Perspektif

Tawazun: Solusi Tepat Mengatasi Hustle Culture

3 Mins read

Generasi milenial saat ini hidup di tengah transformasi digital yang begitu pesat. Teknologi modern yang digadang-gadang mampu memudahkan manusia, justru terkadang membuat perkerjaan kian bertambah. Sehingga pengaruh media sosial mendorong pola pikir para pengguna melakukan pekerjaan terlalu keras adalah hal yang keren dan menarik.

Setiap individu berlomba mengejar kesuksesan, dimana ia saling berpacu dalam lintasan yang diwarnai dengan pengorbanan yang agresif. Dalam aksi agresif tersebut, dapat dikatakan ia terjaring “Hustle Culture” yang merupakan budaya gila kerja atau workaholic.

Hustle Culture terjadi adanya kebiasaan yang menganggap bahwa bekerja lebih penting di atas segalanya. Secara harfiah, konteks hustle culture dapat dipahami sebagai budaya yang membuat seseorang bekerja tanpa henti kapan pun dan dimana pun. Akhirnya menjadi titik tujuan gaya hidup mereka.

Bahkan bekerja tanpa henti sebagai hal yang normal serta merasa bersalah jika tidak menambah jam kerjanya. Padahal, dalam perspektif manajemen kerja, semestinya memiliki waktu istirahat yang cukup.

Pandangan Islam Terhadap “Hustle Culture

Sebagai agama paripurna dan yang paling sempurna, Islam menganjurkan seorang muslim bekerja guna memenuhi kebutuhan dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Karena itu, Islam memiliki pandangan tersendiri mengenai aktivitas bekerja. Dimana bekerja adalah sesuatu yang mulia, yang memiliki nilai ibadah dan nilai jihad.

Dalam di atas, pekerjaan merupakan sebuah amanah yang dilakukan seorang muslim secara sungguh-sungguh dalam melakukannya, sehingga menciptakan etos kerja yang baik dan hasil yang maksimal.

Term hustle culture dalam Islam merupakan salah satu kegiatan mementingkan keuntungan di dunia. Maka jika kita terlalu ambisi untuk melakukannya, hanya sebagian saja yang akan diperoleh. Lain hal apabila kita balance dengan menginginkan keuntungan akhirat, niscaya Allah SWT akan memberikan keduanya.

Baca Juga  Fikih Ekologi Tak Kalah Penting dari Fikih Ibadah

Karena sesungguhnya Allah memberikan apa yang kita butuhkan dan bukan yang kita inginkan, maka boleh kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak” (QS: Al Baqarah 2:216)

Berdasarkan dalil di atas, dapat diketahui bagaimana meraih keuntungan dunia dan akhirat menjadi lebih berkah, seperti bersedekah kepada fakir miskin dengan meniatkan segala sesuatu yang dikerjakan tertuju pada Allah SWT. Berniatlah bahwa bekerja karena Allah SWT dan hanya kepada Allah SWT kita kembali.

Dapat disimpulkan bahwa ketika niat bekerja untuk bersedekah atau hal positif lainnya, sudah pasti akan dapat keuntungan dunia dan akhirat. Berbeda jika bekerja terlalu ambis hanya memenuhi keinginan hasrat duniawi, maka yang didapat hanya sebatas kenikmatan dunia, sedangkan akhirat tidak.

Secara material berusaha maksimal dalam mengejar dunia boleh saja, karena bekerja juga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hanya saja hustle culture seharusnya tidak menjadi kebiasaan yang mendorong diri untuk melampaui batas kemampuan, sehingga bisa saja ibadah kepada Allah SWT menjadi hal sampingan. Sebab produktif bukan berarti menjadi hambatan yang mengharuskan kita lupa pada akhirat.

Tawazun Sebagai Solusi

Tawazun merupakan suatu sikap seseorang untuk memilih titik keseimbangan atau adil dalam mengahadapi sebuah persoalan. Secara harfiah, tawazun adalah model berpikir seimbang, moderat dan tidak ekstrim kanan kiri.

Kini sikap tawazun menjadi titik tumpu manusia agar tidak melakukan sesuatu yang berlebihan dan mengesampingkan kewajiban maupun hak yang harus ia lakukan. Oleh karena itu, pengaplikasian sikap tawazun sangat dianjurkan dalam Islam sehingga tercipta mindset yang stabil, sehat, aman dan nyaman.

Baca Juga  Bagaimana Hukum Menjawab Adzan?

Meskipun seorang muslim dituntut untuk melakukan dan menampilkan kinerja terbaik, amanah dan sungguh-sungguh. Tetapi, ketika sudah merasa terlalu lama bekerja dan tubuh mulai memberikan respons negatif, seperti kelelahan, kita harus sadar keadaan tersebut menandakan bahwa perlu ruang istirahat.

Agama Islam pun mengajarkan pentingnya keseimbangan antara waktu bekerja dengan waktu beristirahat, terlebih waktu istirahat digunakan untuk beribadah dengan upaya mencapai kebahagiaan akhirat.

Sebagaimana dalam hadis ini;

 “Gunakan yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa mudamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa lapangmu sebelum masa sibukmu dan masa hidupmu sebelum masa matimu.” (HR. Al-Hakim)

Berdasarkan tinjauan hadis itu, bahwa pentingnya memiliki keseimbangan dalam pengelolaan waktu berkaitan dengan kebutuhan spiritual. Karena pada dasarnya, pekerjaan yang memiliki tingkat regiliusitas yang baik akan menghasilkan kehidupan kerja yang lebih memuaskan.

Selain itu, mereka memiliki sikap kerja yang positif serta termotivasi dalam bekerja. Bukan semata- mata demi aktualisasi pribadi atau mengharapkan gaji, tetapi strategi bekerja tersebut adalah bagian dari habluminannas.

Dengan demikian, sikap Tawazun (keseimbangan) menjadi kewajiban sekaligus keharusan dalam sosial. karena setiap manusia memiliki aspek kehidupan pribadi dan sosial selain kehidupan pekerjaan. Seperti halnya roda gigi yang saling bertaut dan mendorong satu sama lain, segala aspek kehidupan pun tetap harus seimbang sesuai kemampuan demi terwujudnya hidup bahagia.

Editor: Soleh

Nur Annisa Fitria
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *