Fikih

Definisi Musik dan Hukum Mendengarkannya

4 Mins read

Akhir-akhir ini, ramai terjadi perbincangan kepada salah satu Ustadz kondang, yang menyatakan ada surat musik (Asy-Syu’ara) di dalam Al-Qur’an. Lantas apa itu musik? Bagaimana yang dimaksud dengan musik, apakah iramanya, lantunannya, atau semua unsur di dalam musik itu disebut musik? Oleh karena itu, mari kita bahas dari definisi musik sendiri.

Perlu kita ketahui dalam Bahasa Arab terdapat beberapa lafadz untuk memaknai musik, yaitu: Al-Gina’u, Al-Musiqa, Al-Ma’azif. Sebelum lebih jauh, kita cari tahu definisi musik dari berbagai mu’jam:

Definisi Musik

Musiqa berasal dari lafadz Yunani mutlak atas seni musik atas alat musik. (Mu’jam Al-Wasith).

Musiqa bermakna seni yang disandarkan kepada komposisi musik, penulisannya, lagunya, mendendangkannya yaitu jenis-jenis yang beragam. (Mu’jam Al-Gani).

Musiqa secara Istilah: Ilmu mengetahui keadaan nada, irama, tata cara penulisan lagu dan terdapat alatnya. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, Juz.38, Hlm.168).

Ilmu musik merupakan ilmu yang mengkaji tentang asal suatu nada dari aspek penulisannya atau bertentangannya dan keadaan zaman yang menengahi diantaranya untuk mengetahui tata cara menulis lagu. (Ibid).

Definisi Gina’un

Gina’un dikasrahkan huruf ghain, secara bahasa: As-Shaut (Suara), yaitu gembira, menyanyi dengan ucapan yang berirama dan selainnya dan menjadi bersahabat dengan musik. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz.38, Hlm.168).

Secara Istilah: dimutlakkan gina’ atas mengangkat suara dengan sya’ir dan hal-hal yang mendekatinya berupa Rijiz (Sya’ir dengan bahasa rijiz) atas jenis yang khusus.

Definisi Ma’azif dan Lafadznya

Secara Bahasa: ”Alat Hiburan/ Alat Musik.” Salah satunya adalah Mi’zaf. Ma’azif adalah: Alat hiburan yang dipukul. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz.38, Hlm.178).

Ada beberapa lafadz yang berkaitan dengan Ma’azif, yaitu: Lahwun, Musiqa, dan Gina’un. Adapun Musiqa dan Gina’ sudah dijelaskan di atas, maka penulis tinggal menjelaskan makna Lahwun.

Definisi Lahwun

Secara Bahasa: Sesuatu yang engkau mainkan dan menyibukkanmu berupa hawa/kesukaan dan alat musik, dan sejenisnya. Al-Fayyumi menukil pendapat At-Turtusi yang berpendapat: Asal dari Lahwun adalah menyenangkan/menghibur diri dengan hal-hal yang tidak menghendaki hikmah. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz.38, Hlm.167).

Hukum Taklifi

Hukum Taklifi merupakan hukum yang dibebankan kepada seorang hamba. Maka bagaimana hukum taklifi tentang Ma’azif?

Hukum Ma’azif terbagi menjadi empat:

1. Haram

Haram Ma’azif mencakup zatnya, senar, suling, lagu, kecapi, tambur (sejenis gitar), rebab, dan yang semisalnya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ali Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: ”Jika umatku mengerjakan lima belas perkara maka bencana pasti akan menimpa mereka: mengambil para wanita penyanyi dan alat-alat musik”. HR. Tirmidzi 2136 (Dhaif).

Baca Juga  Tipologi Puasa ala Al-Ghazali: Puasa Umum, Khusus, Khususul Khusus

Begitupula hadis yang diriwayatkan dari Abu Umamah Ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk untuk seluruh alam, ia memerintahkanku melenyapkan seruling, gambus, rebana yaitu Al-Barabit dan Ma’azif”.

2. Makruh

Di antara Ma’azif yang makruh seperti rebana yang dipukul oleh laki-laki menurut Hanafiyyah dan Hanabilah.

3. Mubah

Gendang yang tidak melalaikan seperti gendang untuk perang/kafilah. Ini menurut sebagian Fuqaha Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.

4. Mandub/Mustahab

Ma’azif bisa menjadi Mandub/Mustahab ketika pernikahan untuk I’lannya menurut sebagian Fuqaha. Pada selain nikah, pada sesuatu yang menambah kebahagiaan pada kadar tertentu menurut sebagian lain. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz.38, Hlm.169).

Illat Tahrim (Alasan Pengharaman)

‌‌عِلَّةُ تَحْرِيمِ بَعْضِ الْمَعَازِفِ:٦ – نَصَّ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ عَلَى أَنَّ مَا حَرُمَ مِنَ الْمَعَازِفِ وَآلَاتِ اللَّهْوِ لَمْ يَحْرُمْ لَعَيْنِهِ وَإِنَّمَا لِعِلَّةٍ أُخْرَى:

فَقَال ابْنُ عَابِدِينَ: آلَةُ اللَّهْوِ لَيْسَتْ مُحَرَّمَةً لَعَيْنِهَا بَل لِقَصْدِ اللَّهْوِ مِنْهَا، إِمَّا مِنْ سَامِعِهَا أَوْ مِنَ الْمُشْتَغِل بِهَا، أَلَا تَرَى أَنَّ ضَرْبَ تِلْكَ الآْلَةِ حَل تَارَةً وَحَرُمَ أُخْرَى بِاخْتِلَافِ النِّيَّةِ؟

Sebagian Ahli Fikih bernash bahwa pengharaman Ma’azif dan Alat-alat Lahwun tidak haram karena zatnya, melainkan karena illat (sebab) lain:

Ibnu ‘Abidin berpendapat: Alat Lahwun (Bersenang-senang/Kesukaan) itu tidak haram karena zatnya, melainkan maksud dari Lahwun tersebut, berupa karena mendengarnya, atau karena menyibukkan diri dengannya. Maka engkau jangan memandang bahwa dengan memukul alat itu terkadang halal dan haram di sisi lain, sesuai dengan niatnya. Al-Haskafi Rahimahullah berpendapat: oleh karena itu, haram itu tatkala memukul naubah dengan berbangga. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz.38, Hlm.178).

Al-Gina’ dan Ma’azif

١٩ – الْغِنَاءُ إِِمَّا أَنْ يَقْتَرِنَ بِآلَةِ مُحَرَّمَةٍ مِنْ آلَاتِ الْعَزْفِ أَوْ لَا يَقْتَرِنَ بِهَا، فَإِِِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِأَيِّ آلَةٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِهِ عَلَى تَفْصِيلٍ سَبَقَ فِي مُصْطَلَحِ (اسْتِمَاعٌ ف ١٦ – ٢٢) . وَإِِِنِ اقْتَرَنَ الْغِنَاءُ بِآلَةِ مُحَرَّمَةٍ مِنْ آلَاتِ الْعَزْفِ، فَقَدْ ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَجُمْهُورُ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى حُرْمَتِهِ. وَذَهَبَ بَعْضُ فُقَهَاءِ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى حُرْمَةِ آلَةِ الْعَزْفِ وَبَقَاءِ الْغِنَاءِ عَلَى الْكَرَاهَةِ (١) .

Al-Gina’ (Lagu) adakalanya bergabung dengan Alat-alat haram seperti azfun (alat musik bersenar) atau tidak bergabung dengannya. Maka jika lagu tidak bergabung dengan alat-alat maka telah terjadi perbedaan pendapat pada hukumnya. Maka jika bergabung dengan alat-alat yang diharamkan seperti Azf, maka Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, dan Jumhur Syafi’iyyah untuk mengharamkannya. Sebagian Ahli Fikih berpendapat haram alat musiknya saja, sementara lagu (tanpa alat musik) itu tetap namun makruh. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz.38, Hlm.178),

Hukum Mendengarkan Lagu

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّ اسْتِمَاعَ الْغِنَاءِ يَكُونُ مُحَرَّمًا فِي الْحَالَاتِ التَّالِيَةِ:

Baca Juga  Hazrat Inayat Khan: Gagasan tentang Musik Islam

أ – إِذَا صَاحَبَهُ مُنْكَرٌ.

ب – إِذَا خُشِيَ أَنْ يُؤَدِّيَ إِلَى فِتْنَةٍ كَتَعَلُّقٍ بِامْرَأَةٍ، أَوْ بِأَمْرَدَ، أَوْ هَيَجَانِ شَهْوَةٍ مُؤَدِّيَةٍ إِلَى الزِّنَى.

ج – إِنْ كَانَ يُؤَدِّي إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ دِينِيٍّ كَالصَّلَاةِ، أَوْ دُنْيَوِيٍّ كَأَدَاءِ عَمَلِهِ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ، أَمَّا إِذَا أَدَّى إِلَى تَرْكِ الْمَنْدُوبَاتِ فَيَكُونُ مَكْرُوهًا. كَقِيَامِ اللَّيْل، وَالدُّعَاءِ فِي الأَْسْحَارِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.

Jumhur Fuqaha (Ahli Fiqih) berpendapat bahwa mendengarkan lagu dapat menjadi haram pada keadaan berikut:

  1. Jika penyanyinya munkar (jahat/keji)
  2. Jika khawatir melakukan itu mengarahkan kepada fitnah seperti berhubungan/ berkaitan dengan perempuan, pemuda, atau mengobarkan syahwat yang mengarahkan kepada zina.
  3. Jika mengarahkan untuk meninggalkan kewajiban agama seperti salat, atau duniawi seperti mengerjakan pekerjaan yang wajib baginya. Adapun jika mengarahkan meninggalkan yang mandub (sunnah) maka menjadi makruh seperti Qiyamul Lail, Berdo’a di waktu Ashar, dll. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Jilid.4, Hlm.90).

Hukum Mendengarkan Musik

Sesungguhnya sesuatu yang halal dilakukan dari bermusik, maka halal mendengarkannya. Dan sesuatu yang haram melakukanya, maka haram mendengarkannya. Karena haram bermusik, bukan karena zatnya, melainkan alat untuk memperdengarkannya. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Jilid.4, Hlm.90).

Hukum Mendengarkan Ma’azif

ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ الاِسْتِمَاعَ إِلَى الْمَعَازِفِ الْمُحَرَّمَةِ حَرَامٌ، وَالْجُلُوسُ فِي مَجْلِسِهَا حَرَامٌ، قَال مَالِكٌ: أَرَى أَنْ يَقُومَ الرَّجُل مِنَ الْمَجْلِسِ الَّذِي يُضْرَبُ فِيهِ الْكَبَرُ وَالْمِزْمَارُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِنَ اللَّهْوِ (٢). بَل إِنَّ بَعْضَ الْفُقَهَاءِ نَصَّ عَلَى أَنَّ مَنْ يَسْتَمِعُ الْمَعَازِفَ الْمُحَرَّمَةَ فَاسِقٌ، قَال ابْنُ الْقَيِّمِ: الْعُودُ وَالطُّنْبُورُ وَسَائِرُ الْمَلَاهِي حَرَامٌ، وَمُسْتَمِعُهَا فَاسِقٌ (٢)

Ahli Fikih berpendapat bahwa mendengar ma’azif yang diharamkan itu haram, duduk dalam majelisnya haram. Imam Malik Rahimahullah berkata: aku memandang seorang laki-laki berdiri dalam suatu majelis yang dipukul di dalamnya kebanggaan dan seruling atau selain itu berupa kelalaian. Akan tetapi sesungguhnya sebagian Fukaha lain bernash bahwa yang mendengarkan ma’azif yang diharamkan itu fasik. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat: Al-A’ud, Tunbul dan seluruh yang melalaikan itu haram, termasuk mendengarkannya juga haram. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz.38, Hlm.178).

Sebetulnya masih banyak perincian lain tentang jenis alat musik apa saja yang benar- benar diharamkan di dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, namun pembahasan itu jika dibahas dalam artikel ini tidak akan cukup karena pembahasan itu kurang lebih menghabiskan sekitar 40 halamanan.

Baca Juga  Bolehkah Bekerja di Tempat Orang Non-Muslim?

Adapun urutan hukum yang kami rincikan tentang musik sebagai berikut:

1. Haram Mutlak

Kelompok yang mengharamkan musik secara mutlak adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada hadis, dan pendapat ulama-ulama yang mengharamkan alat-alat musik, memainkan, dan mendengarkan.

2. Haram Alat

Kelompok ini adalah sekelompok orang yang mengharamkan alat-alat musik saja, namun membiarkan lagunya. Maka beberapa di antara salah satu kelompok ada yang menghilangkan backsound/instrumen musik dari suatu lagu dan hanya membiarkan vokalnya saja.

3. Halal dan Mubah

Sekelompok lain berpendapat bahwa musik itu mubah bahkan pada beberapa hal dikategorikan mandub (sunnah). Adapun alasan pembolehan musik antara lain sebagai berikut:

A. Illat/pengharaman musik itu disebabkan karena melalaikan. Melalaikan dari perkara yang diwajibkan agama, mendekati hal-hal yang dilarang agama. Maka jika hal itu tidak terjadi, kita dapat mengontrol, maka hukum musik tetap dibolehkan. Sebagaimana suatu fiqih:

الحكم يدور مع علته و سببه وجوبا وعدما

Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak ada illat dan sebabnya. Karena illat pengharaman musik (ma’azif) itu tidak terjadi, maka tetap boleh mendengarkan musik.

Hadis-hadis yang dijadikan pegangan untuk mengharamkan musik itu derajatnya dha’if dan dha’iful Isnad menurut Lidwa Pusaka, salah satu software pencari matan hadis. Maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengharamkan musik.

Pandangan Muhammadiyah

Dalam Buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Jilid 3, Hlm.164, berkaitan dengan Seni Suara dan Seni Pertunjukkan/Tari, Majelis Tarjih dan Tajdid telah meninjau dari segi asas umum ajaran agama, tari, nyanyi, dan musik termasuk kategori Mu’amalah Duniawiyah yang asasnya adalah segala sesuatu itu pada dasarnya boleh sampai ada dalil yang melarang:

الأصل فى المعاملة الإباحة حتى يدل الدليل على التحؤيم.

Atas dasar itu, maka menari, menyanyi, dan memainkan alat musik pada dasarnya mubah. Larangan timbul karena suatu yang lain, misalnya dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak dibenarkan agama.

Editor: Soleh

Aeger Kemal Mubarok
12 posts

About author
Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *