Saat ini seolah-oalah Indonesia tak lagi memiliki musuh bersama. Rasa senasib dan sepenanggungan pun sedikit demi sedikit tampak luntur. Inidividualisme pun berkembang menjadi sikap fanatisme terhadap golongan di mana diri berada. Akibatnya lahir fanatisme terhadap kelompoknya sendiri, hingga tak jarang melupakan rasa kebangsaan yang harus dijaga di atas golongan. Padahal itu semua adalah kunci keharmonisan dan perekat persatuan di NKRI dalam kemajemukan Nusantara.
Harus diakui bahwa perbedaan sebuah keyakinan adalah hal yang lumrah dan tak akan menjadi masalah ketika semua orang memiliki empati terhadap sesamanya. Hal yang menyatukan Indonesia di tengah kemajemukan ketika dulu kala adalah karena memiliki nasib yang sama. Yaitu sama-sama dijajah dan ingin menjadi bangsa yang merdeka. Akhirnya dari rasa itu timbullah rasa kebangsaan yang tinggi sehingga akhirnya membuka dan menghancurkan tabir fanatisme kesukuan atau kelompok dan agama yang berlebihan. Semua bersatu dengan semangat kemerdekaan bersama hingga penjuru nusantara.
Maraknya Fanatisme Berlebihan pada Tokoh
Kini, rasa-rasanya semua itu pudar dan hanya menjadi omong kosong belaka. Faktanya saat ini marak fanatisme yang berujung pada pengkultusan seseorang tokoh dari kelompoknya yang begitu kuat. Fanatisme buta terhadap golongan keturunan ‘habib’ misalnya, memperparah pembelaan dan dukungan terhadap sebuah keyakinan. Pengagungan yang berujung pada pengkultusan seorang tokoh itu ditimbulkan dari sebuah fanatisme berlebihan pada segala bentuk aliran ketokohan baik itu dari politik, kesukuan hingga keagamaan.
Pemeliharaan sekat perbedaan mau diakui atau tidak, memiliki potensi ladang bisnis pribadi dan golongan. Satu sisi berpotensi menjadi cikal bakal konflik yang tak akan berkesudahan. Padahal dalam upaya membuat keharmonisan dalam kehidupan bersama di tengah-tengah kemajemukan suku, budaya, agama, maka itu semua harus dihilangkan.
Hemat saya, keharmonisan hubungan antara sesama manusia hanya omong kosong, selama sekat-sekat perbedaan tak dihilangkan, atau bahkan ditonjolkan dan justru dipertegas. Jika budaya olok-olok, hina serta saling curiga dan upaya untuk saling menjatuhkan tetap lakukan, maka pertengkaran tidak akan pernah berakhir.
Kisah Jenazah Yahudi
Dalam hal ini, Nabi Muhammad memberikan contoh bagaimana bersikap yang baik dalam berkehidupan dalam sebuah kemajemukan di dalam bernegara. Ia lebih memilih bersikap arif dan lebih memilih menjaga perdamaian. Nabi Muhammad tahu, bahwa umat manusia berbagai macam suku dan agama tugasnya adalah menyampaikan agama Islam kepada semua manusia. Jika mereka ingin menerimanya maka dipersilahkan masuk Islam, tapi jika mereka menolaknya, Nabi Muhammad juga tidak marah.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari diceritakan, suartu hari jenazah pernah lewat di hadapan kami, maka Nabi saw., berdiri menghormatinya, dan kami pun ikut berdiri. Lalu kami tanyakan: “Wahai Rasulullah, jenazah itu adalah seorang Yahudi.” Maka beliau berkata: “Jika kalian melihat jenazah, maka berdirilah!”
Suatu hari Sahal bin Hunaif dan Qais bin Sa’ad sedang duduk di Qadisiah, lalu lewatlah jenazah di hadapan keduanya, maka keduanya berdiri. Kemudian dikatakan kepada keduanya bahwa jenazah itu adalah dari penduduk asli, atau dari ahlu dzimmah [nonmuslim]. Maka keduanya berkata:
“Pernah lewat jenazah di hadapan Nabi saw., lalu beliau berdiri. Kemudian dikatakan kepada beliau bahwa itu adalah jenazah orang Yahudi; maka beliau bersabda: ‘Bukankah ia juga memiliki nyawa?’”
Hikmah yang menarik dalam riwayat di atas adalah, keheranan para sahabat melihat berdirinya Nabi Muhammad untuk menghormati Jenazah Yahudi. Keheranan para sahabat bisa dimaklumi, karena sebelum Islam, bangsa Arab sangat fanatik terhadap suku. Selain sukunya atau sekutunya, tidak ada hormat-menghormati.
Teladan Nabi Menghadapi Kemajemukan
Tatkala Nabi Muhammad menyebarkan Islam, Nabi Muhammad tidak ingin jika agama yang dibawa olehnya, tercemar dari sifat fanatisme kesukuan. Karena, seseorang yang fanatik memiliki standar yang ketat dalam pola pemikirannya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan. Sehingga Nabi Muhammad memberikan contoh bahwa agama ialah kebaikan universal, maka apa pun agamanya wajib melakukan kebaikan kepadanya.
Berdirinya penghormatan kepada jenazah Yahudi itu adalah suatu kebaikan, karena dengan demikian, Islam mengajarkan menghormati siapa pun meskipun dengan orang yang berbeda agama bahkan jenazahnya juga harus dihormati.
Akhlak seperti ini yang umat Islam harus tiru, di mana ketika menyebar agama Islam harus tiru. Di mana ketika menyebarkan agama Islam atau berdakwah, menggunakan kelembutan bukan kekerasan. Bahkan ketika dalam perang, Allah melarang umat Islam melampaui batas. Jika pihak lawan ingin berdamai, maka wajib hukumnya umat Islam menerimanya. Jika ada tawanan perang, umat Islam boleh membebaskannya atau menunggu tebusan dari pihak keluarganya.
Editor: RF Wuland