Kerja di bank. Gaji besar. Anak-anak bisa sekolah. Keluarga sejahtera. Terus gara-gara ngaji ke ustadz. Lalu dibilang: ‘Bank itu riba dosanya lebih besar ketimbang zina’. Terus risign. Menjadi driver taksi online. Terus ngaji lagi ke Ustadz lalu dibilang: ‘OVO-Go Pay itu riba”. Terus berhenti jadi driver.
Akhirnya jualan parfum. Keluarga mulai sengsara. SPP nunggak berbulan-bulan. Istri mulai uring-uringan karena telat belanja. Ngaji lagi ke ustadz, dibilangin: “Kita miskin karena pemerintah zalim. Karena pemerintah anti-Islam. Karena rezim serakah. Karena rezim meng-kriminalisasi ulama. Bla-bla-bla-bla—solusinya adalah khilafah”.
Akhirnya setiap hari kerjaannya buat status nyalahin pemerintah dan melawan siapapun yang berbeda–sambil teriak khilafah harga mati—Zulfahami Hasyim.
Marx yakin bahwa perut kosong bisa mudah digerakkan–rakyat yang miskin karena dijepit kebutuhan gampang diprovokasi. Tepatnya–bikin rakyat lapar biar mudah diajak revolusi dengan janji hidup lebih baik. Tiga ratus (300) tahun sebelum Marx mengenalkan paham komunal–Sultan Ageng Tirtayasa punya rumus jitu. Membuat jinak tamu yang bakal protes, yaitu dengan memberi makan pada setiap tamu yang bakal sowan–karena perut kenyang bisa membuat lupa.
Filsuf Prancis Voltaire mengungkapkan kegelisahannya: ‘Ketidakpastian memang mengganggu–tapi tak ada jawaban tunggal terhadap kehidupan yang gamang ini”. Hijrah dari monogami ke poligami–atau dari bekerja sebagai akunting perusahaan multinasional dengan gaji ratusan juta menjadi marbot masjid–sambil nunggu azan agar bisa shalat tepat waktu–itu pilihan tapi bukan solusi.,
Seorang Guru Besar sebuah Universitas ternama meninggalkan jabatan akademiknya. Beragam prestasi akademik dan deretan penghargaan lainnya ditinggal. Pun dengan fasilitas yang menyertainya. Ia anggap semua itu menjadi hijab yang menjauhkan dari Rabbnya. Membuat Ibadahnya tak khusyuk dan terganggu. Hatinya gelisah–pikirannya meracau. Dunia penuh masalah–hanya sementara–negeri fana–senda dan gurau.
Ia memilih hijrah, meninggalkan semua pernik nafsi-nafsi. Meraih akhirat–negeri kekal dan abadi–kenikmatan tiada tara: surga dan deret bidadari.
Kini Ia lebih tenang merawat janggut dan sendal terompahnya–lebih menenangkan daripada ngurus pekerjaan-pekerjaan rumit semacam riset yang melelahkan– atau itung-itungan akuntansi perbankan yang menyesakkan antara riba dan bukan–urap menjadi satu. Bukankah hidup hanya ibarat ‘mampir ngombe’. Pikiran ala Jahamy mendominasi.
Dalam sejarah, 3 Maret 1924, Khalifah Utsmaniyah dirubuhkan. Karena dianggap gagal. Para Khalifah hanya sibuk ngurus harem dan jarang menggelar musyawarah yang melibatkan rakyat–kata Musthafa Kemal Attaturk dan pengikutnya yang geram dengan gaya hidup para pangeran yang hedon. Kemal Attaturk yakin bahwa demokrasi bisa membuat rakyat Turkey lebih baik. Demokrasi membuka partisipasi rakyat yang selama ini dibungkam oleh rezim Khilafah. Rakyat bergerak–Khilafah Ottoman yang berdiri kokoh selama ratusan tahun pun rubuh.
Di Eropa pada era kekuasaan Tuhan yang diwakili gereja disebut abad gelap. Para pendeta menyebut dirinya wakil Tuhan dan punya hak absolut untuk memerintah–banyak wewenang dan hak istimewa yang melekat. Banyak yang mati dengan cara disalib karena melawan kehendak Tuhan.
Era kekuasaan Tuhan pun dirubuhkan. Berganti kekuasaan tertinggi di tangan rakyat (demokrasi) tapi tetap saja sama. Tak ada perubahan sama sekali. Rakyat tetap sengsara. Prilaku koruptif tetap dilakukan oleh baju yang berbeda. Keadilan–kesejahteraan, dan hidup layak hanya klise–penikmatnya tetap orang yang sama. Mungkin ini yang disebut–Hidup dipergilirkan Tuhan bak roda pedati (Ali Imran: 140-141),
Demokrasi, Khilafah, Monarchy bukan jawaban tunggal. Hidup bukan sulapan. Khilafah bukan solusi. Hanya sebuah mimpi yang diputar kembali tentang hidup lebih baik. Wallahu taala a’lam