Dunia telah mengalami abad transformasi yang tidak dapat diprediksi. Dalam kurun waktu terakhir, adanya globalisasi, cultural shock and lag, life-quarter crisis dan problematika lainnya di lingkungan keluarga, masyarakat hingga portal dunia maya, memberikan dampak signifikan bagi mental health atau mental issue.
Erich Fromm, seorang psikolog humanistik asal Jerman memperkenalkan teori kepribadian yakni basic human needs atau existencial needs. Menurutnya, manusia memiliki lima kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dengan cara positif; kebutuhan menjalin relasi (relatedness), mencapai kebebasan (transcendence), merasa nyaman dalam hidup (rootedness), melihat diri sendiri sebagai bagian yang terpisah dari kelompok (sense of identity), dan memiliki orientasi hidup yang jelas (frame of orientation).
Salah satu dari kebutuhan dasar yang tak kalah penting dan harus dipenuhi itu adalah memiliki orientasi atau pandangan hidup yang jelas. Namun ragam problematik seperti keraguan pada pencapaian diri acapkali menyebabkan inkonsisten atau tidak tahunya seseorang dalam menentukan orientasi hidup.
Dalam QS. Ar-Ra’d ayat 11, “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah keadaan diri mereka sendiri…” dan diperjelas dalam hadis qudsy, “Sesungguhnya Allah SWT. berkata: Aku mengikuti prasangka hamba-Ku, apabila prasangkanya baik maka kondisinya akan menjadi baik. Apabila prasangkanya buruk, maka kondisinya akan menjadi buruk.”
Baik dari ayat Al-Qur’an maupun hadis tersebut dapat ditarik benang merah bahwa nasib manusia; kesejahteraan, kesehatan, ketentraman, hingga kesuksesan tergantung bagaimana belief system seseorang.
Tanpa disadari, seseorang menerima dan mempelajari belief system dari lingkungan kebudayaan, interaksi, kondisi sosial, psikologis, bahkan pengalaman hidup.
Belief system atau sistem kepercayaan dianalogikan dengan struktur dasar sebuah bangunan yang ditopang dan diperkuat oleh pondasi baja yang kuat atau justru lemah (Goodridge 2021, 9). Satu dari sekian alasannya pula adalah sejak lahir, pikiran telah mengalami pemrograman dan pengondisian.
Peristiwa apapun yang dialami oleh seseorang akan masuk ke pikiran bawah sadar dan akan menjadi life script atau program pikiran.
Fujur danTaqwa
Hal tersebut rupanya telah Allah tegaskan dalam ayatnya,
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwasanya manusia dalam Al-Qur’an memiliki dua potensi di antaranya potensi buruk yakni ‘fujur’ dan potensi baik yakni ‘taqwa’sepertidalam QS. As-Syams ayat 8.
Fujur makna lainnya dalam Al-Qur’an yakni nafs. Nafs dalam Al-Qur’an disebutkan seimbang dengan ‘taqwa’ yakni berjumlah 115 kali. Dalam ayat tersebut memberikan suatu formula bahwasanya manusia cenderung mengedepankan ‘fujur’ yakni suatu bentuk keburukan dibandingkan dengan kebaikan.
Kemudian nafs sendiri di antaranya; nafs ammarah bi al-su’ adalah nafsu yang mendorong pada hal-hal buruk, nafsu lawwamah yang ditunjukkan dalam Qur’an pada kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha dalam QS. Yusuf (12): 53, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,” nafs musawwalah, nafs muthmainnah, nafsu mulhamah, nafsu radiyah, nafsu mardiyah, dan nafsu al kamilah.
Beberapa tokoh termasuk seorang mufasir modern bercorak sufi, Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi memberikan perhatian besar terhadap persoalan nafsu dalam penafsirannya. Hal tersebut dapat diketahui dari manifestasi kitab tafsirnya yakni Tafsir al-Sya’rawi.
Relasi Fujur dan Taqwa dengan Kepercayaan
Selaras dengan Kepercayaan yang telah disinggung bahwasanya manusia dalam menentukan orientasi hidup berpacu pada kedua potensi tersebut.
Kepercayaan melibatkan pikiran bawah sadar (sub consciousness) dalam implementasinya. Kepercayaan yang mendasarkan pada ‘fujur’ berdampak pada terbentuknya realita yang banyak tidak diharapkan oleh seseorang, seperti kegagalan akibat inkonsisten diri, target orientasi hidup yang berantakan dan banyak lagi turunannya.
Sedangkan Kepercayaan yang mendasarkan pada ‘taqwa’ memiliki keberhasilan berupa kebahagiaan, ketenangan, dan kesuksesan dalam hidup.
Dari dua lafal dalam QS. As-Syams tersebut menunjukkan bahwa tindak-tanduk aktivitas dapat terpolakan atau terprogram sebagaimana maksud seseorang tersebut. Misalnya pada aktivitas harian seperti menjalankan ibadah, belajar, bekerja, dan masih banyak lagi.
Adanya pola pikir yang dilakukan oleh pemilik program tersebut dinamakan programming. Sebab seseorang yang berada pada kondisi ‘Fujur’ atau ‘Nafs’ tentunya akan dipenuhi dengan keraguan, prasangka buruk, hingga pada ketidakpercayaan terhadap diri sendiri.
Merujuk pada penelitian American Psychological Association yang dikutip dalam Media Literasi bagi Digital Natives: Perspektif Generasi Z di Jakarta (2018) menegaskan bahwa kemampuan mengelola stres dan mencapai gaya hidup sehat semakin menurun di setiap generasi.
***
Bila halnya fenomena tersebut terus terjadi, maka ke depannya, Gen Z akan menjadi generasi yang paling stress sepanjang sejarah.
Sebab hal tersebut berkaitan erat dengan karakter no privacy, figital, fear of missing out (FOMO), hiperkustomisasi, terpacu, realistis, weconomist, dan do it yourself (DIY) yang dimiliki oleh Gen Z(Stillman dan Stillman 2017, 20).
Hal tersebut menunjukkan kemampuan mengelola stress dan orientasi dalam hidup memiliki pengaruh besar dalam pengembangan pribadi tiap masing-masing individu.
Hemat penulis, dari penyebutan lafal ‘Fujur” dan ‘Taqwa’ pada QS. As-Syams merupakan suatu potensi yang melibatkan proses berpikir dan membentuk pola pikir.
Tulisan ini kiranya dapat merekonstruksi harapan, mengatur rencana dan target diri (self–regulation) dalam hidup di masa depan dengan berbagai ide dan gagasan.
Bertolak dari ragam problematika terkait pengembangan diri tersebut nampaknya menjadi bahasan yang selalu relevan untuk dibahas.
Referensi:
Albert C. Albina. “The Law of Attraction Positive Thinking and level of Gratitude towards Happines” 22, no. 1 (Desember 2018): 15–22.
Bale, John, dan P. David Howe. The Four-Minute Mile: Historical and Cultural Interpretations of a Sporting Barrier. New York: Routledge, 2020.
Fadlurrohim, Ishak, Asmar Husein, Liya Yulia, Hery Wibowo, dan Santoso Tri Raharjo. “Memahami Perkembangan Anak Generasi Alfa di Era Industri 4.0” 2, no. 2 (Desember 2019): 179–86.
Goodridge, Walt F. J. 2021. In Search of a Better Belief System. a company called W.
Stillman, David, dan Jonah Stillman. 2017. Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace. HarperCollins.