Fikih

Tipologi Puasa ala Al-Ghazali: Puasa Umum, Khusus, Khususul Khusus

3 Mins read

Perintah Puasa dalam Al-Qur’an

Internalisasi merupakan penanaman suatu nilai ke dalam jiwa individu sehingga tercermin sikap dan perilaku dari nilai yang ditanamkan.

Dengan demikian, internalisasi tasawuf al-Ghazali pada bulan puasa Ramadhan ialah menanamkan nilai-nilai ajaran tasawuf al-Ghazali ke dalam individu untuk memaksimalkan amal ibadah di bulan Ramadhan dan meningkatkan perkembangan spritual umat.

Ramadhan yang identik dengan bulan puasa selalu dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Dalam suasana yang damai, tentram, dan penuh kasih sayang di bulan suci Ramadhan ini, umat Islam mempunyai peluang besar untuk menghayati makna ibadah puasa.

Mereka juga berkesempatan untuk meningkatkan spritualitas diri sebagai benteng keimanan di tengah krisis rohani yang melanda sebagian masyarakat era modern ini.

Ramadhan ialah kesempatan untuk mengoreksi jalan hidup muslim yang kerap berbelok saat dihadapkan dengan berbagai pilihan dan godaan dunia.

Sebagaimana Al-Qur’an memerintahkan puasa dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang bertujuan mengantarkan orang-orang yang beriman mencapai derajat muttaqin.

Sehingga, Islam mewajibkan puasa dengan tujuan menjadikan manusia mencapai tingkat perkembangan spritual yang paling tinggi. Sebagaimana al-Ghazali berkata tujuan puasa adalah untuk menundukan hawa nafsu.

Rahasia Puasa Menurut al-Ghazali

Al-Ghazali dalam kitabnya ihya’ ulumuddin menyebutkan enam rahasia puasa: pertama, menundukkan mata dan mencegahnya dari memperluas pandangan ke semua yang dimakruhkan, dan dari apapun yang melalaikan hati untuk berdzikir kepada Allah.

Kedua, menjaga lisan dari igauan, dusta, mengumpat, fitnah, mencela, tengkar, dan munafik.

Ketiga, menahan telinga dari mendengar hal-hal yang dimakruhkan. Karena semua yang haram diucapkan, haram pula didengarkan.

Kempat, mencegah bagian tubuh yang lain seperti tangan dan kaki dari tindakan-tindakan dosa, juga mencegah perut dari makan barang syubhat ketika berbuka.

Baca Juga  Tirakat Kebangsaan di Tengah Kebisingan Ruang Publik

Kelima, tidak memperbanyak makan ketika berbuka, mengisi perut dan mulut dengan sewajarnya.

Keenam, supaya hati setelah berbuka bergoncang antara khouf (takut) dan roja’ (mengharap). Karena, ia tidak tahu apakah puasanya diterima dan ia menjadi orang yang dekat dengan Allah, ataukah puasanya ditolak dan ia menjadi orang yang jauh.

Tipologi Puasa ala Al-Ghazali

Tentu orang yang berpuasa terdapat tingkatan-tingkatan, setidaknya dalam hal ini al-Ghazali membagi tiga tipologi orang yang berpuasa, yakin puasa umum, khusus, dan khususul khusus.

Pertama, Puasa Umum

Yaitu mencegah perut dan kemaluan dari pada memenuhi keinginannya. Pada tingkat ini orang yang melakukan puasa tidak akan terbatas dari kemaksiatan, karena orang pada tingkat ini tidak mengikutkan hatinya untuk berpuasa pula.

Dan tingkatan ini terbagi menjadi dua kategori yakni orang yang berpuasa karena pengaruh lingkungan semata sehingga puasanya layak disebut puasa tradisi.

Selanjutnya ialah orang yang berpuasa disertai pengetahuan tentang dasar-dasar puasa, seperti syarat rukun, dan yang membatalkan puasa.

Jadi, puasa yang mereka lakukan sah dan sesuai dengan aturan syari’at. Hanya saja, mereka hanya mementingkan keberagamaan lahiriah.

Oleh karena itu, puasa seperti ini dikategorikan sebagai puasa umum atau puasa pemula, karena baru memenuhi kriteria dasar pelaksanaan puasa. Menurut al-Ghazali, puasa tingkatan umum ini ditandai dengan upaya menahan perut dan syahwat saja.

Kedua, Puasa Khusus

Yaitu berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya dari pada dosa.

Menurut al-Ghazali, perbedaan antara tingkatan umum  dan tingkatan khusus terletak pada pengekangan diri yang dilakukan masing-masing.

Pada tingkatan umum, orang berpuasa dengan menahan diri dari makan, minum, dan segala hal lain yang membatalkan puasa.

Baca Juga  Masihkah Sufisme Relevan Bagi Masyarakat Modern?

Sementara, kalangan khusus berpuasa dengan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, disertai menahan diri dari segala perbuatan buruk.

Adapun puasa khusus ini merupakan puasanya orang-orang shalih, maka puasa ini adalah menahan anggota-anggota badan dari dosa-dosa.

Sehingga implikasi orang yang mampu melaksanakan puasa tingkat khusus adalah menemukan kenikmatan hidup dan ketenangan bathin serta merasa selalu dekat dengan Allah SWT.

Ketiga, Puasa Khususul Khusus

Yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya daripada selain Allah SWT secara keseluruhan.

Puasa khususul khusus menurut al-Ghazali adalah puasanya para Nabi, orang-orang siddiq dan yang dekat dengan khalik, menganggap batal apabila memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga hatinya lupa terhadap Allah SWT.

Bagi orang yang sudah mencapai tingkatan ini, selain harus mengendalikan diri dari segala yang membatalkan puasa, ia juga harus mengendalikan nafsu psikologis agar tidak memikirkan segala sesuatu selain Allah.

Baginya, segala bentuk pikiran, imajinasi, dan ilusi yang menjauhkan kita dari Allah akan merusak puasa. Orang yang mampu melaksanakan puasa khususul khusus akan merasa dilihat dan diawasi oleh Allah setiap aktivitas yang ia lakukan.

Internalisasi Tasawuf di Bulan Puasa

Setelah mengetahui rahasia, hikmah, dan tujuan puasa seharusnya umat Islam melakukan puasa bukan sekedar pada tingkat umum.

Ia harus belajar bagaimana berpuasa hingga pada tingkat khusus bahkan khususul khusus. Umat Islam yang tengah berada di bulan suci Ramadhan, sudah seharusnya meningkatkan kualitas ibadah dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai tasawuf pada setiap individu.

Hadirnya bulan suci Ramadhan sebagai wadah meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Dan secara tidak langsung, umat Islam juga diajarkan untuk zuhud yakni meninggalkan perkara dunia yang di dalamnya berisi duri yang dapat membuatnya menyesal dikemudian hari.

Baca Juga  Spiritualitas Puasa: Sebuah Terapi Gejala Psikologis

Diajarkan untuk sabar yakni menerima segala ketentuan Tuhan, diajarkan wara’ yakni menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan syubhat, dan dari puasa diajarkan pula segala hal berupa nilai-nilai tasawuf lainnya.

Editor: Yahya FR

Ach. Syaiful Islam
2 posts

About author
Guru TMI Al-Amien Prenduan Madura
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *