, sedangkan ia hidup jauh setelah Nabi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik ini, al-Ghazali menawarkan landasan teoritik berbasis pada teori hermeneutika atau dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an klasik disebut sebagai teori takwil, yakni pendekatan dalam memahami sebuah teks.

Esensi (wujud) dari sebuah berita atau pernyataan, menurut al-Ghazali, dapat dinyatakan benar atau salah berdasarkan lima kerangka pendekatakan. Adapun di antaranya;

Pertama, Wujud Dzatiy, ia merupakan wujud hakiki. Keberadaannya bukan didasarkan atas perasaan maupun analisis akal pikiran, meski begitu akal dan perasaan bisa menangkap wujud itu. Seperti wujud langit, bumi, Kursi, ‘Arsy, dan sebagainya. Semua wujud itu sifatnya niscaya, riil, dan nyata adanya.

Baca Juga  Ngaji Online, Euforia Sesaat Budaya Digital Bulan Ramadan?

Kedua, Wujud Hissiy, suatu wujud yang dapat ditangkap oleh kemampuan dari data indra yang abstrak dan bukan wujud nyata. Seperti mimpi, ketika seseorang bermimpi, wujud di dalam mimpinya benar-benar ada dan dapat dilihat, tetapi faktanya ia tidak ada.

Ketiga, Wujud Khayaliy, yakni khayalan atau imajinasi. Seseorang dapat melihat dan mendengar objek dalam keadaan sadar, tetapi objek itu tak ada wujudnya dalam realitas.

Keempat, Wujud ‘Aqliy, rasio atau wujud yang memiliki ruh, substansi, atau makna. Seperti kursi, tv, dan rokok, ia memiliki wujud nyata yang rasional.

Kelima, Wujud Syibbiy, bentuk wujud yang tanpa bentuk, tanpa makna, dan tanpa realitas. Ia merupakan wujud metaforis dan kiasan. Contohnya seperti pengetahuan-Nya, senyum-Nya, kesabaran-Nya, dan seterusnya.

***

Kelima pendekatan ini, harus benar-benar dipakai dalam memahami pernyataan atau berita dari Nabi Saw. Ketika berita Nabi itu bisa ditafsirkan, dipahami, atau ditakwilkan dalam kerangka lima metode hermeneutik di atas, maksudnya seseorang memahami berita Nabi menggunakan teori itu, maka ia tidak bisa disebut kafir. Dengan kata lain, seseorang bisa dikatakan kafir, apabila cara pandangnya telah keluar dari lima kerangka hermenutik tersebut.

Jadi arti mendustakan Nabi adalah mendustakan semua bentuk interpretasi itu. Dan, arti membenarkan Nabi adalah membenarkan minimal menggunakan salah satu dari lima teori tadi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh al-Ghazali dalam kitabnya al-Tafriqah halaman 182, “Perhatikan, sesungguhnya siapa pun yang memahami ucapan Nabi dengan salah satu jenis takwil ini, maka dia termasuk orang yang membenarkan Nabi. Tetapi seseorang dikatakan mendustakan Nabi apabila menafikan semua makna-makna ini”.

Editor: Soleh

Avatar
19 posts

About author
Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *