Parenting

Hubungan Orang Tua dan Anak adalah Hubungan Kemanusiaan

3 Mins read

Hubungan orang tua dan seorang anak bisa dikatakan sebagai hubungan sosial dalam lingkup yang paling kecil. Bahkan, jika dalam kajian psikologi sosial, hubungannya dengan orang tua merupakan awal mula anak bisa mengenal apa itu suasana sosial.

Demikian juga dalam membentuk kepribadian seorang anak, keberadaan orang tua merupakan subjek paling awal yang mengintervensi kehidupannya. Di titik ini, jika dikatakan dalam konteks yang lebih luas, antara anak dengan orang tua juga sama halnya dengan hubungan kemanusiaan.

Meski secara konseptual demikian, fakta yang terjadi hingga saat ini tidak selalu menunjukkan hal yang sama. Ada banyak kasus yang membuktikan bahwa orang tua justru menjadi subjek paling awal yang mendegadrasi kepribadian seorang anak. Seperti misalnya salah satu kasus yang biasa disebut helicopter parenting.

Banyak ahli mengatakan helicopter parenting adalah gaya pola asuh terhadap anak yang terlalu berlebihan, atau sifatnya yang over protektif. Dengan ungkapan lain, segala pengalaman hidup anak selalu dipantau, diintervensi, bahkan dikendalikan secara berlebih tanpa memberinya ruang kebebasan.

Hal itu sudah barang tentu berangkat dari hasrat orang tua yang tidak mau anaknya hidup di jalan yang salah. Seperti yang sudah diketahui secara umum, bahwa bagaimanapun orang tua mendidik anaknya, mereka sebenarnya tidak ada sekalipun untuk berniat jahat. Tetapi, jika pola asuh yang sedemikian rupa sampai membuat anak tidak punya kebebasan dalam hal mengaktualisasikan dirinya, maka sepertinya yang terjadi bukanlah mengasuh anak, melainkan menjadikan anak seperti barang yang tidak punya hak sebagai manusia.

Tulisan ini bertolak dari pengandaian saya tentang hubungan anak dengan orang tua yang sejauh ini seakan-akan jauh dari nilai kemanusiaan. Dalam tulisan ini saya akan sedikit mengupas problem tersebut dengan menyelipkan beberapa argumen pendukung untuk menegaskan kekeliruan orang tua dalam memandang anaknya.

Baca Juga  Meninjau Ulang Hadis Dibolehkannya Memukul Anak

Siapakah Anak dan Orang Tua?

Sebenarnya kita semua sudah tahu kalau anak dan orang tua itu sama-sama sebagai manusia. Namun, mengapa yang terjadi seolah-olah kesadaran tersebut tidak ada?

Ada dua hal yang mendasarinya. Pertama, karena orang tua adalah manusia yang lahir lebih dulu daripada anak. Sehingga secara tidak langsung, kesadaran orang tua dalam memandang anaknya, mengandaikan bahwa anak adalah manusia junior yang tidak punya pengetahuan dan pengalaman tentang dunia. Andaian itu yang akhirnya membentuk sikap interkasi sewenang-wenang. Dalam sosiologi, interaksi semacam itu disebut oleh sosiolog Jerman, George Simmel, dengan superordinasi.

Interaksi superordinasi dimungkinkan karena adanya suatu kepentingan dari superordinat. Dan inilah hal kedua yang mendasari mengapa orang tua seakan-akan memandang anak tidak sebagai manusia secara utuh. Biasanya dalam konteks orang tua, mereka mempunyai visi atau cita-cita tertentu, yang secara sadar ataupun tidak memengaruhi pola asuhnya. Misalnya, orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seorang dokter. Sebab adanya visi tersebut, maka otomatis segala pola asuhnya terbatas pada konsep bagaimana sang anak bisa menjadi dokter.

Sebenarnya tidak ada yang salah jika anak diasumsikan sebagai manusia junior atau manusia yang tidak punya pengetahuan dan pengalaman hidup. Tetapi, asumsi itu akan menjadi keliru jika tidak ada kesadaran bahwa anak juga makhluk potensial. Sebagaimana Islam menyebut manusia mempunyai “gharizah al-baqa’”, atau naluri eksistensial. Naluri yang mendorong manusia untuk bertahan, diakui, dan menjadi dirinya sendiri berdasarkan fitrah-fitrah yang dimilikinya. Dengan begitu, sang anak sebagai manusia junior seharusnya juga punya hak superordinasi, setidaknya untuk dirinya sendiri. 

Kesetaraan Eksistensial

Meskipun antara anak dan orang tua statusnya sama sebagai manusia, namun tentu ada perbedaan hak yang tidak bisa dihilangkan. Hak tersebut melekat pada status sosial yang terbangun secara alamiah, atau disebutnya dengan ‘keluarga’. Di titik ini, saya memfokuskan anak dan orang tua pada kondisi eksistensialnya.

Baca Juga  Anak-anak Gen Z dan Suburnya Isu SARA

Baik anak maupun orang tua, keduanya adalah makhluk eksistensial yang punya kesadaran memilih dan menentukan bagaimana dirinya hidup. Jika posisi orang tua lebih tinggi daripada anak karena pengetahuan dan pengalaman hidupnya, maka hak untuk menuntun didominasi oleh orang tua.

Sementara sang anak, ia sebagai manusia baru dengan segala fitrahnya, punya hak untuk memperhatikan, mempelajari, dan mempertimbangkan tuntunan dari orang tua. Meskipun nantinya pengetahuan dan pengalaman anak lebih modern karena relevansi zaman, tetapi semua itu tidak akan terjadi jika tanpa keberadaan orang tua.

Akan tetapi, kedua hak dasar itu kadang kala menjadi rancu karena hasrat superordinasi yang berlebihan. Orang tua kadang terlalu otoriter sebagai penuntun, demikian juga anak kadang terlalu anarkis sebagai pembelajar. Padahal, antara keduanya sebenarnya saling membutuhkan hubungan timbal balik untuk status eksistensialnya. Sederhananya, secara otentik orang tua tidak akan dianggap orang tua jika dirinya memperlakukan anak sebagai barang. Pun sang anak tidak bisa dianggap manusia jika memosisikan dirinya sebagai pembangkang orang tua.

Bagaimana Hubungan Kemanusiaan Terjadi?

Dalam Islam, ada konsep kepribadian yang disebut “gharizah nau’, yaitu bahwa pada dasarnya semua manusia, tidak terkecuali anak dengan orang tua, itu sebenarnya punya naluri saling mencintai dan menyayangi jika cara mereka berada sudah tepat. Sebagian ahli, menganggap gharizah nau’ inilah yang menjadi dasar mengapa akhirnya paham kemanusiaan itu dimungkinkan.

Dari situ, maka sekurang-kurangnya yang perlu diperhatikan baik dari anak maupun orang tua adalah kesadaran memandang manusia berdasarkan fitrah dan kapasitasnya.

Dari sudut pandang anak, maka pandanglah orang tua sebagai sosok mulia karena sudah membuat diri merasakan kehidupan. Entah itu kebahagiaan maupun keterpurukan, sadarilah bahwa orang tua melahirkan anaknya pasti dengan tujuan agar merasakan kebahagiaan. Terlebih lagi, orang tua itu juga manusia, bukan sosok yang sudah pasti mengetahui segalanya yang dibutuhkan sang anak.

Baca Juga  Ayah, Kapan Aku Boleh Jihad Perang?

Tetapi cara pandang seperti itu tidak akan bisa terealisasikan jika orang tua juga tidak mendukung dengan kesadaran yang sama. Dengan kata lain, orang tua harus menuntun dan mendukung apapun keputusan sang anak sebagai manusia yang punya kebebasan menentukan dirinya akan menjadi apa.

Tentu semua orang tua pasti sudah paham, bahwa keputusan yang diambil sang anak haruslah berorientasi pada kebaikan dirinya sendiri sebagai manusia. Dengan begitu, nasehat tentang saling mengerti, menghargai, dan berdialektika agaknya terasa universal meskipun dalam konteks hubungan anak dengan orang tua.

Editor: Soleh

Achmad Fauzan Syaikhoni
14 posts

About author
Mahasiswa IAIN Kediri jurusan komunikasi dan penyiaran islam, tapi sedang bercita-cita menjadi filsuf. Bisa ditemui lewat ig: zann_sy
Articles
Related posts
Parenting

Generasi Toxic Harus Dididik, Bukan Dihardik!

5 Mins read
Tulisan sederhana ini saya suguhkan, berangkat dari keresahan saya tentang fenomena “generasi toxic“. Ada rasa cemas ketika saya menyadari bahwa generasi muda…
Parenting

Ajarkan Kepada Anak-anak, Masjid Tak Sekedar Tempat Ibadah

3 Mins read
Ibadah adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim. Untuk memastikan agar generasi muda memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai agama…
Parenting

Nasihat Nashih Ulwan untuk Para Pendidik Anak

3 Mins read
Awalan, Abdullah Nashih Ulwan sangat gemar menulis, kertas dan pena senantiasa bersama dimanapun dia berada. Walaupun sibuk dengan kuliah, undangan dan ceramah, dia tetap meluangkan waktu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds