Akhir-akhir ini, pemberitaan hangat mengenai trend flexing memenuhi jagat media. Para istri pejabat tinggi, anaknya hingga pejabat daerah berlomba-lomba pamer kekayaan di media sosial.
Hal ini berimbas pada pemeriksaan kekayaan dan total aset dideposit bank para pejabat tersebut bahkan terancam lengser jabatan. Seperti kasus Pejabat tinggi Irjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo yang terseret kasus anaknya, Mario Dandy atas kasus penganiayaan terhadap David.
Sebenarnya ajang pamer kekayaan tersebut hanyalah hal yang lumrah dalam dunia maya ataukah suatu hal yang berlebihan? Bagaimanakah Islam memandang fenomena flexing itu?
Flexing dalam Islam
Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, MA, Rais syuriah PBNU (Pengurus besar Nahdhatul Ulama) dalam tayangan MetroTV menjelaskan bahwa didalam Islam, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad telah mengajarkan keindahan.
Seseorang yang memiliki rezeki yang baik sebaiknya berpakaian yang baik sebagai bentuk mensyukuri nikmat Allah. Tetapi hal yang juga dilarang oleh agama adalah berlebih-lebihan.
Dalam al-Qur`an disebut mutrafīn (orang-orang yang hidup mewah). Dalam istilah ulama itu taraf, yaitu menjalankan hidup melebihi dari normal yang ditetapkan oleh masyarakat.
Ketika masyarakat menjalani kehidupan yang agak sulit, tidak mewah-mewah, kemudian dia mewah, mentereng dan tampak oleh publik, maka ini mendapat teguran yang luar biasa.
Gus Ghofur-sapaan akrab beliau menganalogikan dengan sebuah pakaian. Seorang muslim memakai pakaian terlalu jelek itu tidak boleh. Jika di desa harga baju kisaran antara 100-150 ribu, kemudian dia mengenakan baju seharga 5 juta maka itu sudah garis merah.
Sesuatu yang sudah melebihi batas karena tampak sesuatu yang mencolok ditengah masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dicontohkan dalam Islam. Nabi Muhammad sendiri ekstrim dalam memberikan contoh, beliau tinggal didalam rumah yang apabila di zaman sekarang disebut kamar karena saking kecilnya.
Seorang pemimpin yang berlebihan dalam menikmati hidup, akan membuat semua orang terkesan bahwa hidup nilainya hanya disitu. Tidak ada nilai kemanusiaan dan agama, tetapi kesan utama ketika melihatnya adalah bahwa hidup mewah adalah puncak kenikmatan tertinggi.
Hal itu dikhawatirkan jika semua orang akan menjalani hidup yang demikian, dan menimbulkan persepsi orang bahwa kesuksesan yang tinggi adalah kemewahan. Maka hal ini adalah sesuatu yang salah dalam hidup.
Seseorang yang seperti ini, secara nilai-nilai spiritual akan terganggu secara agama. Dia akan sangat sulit menikmati agama, karena konsentrasinya terpecah sehingga sisi spiritualitasnya lemah. Hidupnya sulit mencapai kematangan spiritual dan orang-orang seperti ini tidak akan bisa menikmati hidup.
Orang ini membahayakan dirinya sendiri ketika bertemu Tuhan karena kehilangan tawadhu’atau rendah hati kepada Allah dan masyarakat karena tidak memberi contoh yang baik. Sedangkan dampak dalam segi sosial, semisal pemimpin ini hidup dimasa Nabi Muhammad atau khulafaur Rasyidin pasti umurnya tidak akan lama dalam pemerintahan jika melihat standar Nabi Muhammad. Umurnya akan sangat pendek sebagai pejabat publik.
Melatih Jiwa Sederhana dan Menghindari Israf
Model atau gaya hidup seorang pejabat atau tokoh seharusnya disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Jika dia hidup ditengah lingkungan desa yang biasa maka seharusnya menyesuaikan diri dan tidak perlu bermewah-mewah.
Melatih seorang anak sejak dini supaya tidak bersikap pamer kekayaan dan bermewah-mewah sangat diperlukan. Pendidikan yang pertama dan utama adalah didalam keluarga. Setiap keluarga harus mempunyai visi kedepan akan bagaimana.
Pejabat atau tokoh publik dalam hal ini menjadikan visi sebagai guide untuk sebuah keluarga. Sebab jika tidak ditanamkan akan berbahaya, orang akan berfikir bahwa hidup hanyalah tentang kemewahan, hidup hanya tentang materi dan bahagia hanya terbatas pada materi.
Dalam agama sangat jelas di contohkan oleh Nabi dan sahabat. Untuk itu, sebelum mendidik masyarakat terlebih dahulu mendidik keluarganya. Umar Ibn Khattab dalam pemerintahannya sering memanggil pejabatnya yang pamer, korupsi, atau menyalahi kebijakan Negara. Untuk itu, seorang pemimpin seharusnya diangkat tidak hanya berdasar pada kemampuan saja tetapi juga melihat seperti apa citranya di publik, sebab hal itu akan mempengaruhi gaya hidup negara ini.
Dalam al-Qur`an, orang yang mermewah-mewah atau berlebih-lebihan dikenal dengan iṣraf atau tabdīr. Dalam QS. Al-A’raf ayat 31 terdapat larangan untuk berlebihan (iṣraf).
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Islam selalu mengajarkan cukup atau tengah-tengah saja dalam menjalani hidup. Tidak faqir, tidak kurang, juga tidak berlebihan dalam membelanjakan harta. Contohlah teladan hidup kita, Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang sangat sederhana dan bijaksana dalam menikmati hidup.
Sebab hidup sederhana akan membentuk sikap yang rendah hati dan tawadhu’. Sedangkan seseorang yang berlebihan, flexing, dan bermewah-mewah dalam hidup akan menimbulkan sikap buruk lainnya seperti riya’, sombong dan tinggi hati.
Editor: Soleh