Kemunculan agama Islam dimulai dari tanah Arab. Makkah dan Madinah menjadi dua kota awal yang dijejak agama Islam. Dua kota ini memiliki narasi historis yang terus dikaji oleh banyak pihak. Di Makkah ada Ka’bah sebagai pusat pelaksanaan peribadatan haji. Di Madinah ada Masjid Nabawi sekaligus kota Islam awal yang mengedepankan hikmah toleransi antar sesama penduduknya. Selain itu, hikmah toleransi juga bisa ditemui dari dua kota Islam lainnya: Damaskus dan Baghdad.
Damaskus: Kearifan Lokal
Damaskus sendiri menjadi kota pusat pemerintahan Bani Umayyah. Kota Damaskus terletak di negeri Suriah, yang hari ini banyak didapati berkecamuk konflik. Menurut Al Makin di bukunya “Keragaman dan Perbedaan”, kota Damaskus sudah menjadi ladang perebutan sejak 1759 SM, tepatnya pada era Babilonia. Kebudayaan-kebudayaan besar juga pernah singgah di kota Damaskus. Sampai pada tahun 634 M, pasukan muslim yang dipimpin oleh Khalid ibn Walid merebut dan berhasil menguasai kota Damaskus (Yogyakarta: Suka Press, 2017: 149).
Setelah pemerintahan Islam dipindah ke Damaskus, agama Islam memiliki banyak warna. Hal ini ditengarahi karena banyak kearifan lokal yang terasimilasi pada tradisi islami. Terlebih ia didukung dengan sifat keterbukaan pemimpinnya pada masa itu, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Karenanya, hikmah toleransi tumbuh di antara masyarakat
Administrasi pemerintahan juga mengadopsi cara-cara dari Byzantium. Bahkan pada masa awal-awal kekuasaan Islam di Damaskus, pegawai pemerintahan banyak diisi oleh orang-orang Kristen, tanpa harus konversi menjadi Islam. Mayoritas masyarakatnya tetap mengimani gereja Kristiani Timur dan Yahudi, akan tetapi diharuskan membayar upeti.
Pada masa ini pemerintahan Islam juga terpengaruh secara intelektual dari bangsa Yunani. Sebut saja nama Ioanes Damascenus yang bekerja pada Khilafah Muawiyah. Ia merupakan seorang teolog dan apologis yang memiliki bahasa ibu Syiriak, beragama Kristiani, namun menguasai bahasa Yunani dan Arab. Ada juga al-Akhtal, penyair istana yang menganut Jakobi.
Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa hikmah toleransi dalam perbedaan hadir dalam pemerintahan Bani Umayyah, dan menjadi bagian dari implementasi nilai Islam pada waktu tersebut.
Baghdad: Tonggak Perkembangan Ilmu
Kota kedua adalah Baghdad. Kota ini menjadi ibukota dari Dinasti Abbassiyah. Dinasti yang diakui dalam sejarah Islam sebagai dinasti yang bisa membuat Islam mencapai puncak kejayaannya. Dari sisi sejarah, nama kota Baghdad ini muncul di inskripsi pada batu, yang diselipkan oleh Raja Babilonia Merodachbaladan I pada tahun 1194-1182 SM (Yogyakarta: Suka Press, 2017: 160).
Di masa ini, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang belum pernah diduga sebelumnya. Bayt al-Hikmah didirikan sebagai sarana penunjang pendidikan, penelitian, dan pengajaran di Baghdad. Berbagai macam ilmuwan lahir pada masa ini. Mulai dari ilmu umum seperti Al-Kindi, Al-Farabi sampai ilmu agama seperti Imam Syafi’i dan yang lainnya.
Meskipun tidak semua ilmuwan beragama Islam, tapi tetap dipersepsikan sebagai ilmuwan muslim. Karena ilmuwan tersebut lahir, besar, belajar, dan dipengaruhi oleh peradaban Islam yang pada saat itu sedang berkembang menuju ke puncak kejayaan.
Abdallah ibn Muqaffa misalnya, ia merupakan sekretaris al-Mansur. Ia asli dari Persia, dan awal mulanya memeluk agama Zoroaster. Beliau bertugas sebagai penerjemah. Meskipun hidupnya berakhir tragis dengan dibunuh karena dituduh masih mengimani agamanya yang lama dan memalsukan dokumen penerjemahan.
Hikmah Toleransi dari Kota Islam
Kedua kota ini setidaknya mengajarkan kita yang hidup di masa ini tentang dua hal,
Pertama mengapresiasi budaya dan tradisi yang sebelumnya sudah tumbuh subur di daerah tertentu bukan hal yang dilarang. Islam datang bukan menghapus budaya dan tradisi lokal, namun justru mengapresiasi dan membenahi jika ada yang belum pas. Kenapa demikian? Karena watak Islam sendiri sejak dari awal kemunculannnya telah menyadari bahwa kearifan lokal merupakan jati diri atau kekuatan kolektif masyarakat setempat.
Prototipe mudahnya bisa didapati pada masa Nabi, baik di Makkah maupun Madinah. Ia bisa juga ditemui pada dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, mengadopsi budaya dan tradisi Jawa sekaligus menambah unsur-unsur agama Islam. Sehingga, agama Islam bisa lebih diterima dan dimengerti oleh masyarakat awam.
Kedua, karena menerima kearifan lokal, muslim harus mengedepankan hikmah toleransi di dalamnya, baik itu sebagai norma atau pun nilai. Mereka yang belum beragama Islam dibiarkan untuk tetap mengimani kepercayaan lamanya. Lakum diinukum waliyadiin. Tidak perlu menghakimi dan menjustifikasi kesalahan. Sebab kehendak, nikmat, laknat, hidayah, dan semacamnya merupakan hak preogatifnya Allah. Manusia tidak memiliki otonomi sedikit pun di dalamnya.
Refleksi Kita Hari Ini
Jika kita tarik ke dalam konteks relasi umat beragama di Indonesia hari ini, kaum fundamentalis yang memiliki karakter logika biner (hitam putih), menjadi momok yang menakutkan bagi keberlangsungan kebhinekaan di Indonesia, terlebih agama Islam.
Melalui jargon rahmatan lil ‘alamin, mereka (kaum fundamentalis) justru merealisasikan perilaku yang jauh dari makna tersebut. Menghakimi keimanan orang lain misalnya. Melalui perilaku seperti itu, bukankah akan lebih banyak benih permusuhan yang muncul–alih-alih persatuan?
Oleh karena itu, penting dan perlu kiranya untuk belajar dari dua kota yang pernah mengantarkan agama Islam mencapai puncak kejayaan peradaban. Dengan menghargai budaya dan tradisi, sekaligus mengimplementasikan hikmah toleransi dalam kehidupan sehari-hari, eksistensi agama Islam akan terlihat memberikan energi dan semangat positif. Tidak hanya bagi pemeluknya, namun juga bagi bangsa, negara, dan mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda. Demikian.
Editor: Shidqi Mukhtasor