Membahas besaran gaji atau honor para pendakwah sering kali menjadi isu sensitif. Pemahaman yang kurang tepat bisa mengarah pada dua sikap ekstrem: tamak atau sombong. Para ulama, kiyai, ustadz, guru, penceramah, marbot masjid, muadzin, dan profesi serupa, sejak awal sudah dididik dengan prinsip keikhlasan. Mereka tidak akan meminta tarif tertentu meskipun dalam kekurangan. Masalah ini bukan hanya terkait dengan para pendakwah, namun lebih pada perhatian yang seharusnya diberikan oleh kita semua.
Sebagai masyarakat, kita sering kali melupakan bahwa dakwah tidak hanya soal penyampaian ilmu agama, tetapi juga tentang pengabdian yang mengharuskan para pendakwah untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan kadang-kadang kondisi ekonomi pribadi mereka. Pendakwah berperan penting dalam membimbing masyarakat, menjaga keberlanjutan ajaran agama, dan melawan kemunduran moral yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, memberikan perhatian yang lebih pada kesejahteraan mereka adalah bentuk pengakuan atas kontribusi besar yang mereka berikan dalam pembentukan karakter dan spiritualitas masyarakat.
Tabu dalam Membicarakan Honor di Muhammadiyah
Di lingkungan Muhammadiyah, membicarakan honor ustadz atau penceramah adalah hal yang tabu dan sering dianggap tidak pantas, bahkan ketika dibicarakan dengan cara yang halus. Karena itu, jarang kita temui para dai Muhammadiyah yang membicarakan amplop, meski sekadar bercanda, saat ceramah. Namun, hal yang berbeda terjadi di pengelola amal usaha, di mana honor sering diatur dengan sistem yang rapi, bahkan ada yang tertuang dalam kontrak. Sampai saat ini, tidak ada edaran atau standarisasi honor untuk penceramah, khotib, guru ngaji, muadzin, atau marbot di lingkungan Muhammadiyah.
Ketidakadilan perlakuan terhadap mereka yang berperan sebagai ujung tombak dakwah di Muhammadiyah sangat terlihat. Imam, khotib, ustadz, guru ngaji, dan lainnya adalah bagian penting dari dakwah, namun peran mereka sering kali terabaikan. Sebagai contoh, hanya di Rumah Sakit yang ada personel binroh (bimbingan rohani) yang secara teknis diperlukan, meskipun gaji dan posisinya seringkali terpinggirkan. Sebenarnya, semua AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) juga memerlukan binroh untuk memastikan bahwa semua arah usaha tetap dalam koridor ideologi Muhammadiyah, bukan tergelincir ke dalam ideologi kapitalis.
Antara Kealiman dan Kekurangan
Masalah ini bukan hanya masalah Muhammadiyah, melainkan masalah umat secara umum. Banyak yang memandang kealiman dan kezuhudan ulama berdasarkan cara hidup mereka yang sederhana, bahkan miskin. Pandangan ini berdampak pada perlakuan terhadap ulama yang sering hanya dianggap sebagai pelengkap acara atau tukang doa, sementara yang lebih dihargai adalah para direksi atau komisaris yang mengelola amal usaha tersebut.
Kasihan melihat kiyai kampung yang hidup serba kekurangan. Ketika yang lain sudah menikmati sore hari dengan tenang, ia masih mencari pakan ternak untuk kambingnya, lalu pulang untuk mandi dan mengumandangkan adzan meskipun menjelang akhir waktu Ashar. Tidak jarang ia mengiqomati dan shalat sendirian. Bahkan, beberapa orang masih mencemooh adzan yang dilakukan di penghujung waktu sebagai tanda kurangnya literasi.
Variasi Kondisi Ekonomi Pendakwah Sepanjang Sejarah
Sejarah mencatat bahwa kondisi ekonomi ulama sangat beragam. Ada yang hidup miskin, ada yang cukup, dan ada juga yang kaya. Imam Bukhari (194–256 H) hidup sederhana, berpindah-pindah untuk mencari hadis dan menolak pemberian penguasa. Begitu pula Imam Nawawi (631–676 H), yang hidup sangat sederhana dengan makanan roti dan sayuran serta menolak hadiah dari penguasa.
Ada juga ulama dengan kondisi ekonomi cukup, seperti Imam al-Ghazali (450–505 H), yang kehidupannya cukup untuk kebutuhan hidup tetapi tidak berlebih. Al-Ghazali sering mengkritik ketamakan terhadap dunia, namun tidak menolak harta halal. Sementara Ibn Hajar al-Asqalani (773–852 H) hidup berkecukupan sebagai qadi dan guru, menggunakan hartanya untuk membeli buku dan mendukung pendidikan.
