Tafsir

Ulul Albab, Karakter yang Harus Dimiliki!

7 Mins read

Sains Umat Islam antara Cita dan Fakta

Ulul Albab – Tidak perlu mempertentangkan antara agama dan sains. Sebab pada keduanya memiliki sudut pandang dan struktur karakteristik yang ada pada keduanya mempunyai spesifikasi yang tidak harus dibenturkan antara satu dan yang lainnya.

Sebagai umat Islam, tidak cukup hanya bangga dengan capaian peradaban Islam dalam sains di masa lampau. Karena masa keemasan di masa itu adalah berkat kemampuan imajinasi yang tinggi para ilmuwan Muslim dalam menggali, meneliti, dan menemukan sesuatu yang berbuah karya bagi peradaban umat di masa itu.

Sementara sekarang ini, umat di belahan negara Muslim banyak yang terpecah dalam perang saudara, generalisasi firqah, kebanjiran narasi hoaks, perbenturan paham keagamaan, dan klaim kebenaran masing-masing. Sehingga, fokus menunjukkan regenerasi para kreator umat dalam bidang sains belum berjalan secara drastis dan spetakuler.

Bila dilihat kilas balik dalam sejarah, sebagaimana dijelaskan Mulyanto (2003: xi), pasang naik gelombang ilmu pengetahuan itu disebabkan basis territorial budaya Islam yang luas meliputi kota-kota dengan kebudayaan seribu tahun, seperti Alexandria, Damaskus, Isfahan, dan Baghdad.

Para pemimpin Islam memahami faedah pengembangan ilmu pengetahuan bagi umat melalui berbagai upaya ilmiah. Itulah yang terjadi dan sejarah mencatat semua. Kita dapat dengan bangga menghafal nama-nama besar, seperti: Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi, Jabir bin Hayyan, atau Al-Biruni.

George Sarton, seorang sejarawan ilmu pengetahuan—menyebutkan masa-masa itu sebagai zaman Islam karena berlangsung berturut-turut selama 350 tahun (750-1100 M). Kemudian, diikuti munculnya ilmuwan Barat seperti Gerard de Cremona dan Robert Bacon, tetapi hanya 250 tahun, dan ini menunjukkan capaian Barat itu pun belum mampu menandingin ilmuwan Muslim.

Dengan kata lain, total pengaruh ilmuwan Muslim mencapai selama 6 abad—sebuah capaian waktu yang demikian panjang.

George Sarton mengelompokkan periode sejarah berdasarkan tokoh ilmuwan besar yang muncul setelah setengah abad. Termasuk kriteria tersebut adalah Gerard de Cremona (1114-1187 M) dan Roger Bacon (1214-1294 M) pada awal ke-12.

***

Ilmuwan Barat lain—yang tidak termasuk dalam kriteria Sarton—dapat juga disebut di sini seperti Fibnacci (1170-1202 M), Robert Grasset (1253 M), Albertus Magnus (1200-1280 M), dan Thomas Aquinas (1224-1274 M).

Namun, popularitas ilmuwan Barat ini pun—menurut Sarton—masih kalah dengan ilmuwan Muslim yang terus bermunculan, seperti: Quthb Ad-Din Al-Shirazi (1236-1311 M), Ibnu Shatir (1365 M), Ibnu Batutah (1303-1377), dan Sultan Ulugh Beg (1449 M).

Setelah vakum dari tahun 1300-1450 M, nama-nama ilmuwan Barat yang muncul tahun 1450 M adalah Leonardo da Vinci (1452-1519 M) dan Copernicus (1473-1543 M). sejak saat itu, pusat ilmu pengetahuan berpindah dari Islam menuju Barat, khususnya Italia, Prancis, Jerman, dan sebagainya. Tidak pernah lagi muncul ilmuwan Muslim sekaliber Barat.

Namun, setelah menapaki kejayaan sesuai dengan sunnatullah–yang mempergilirkan kejayaan suatu bangsa—masa kemerosotan ilmu pengetahuan umat pun datang. Banyak faktor diduga sebagai penyebab kemerosotan ilmu pengetahuan. Misalnya, tesis yang mengatakan bahwa Hujatul Islam Al-Ghazali sebagai faktor penyebab kemerosotan umat disebabkan depopulerisasi teologi Mu’tazilah dan sebagainya.

Bila dirunut dari berbagai tesis tentang kemunduran ilmu pengetahuan umat, sebagaimana disebutkan Mulyanto (2003: 8), maka ada beberapa faktor, yakni: (1) faktor politik; (2) dialektika filosof-fuqaha; (3) lunturnya penghargaan terhadap intelek; (4) faktor kekalahan Mu’tazilah; (5) faktor Al-Ghazali; (6) tesis naturalisasi; (7) merosotnya perhatian pada riset ilmiah; dan (8) faktor eksternal.

Baca Juga  Apa Pengertian Taufik dan Hidayah?

Faktor Al-Ghazali Sebagai Penyebab Kemunduran Islam

Dalam konteks faktor Al-Ghazali dijadikan penyebab kemunduran ilmu pengetahuan umat, Ulil Abshar Abdalla (2020: 145) menegaskan, jadi sekali lagi, tidak benar Al-Ghazali anti-filsafat.

Tidak benar Al-Ghazali itu anti-sains. Karena di dalam kitab ihya’, beliau mengatakan bahwa belajar ilmu-ilmu yang berdasarkan data-data empiris maupun data-data rasional (al-‘Ulum al-‘Aqliyyah)—termasuk kedokteran, fisika, biologi, dan lain-lain—status keagamaannya adalah fardu kifayah. Artinya apa? Kalau tidak ada orang Islam yang belajar ilmu ini sama sekali, maka orang Islam ikut berdosa.

Makna Ulul Albab

Kata Al-Bab merupakan jamak dari lubb (kata benda) dan berakar pada kata kerja labba-yalubbu. Secara harfiah, lubb dalam Al-Munjid antara lain berarti: (1) intisari, bagian terbaik, bagian terpenting; (2) akal (‘aqal) atau pikiran; (3) hati (qalb); (4) ingatan (dzaakirat); (5) paham (fahm). Jadi, ulul albab adalah orang yang menggunakan akal.

Sedangkan Mahmud Yunus dalam Kamus Bahasa Arab-Indonesia, dijelaskan bahwa labb-yalubbu diartikan dengan berakal dan cerdik. Adapun dalam Al-Mu’jamu Al-Wasiith, lubb, labba-yalubbu berarti: (1) terbersih (murni) dan terbaik (pilihan) dari segala sesuatu; (2) diri (jiwanya) dan hakikatnya; (3) akal (‘aqal).

Para mufasir mengartikan ulul albab sebagai orang-orang yang berakal dan berpikir; atau orang-orang yang mempunyai akal yang bersih dan cemerlang (dzawi al-‘ukul as-saliimah wa al-‘uqul ash-shahiirah wa as-saliimah).

Ulul albab adalah orang-orang yang mempunyai akal yang cerdas, bersih, dan cemerlang (dzawil al-‘uqul as-salimah wa ash-shihah wal al-munnirah) (Abu Azmi Azizah. 2002: 122).

Yusuf Al-Qaradhawi (1994: 30) menjelaskan, bahwa Al-Qur’an memberi perhatian terhadap kata kerja ‘aqala dan derivasinya seperti ya’qilun atau ta’qilun. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak menggunakan kata atau term al-‘aql sebagai potensi dan subtansi dalam diri manusia yang darinya berlangsung berbagai proses olah nalar dan piker.

Seperti berpikir, mengingat, mengambil i’tibar dan sebagainya. Dan makna yang dimaksud dari al-‘aql dalam Al-Qur’an tertulis secara jelas dengan term al-albaab. Ia merupakan bentuk jamak dari term al-lubbu yang artinya “isi” atau “intisari”; ia merupakan antonim dari “kulit”.

Banyak variasi yang digunakan Al-Qur’an dalam kata kerja yang berhubungan dengan ilmu dan akal, seperti: (1) dalam bentuk perintah dengan ungkapam: iqra’ (bacalah), fanzhuru (maka perhatikanlah); (2) bentuk anjuran dan harapan, la’allahum yatafakkarun (bagi kaum yang berpikir, la’allahum yafqahun (mudah-mudahan mereka memahami), liqaumin ya’qilun  (bagi kaum yang berakal), liqamin yafqahun (bagi kaum yang memahami); (3) ungkapan yang bersyarat seperti lau kaanuu yafqahun  (jika mereka memahami), in kuntum ta’qilun (jika kalian berakal).

***

Lalu dalam ungkapan yang berbentuk retoris untuk orang-orang yang cenderung tidak menggunakan akal dan ilmu, seperti: afala tattafakkarun (apakah kalian tidak memikirkannya), awalam yatafakkarun (apakah mereka tidak memikirkannya), afala ta’qilun (apakah kalian tidak berakal). Dan dalam bentuk statement atau penegasan bagi orang-orang yang tidak berpikir, la yafqahun (mereka tidak memahami), fahum layafqahun (maka mereka tidak memahami).

Dalam Al-Qur’an kata yang digunakan sangat beragam, di antaranya kata yang berakar pada “pikir” (faqara/faqqara) sebanyak 18 kali; berakar pada kata “paham” (faqaha) sebanyak 20 kali; berakar pada kata “akal” (‘aqla) sebanyak 49 kali; yang berakar pada kata “ilmu” ‘alumal’allama) disebutkan sebanyak 864 kali.

