IBTimes.ID – Haji Agus Salim ada tahun 1936 sudah menulis tentang Arab dan Yahudi di Palestina. Ada juga Majalah Pancaran Amal yang memberitakan tentang Palestina pada tahun 1938. Menurut majalah tersebut, orang Arab berperang melawan Inggris. Menariknya, ada orang Indonesia yang ikut berperang membela Arab bernama Sapulete, Salimin, dan Sutan Ibrahim.
Nahdlatul Ulama dalam Majalah NU tahun 1938 juga sudah mengangkat isu Palestina. Sebelum kemerdekaan, sudah ada beberapa respon masyarakat Indonesia soal Palestina. 2 tahun setelah Agus Salim menulis tentang Arab dan Yahudi, ia mengangkat isu tentang Al-Aqsa dan kaitannya dengan agama-agama.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Badan Pengurus Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Hilman Latief. Menurutnya, hubungan Indonesia dengan Palestina sudah terjadi sejak lama, bahkan sebelum Indonesia dan Palestina sama-sama berdiri.
Di tahun 1967, Soekarno dengan sangat tegas mendukung Palestina. “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah Bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” ujar Soekarno sebagaimana dikutip Hilman, Jumat (11/6).
Di tahun yang sama, M Natsir menulis sebuah makalah dengan judul “Palestina dan Ummat Islam”. Di Leiden, ceramah-ceramah Natsir tentang Palestina banyak tersebar.
“Sudah ada banyak gerakan solidaritas dari Indonesia untuk Palestina pada waktu itu,” papar Hilman.
Hilman menyebut bahwa sikap orang Indonesia adalah tidak mengakui Israel dan pro terhadap Arab Palestina. Namun, sejatinya pemerintah banyak melakukan hubungan dengan Israel, bahkan membeli senjata ke Israel. Pemerintah membeli pesawat tempur dari Israel pada tahun 1979. Pada tahun 1982, pemerintah kembali membeli pesawat di Israel. Pada tahun 2001, Menperindag RI menandatangani hubungan perdagangan dengan Israel.
Dalam konteks masyarakat sipil, hubungan Indonesia dan Palestina cukup bagus. Hilman menyebut ada banyak gerakan solidaritas Islam di Indonesia untuk Palestina. Pada tahun 1973, ada organisasi bernama Panitia Pembantu Perjuangan Pembebasan Palestina dan Al-Aqsha. Organisasi ini dipimpin oleh Sutjipto Judodihardjo, seorang mantan Kapolri.
“Pada tahun 1976 ada Komite Solidaritas Islam (KSI) yang didirikan oleh Luqman Harun. Setelah itu solidaritas Islam untuk Palestina,” imbuhnya.
Selain itu juga muncul Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) yang dipimpin oleh Ahmad Sumargono. Ada Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA) yang didirikan oleh Din Syamsuddin. Ada Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) yang didirikan oleh Suripto.
Sayangnya, menurut Hilman, gerakan-gerakan solidaritas di Indonesia untuk Palestina sangat terfragmentasi. Selain itu, terjadi persepsi politik yang tidak sama terhadap masa depan Palestina, bahkan ada yang pro Israel.
“Belum ada kesamaan paradigma tentang bantuan kemanusiaan,” imbuhnya.
Ia menyebut ada 4 tantangan untuk Ormas Islam di Indonesia. Pertama, peace talk. Ada ruang yang bagus untuk melakukan percakapan, mengingat banyaknya orang Indonesia yang masuk ke Palestina untuk memberikan bantuan secara langsung.
Kedua, humanitarian. Ketiga, soft diplomacy. Keempat, emotional/ideological responses or rational responses.
“Kira-kira apakah Indonesia mampu merumuskan respon yang lebih rasional, secara politik bisa diterima, hingga menyatukan keduanya dan diterima oleh publik? Di satu sisi, ini agak terbelenggu dengan publik Indonesia. Bisakah Muhammadiyah memulai itu?” tutup Hilman.
Reporter : Yusuf