Di sisi lain, ada juga ulama dengan kondisi ekonomi kaya, seperti Imam Syafi’i (150–204 H) yang sempat hidup miskin, lalu menjadi kaya karena kedudukannya sebagai qadi dan pemberian murid-muridnya. Beliau sangat dermawan dan sering memberi sedekah. Ibn Sina (370–428 H), sebagai dokter dan penasihat penguasa, juga termasuk ulama kaya yang menggunakan kekayaannya untuk penelitian dan penulisan buku.
Seimbang terhadap Harta dan Dunia
Meskipun kondisi ekonomi mereka berbeda, sikap para ulama terhadap harta tetap bersyukur dan terus berdakwah, baik melalui tulisan maupun ucapan. Mereka tetap zuhud seperti Imam Nawawi dan Imam Bukhari yang memilih hidup sederhana, Imam al-Ghazali yang seimbang dalam menerima harta halal, dan Imam Syafi’i serta Abdurrahman bin Auf yang banyak bersedekah.
Bagaimana dengan sikap penguasa dan pengurus organisasi terhadap para pendakwah yang menjadi tanggung jawab mereka? Sejarah peradaban Islam mengajarkan kita bagaimana penguasa dan negara menghargai ulama. Pada masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin, penggerak agama mendapatkan imbalan yang layak. Ibn Sa’d dalam Al-Tabaqat al-Kubra mencatat bahwa Bilal bin Rabah, sebagai muadzin, diberikan tanah oleh Rasulullah sebagai sumber penghasilan.
Pada masa Dinasti Umayyah dan seterusnya, gaji para ulama dan penggerak dakwah pun terjamin. Qadi agung seperti Al-Hasan al-Basri menerima gaji 1.000–2.000 dirham/bulan. Guru madrasah digaji 30–50 dinar/bulan. Hal ini menunjukkan penghormatan negara terhadap ulama.
Pada masa Umar bin ‘Abd al-Aziz, pengajar fikih dari baitul mal menerima 100 dinar per orang. Begitu pula pada masa Dinasti Utsmaniyah, Sultan Bayazid II menggaji Imam Ibn al Jazariy 200 dirham/hari, setara dengan Rp10 juta/hari. Di Kairo, imam masjid digaji 900 dirham/bulan, muwaqqit dan muazzin digaji 200 dirham/bulan. Konversi nilai ini jika diasumsikan 1 dinar = 4,25 g emas, 1 g emas = Rp1,2 juta–Rp1,4 juta, menunjukkan bahwa ulama mendapatkan kesejahteraan yang luar biasa pada masa itu.
Saat ini, meskipun ormas keagamaan bukan negara, mereka memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan ulama. Para pendakwah yang masih banyak kekurangan, seperti guru ngaji, harus mendapatkan perhatian lebih. Pendeta Kristen tidak perlu bingung mencari nafkah keluarga karena zakat umatnya digunakan untuk kesejahteraan mereka.
Pemanfaatan Amal Usaha untuk Kesejahteraan Pendakwah
Dalam studi banding saya ke pesantren Sidogiri, Pasuruhan, saya mengagumi bagaimana mereka memanfaatkan hasil usaha ekonomi pesantren untuk menggaji kiyai dan ustadz. Semua ustadz di pesantren dilarang menjadi pegawai negeri, namun kehidupan mereka ditanggung oleh unit usaha ekonomi pesantren.
Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah pencerahan seharusnya mengubah paradigma masyarakat terkait kesejahteraan para pendakwah ini. Para juru dakwah harus dipandang sebagai garda terdepan pengawal ideologi Muhammadiyah, bukan hanya pelengkap acara. Mereka sering menjadi pintu masuk ideologi lain, sekaligus benteng terkuat dari infiltrasi ideologi baru.
Investasi dalam Dakwah dan Menghormati Pendakwah
Akhirnya, kata orang Jawa, “Jer basuki mowo beyo,” segala sesuatu butuh anggaran. Jangan iri jika pengajian di tempat lain sangat meriah, karena mereka menghormati ulama tidak hanya dengan sikap patuh. Tetapi juga dengan memberikan kelayakan berupa amplop. Jika kita ingin dakwah yang menarik, tentu itu membutuhkan biaya.
Namun, perlu diingat bahwa pendakwah Muhammadiyah tidak akan meminta upah atas dakwah mereka. Banyak yang mengembalikan amplop saat melihat panitia dalam kesulitan. Meskipun begitu, kita tidak bisa menganggap kondisi kekurangan ini sebagai kewajaran. Untungnya, Islam mengajarkan tawakal, sabar, zuhud, dan wira’i sebagai pelipur lara.
Editor: Assalimi