Baca Juga  Doa sebagai Terapi Kesehatan Jiwa

Ungkapan yang relatif menyeluruh cakupannya, yang secara maksimal menggunakan akal, segala kebersihan hati dan kejernihan pikirannya adalah ulul albab. Dalam Al-Qur’an disebut sebagai 16 kali dalam 16 ayat, masing-masing dengan lingkup, gradasi, dan konteks permasalahan yang berbeda-beda.

Dengan demikian, ulul albab memiliki karakter unik, langka, dan sangat spesifik sekali dalam menangkap spirit zaman dan sinyal langit serta memiliki “perantauan” intelektual yang melintasi zaman dan waktu.

Karakter Ulul Albab: Generasi Religius-Saintifik Berwawasan Qurani

Adapun karakter ulil albab yang menjadi generasi religius-saintifik berwawasan Qurani adalah:

Pertama, bersungguh-sungguh mencari ilmu, membenarkan dan meyakini wahyu Ilahi.

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitrah dan mencari cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, ‘Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan Kami.’ Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (QS. Ali Imran {3}: 7)

Kedua, sinyal akal dan kalbunya mampu menangkap fenomena dengan pengamatan, pemikiran dan penelitian, sebagai landasan mencari kebenaran. Senantiasa zikrullah dan berdoa kepada-Nya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka’.” (QS. Ali Imran {3}: 190-191)

Ketiga, mampu berpikir filosofis-empiris hingga menemukan kebenaran dan memiliki hikmah (imajinasi, intuisi, dan ilham) dan mampu mengambil pembelajaran (ibrah).

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah {2}: 269)

Keempat, mampu memaknai pesan langit Ilahiah (Al-Qur’an), baik secara teks, konteks, dan kontekstualisasi.

“Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra’d {13}: 19)

***

Kelima, skill dan profesionalisme dalam bidang keilmuan masing-masing merupakan ‘sarana’ (bekal) takwa menuju hadirat-Nya.

”…Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah {2}: 197)

Keenam, membumikan pesan langit Ilahiah (Al-Qur’an) dalam semua lini kehidupan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai wujud manusia yang mampu melintasi zaman dan peradaban.

“(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar {39}: 9)

Ketujuh, mampu menangkap kehendak zaman dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggali prinsip-prinsip subtansial dari kemujizatan para Nabi dan Rasul.

Baca Juga  Mohammed Arkoun: Menafsir Al-Quran dengan Hermeneutika

“Dan Kami anugerahkan dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipat-gandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran sehat.” (QS. Sad {38}: 43)

“Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikiran sehat.” (QS. Al-Mu’min {40}: 54)

Kedelapan, menjadikan kisah dan pembelajaran masa lampau sebagai peta dan strategi jangkar paradaban di masa depan.

“Allah menyediakan azab yang keras bagi mereka, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal; (Yaitu) orang-orang yang beriman. Sungguh, Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.” (QS. At-Talaq {65}: 10)

Kesembilan, memiliki daya kritis dan berpikir faktual terhadap setiap fenemena yang berkembang hidup.

“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung’.” (QS. Al-Maidah {5}: 100)

Kesepuluh, daya kritis harus dalam rangka mencari kebenaran.

***

Dalam hal ini, menurut Haidar Bagir (2020: 49), sebuah teori harus dibuktikan kebenarannya sepanjang cara-cara justifikasi saintifik. Termasuk di dalamnya cara koherensi (logis), korespondensi (empiris), atau kegunaan praktis (pragmatis).

“Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang yang sabar karena mengharapkan keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagaian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Rad {13}: 19-22)

Kesebelas, berpikir makrokosmos dalam lokus kalbu yang mikrokosmos.

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pengertian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (QS. Al-Baqarah {2}: 164)

Keduabelas, daya-upaya berpikir sebagai jalan takwa.

“Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang, dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Yunus {10}: 6)

Ketigabelas, menjadikan alam terkembang menjadi guru.

“Celakalah bagi orang yang membacanya, tetapi tidak mau memikirkannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Dari ketigabelas nilai karakter ulul albab yang menjadi generasi religius-saintifik berwawasan Qurani, harus menjadi landasan dan spirit bersama untuk membangkitkan semangat zaman dalam pengembangan sains di masa depan.

Para kreator Muslim harus memanggun sinergisitas dalam pengembangan potensi dan skill untuk diabadikan bagi peradaban umat. Hanya para kreator yang tekun (konsisten dan konsekuen) lah yang akan membangkitkan keunggulan umat dalam sains, sehingga tidak hanya sekedar cita belaka tetapi fakta yang berbicara!

Editor: Yahya FR

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *