Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena tersebut kebanyakan terjadi pada kalangan wanita. Hal tersebut tentu saja melanggar batasan syari’at.
Namun, batasan mengenai fashion dalam agama Islam terdapat banyak khilafiyah dan perdebatan yang panjang, seperti hukum memanjangkan celana atau sejenisnya yang melebihi mata kaki. Sebagian kelompok mengharamkan hukum tersebut secara mutlak, namun sebagian lain membolehkan hukum tersebut.
Dalam konteks ini, ditemukan dua interpretasi yang berbeda mengenai hukum yang dimaksud, toh sumber rujukan yang digunakan istinbat hukum serupa. Dalam tulisan ini, penulis akan fokus menguraikan sekian pendapat ulama mengenai hukum isbal.
Pengertian dan Hukum Isbal
Kebiasaan memanjangkan celana atau sarung dalam beribadah maupun keseharian dalam Islam dikenal dengan istilah “isbal”. Dalam bahasa Arab, isbal merupakan derivasi dari term asbala-yusbilu, serupa dengan al Irsal yang berarti “melepaskan ke bawah atau menurunkan”.
Sedangkan, menurut syari’at makna isbal tidak keluar dari makna bahasa, atau “seseorang yang memanjangkan pakaianya ke tanah” ketika sedang berjalan. Dalam konteks hadis, disebutkan bahwa fenomena tersebut dilakukan atas dasar keangkuhan dan kesombongan muslim.
Dalam kitab aqwalu ahli al ‘ilmi fi hukmi al isbal karangan Dr. Ali Utsman Farih, terdapat 3 keadaan orang yang berlaku isbal: Pertama, perempuan yang mengenakan pakaian dan memanjangkan pakaianya maka diperbolehkan. Al Qadhi ‘Iyad berpendapat bahwa ijma’ ulama’ tentang isbal adalah hak untuk laki-laki, bukan perempuan.
Kedua, laki-laki yang mengenakan kemeja, celana panjang, mantel, sorban, jubah, selendang, dan pakaian lainya apabila dimaksudkan untuk sombong atau angkuh maka hukumnya adalah haram. Ketiga, laki-laki yang memanjangkan pakaianya namun tidak bermaksud sombong atau angkuh, maka hukumnya adalah makruh.
***
Al-Hakim al-Tirmidhi, salah satu ulama asal Uzbekistan berpendapat bahwa hadis-hadis yang menyinggung tentang isbal memanglah menunjukkan adanya larangan. Namun, larangan tersebut disertai dengan adanya syarat, yaitu rasa angkuh atau sombong.
Senada dengan pendapat tersebut, Imam Nawawi mengatakan bahwa batasan seseorang yang isbal (dengan rasa angkuh atau sombong) itu mengkhususkan atau didapati adanya kebolehan isbal.
Keringanan tersebut juga telah diberikan Nabi kepada Abu Bakar al-Shiddiq bahwa beliau bukan termasuk dari orang-orang yang isbal dengan rasa angkuh atau sombong.
Pendapat tersebut diperkuat dengan hadis Nabi mengenai isbal yang terdapat taqyid atau batasan dalam matan hadis tersebut, seperti riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw berkata “Allah Swt tidak akan melihat seseorang yang memanjangkan pakaianya dengan rasa sombong”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dalam kitab yang sama, Al-Hakim al-Tirmidhi juga menguraikan pendapat mengenai orang yang memanjangkan pakaianya namun tidak bermaksud angkuh atau sombong, pendapat mengenai hal ini dibagi menjadi 3 pandangan yaitu:
- Makruh. Pendapat ini disandarkan dari hadis-hadis Nabi mengenai larangan pada isbal yang disertai dengan batasan “jika bermaksud angkuh atau sombong”.
- Mubah. Pendapat ini disandarkan pada riwayat Abi Syaibah yang menjelaskan bahwa baju dan pakaian khalifah Umar bin Abdul Aziz memanjang antara mata kaki dan tali sandalnya.
- Haram. Pendapat ini disandarkan hadis yang melarang isbal secara mutlak (tanpa batasan/pengecualian) dan diperkuat dengan pendapat Ibnu al-Arabi yang mengatakan bahwa “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk memanjangkan pakaianya walaupun berkata “Aku bukan termasuk orang yang sombong ketika isbal”.
Pendapat Empat Mazhab tentang Isbal
Adapun pendapat mengenai isbal menurut empat mazhab fiqih yaitu:
Pertama, Mazhab Hanafi. Fatwa mengenai isbal dalam pandangan mazhab ini adalah seseorang yang memanjangkan pakaiannya lebih rendah dari kedua mata kaki tanpa adanya rasa sombong adalah makruh.
Kedua, Mazhab Maliki. Fatwa mengenai isbal dalam pandangan mazhab ini adalah peringatan mengenai larangan isbal adalah bagi siapapun yang melakukanya dengan rasa angkuh dan sombong.
Ketiga, Mazhab Syafi’i. Fatwa mengenai isbal dalam mazhab ini adalah diharamkan memanjangkan pakaian, sarung, dan celana panjang yang menutupi mata kaki adalah untuk orang yang bermaksud angkuh lagi sombong dan dimakruhkan untuk orang yang tidak bermaksud sombong.
Keempat, Mazhab Hanbali. Fatwa mengenai isbal dalam pandangan mazhab ini adalah dimakruhkan bagi seseorang yang memanjangkan kemeja, sarung, dan celana panjang karena Nabi menyuruh untuk mengangkat atau meninggikan sarung. Apabila seseorang memanjangkan pakaiannya dengan tujuan sombong maka hukumnya haram. Pendapat ini bersandar pada salah satu hadis Nabi, “Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya dengan tujuan angkuh atau sombong maka Allah tidak akan melihatnya di hari kelak”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dewasa ini cukup ramai dan tidak kondusif mengenai dakwah dalam sosial media. Beberapa pihak (hanya) menguraikan hukum Islam dengan perspektif atau pemahaman kubu mereka sendiri tanpa melihat dan mempelajari mazhab lain. Sehingga, agama Islam dikenal dengan agama yang kaku dan membatasi. Hukum Isbal contohnya, dihukumi dengan perbuatan yang haram secara mutlak.
Padahal, apabila merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau syarh hadis maka didapati sekian ikhtilaf atau perbedaan. Hal ini mengisyaratkan kita betapa pentingnya ber-istinbat atau menentukan hukum yang bersumber dari para ulama, bukan pemahaman sendiri. Wallaahu a’lamu bi al Shawaab.
Editor: Soleh