Perspektif

Baru Belajar Agama Jadi Ustadz, Mengapa Banyak Pengikutnya?

4 Mins read

Tulisan ini merupakan lanjutan dari diskursus tentang belajar agama jadi ustadz. Kali ini, kita akan membahas pertanyaan yang mungkin terdapat pada benak banyak orang: kok bisa, baru belajar agama, lalu jadi ustadz, tapi pengikut (jamaah) lebih banyak?

Sebenarnya, saya termasuk orang yang tidak selalu menilai benar dan salah sesuatu berdasarkan kuantitas. Karena jika mentafakuri ayat Alquran, kata mayoritas “kebanyakan” (baik dalam bentuk ‘aktsaruhum’, ‘wa katsirun’) selalu diikuti dengan konotasi negatif.

Contoh pada beberapa akhir ayat: wakatsirum minhum faasiqun (kebanyakan diantara manusia fasik) atau walakinna aktsaruhum yadzlimun (kebanyak manusia berbuat zalim) atau walakinna aktsarannasi la ya’lamun (kebanyakan manusia tidak mengetahui).

Tapi, anggap saja kita sama dengan banyak manusia: orang yang sukses itu dilihat dari seberapa banyak pengaruhnya. Begitupun ustadz sukses dilihat dari seberapa banyak jamaahnya.

Kembali kepada pertanyaan, kalau baru belajar agama, kok bisa pengikutnya banyak? Saya coba jawab, mudah-mudahan bisa menambah perspektif teman-teman.

Pertama, Pengalaman Spiritual Hijrah

Kembali pada argumen saya pada artikel sebelumnya. Sebuah konten dakwah itu akan lebih menarik jika disampaikan oleh orang yang benar-benar mengalami. Pembicaraannya akan lebih menjiwai dan ada energi yang tersalurkan.

Pengalaman spiritual hijrah itu perkara yang membuat banyak orang ingin tahu. Barangkali, karena mereka pun mengalami situasi psikologis yang sama. Sudah terlanjur pada posisi (mohon maaf) banyak kekeliruan, dan ingin sekali mendengar nasihat, dari orang yang pernah mengalami situasi psikologis serupa. Dalam manajemen dakwah, disebut sebagai dakwah bil haal (sesuai keadaan—dalam hal ini kondisi psikologis).

Sederhananya, kok bisa orang paling preman berdakwah melarang untuk mabuk. Kok bisa vokalis band jadi aktivis subuh berjamaah. Kok bisa pemain artis justru rajin pengajian, tidak konsumsi sabu seperti artis pada umumnya. Kalo santri melarang mabuk, ngajak subuh berjamaah dan pengajian mah kan udah gak aneh.

Baca Juga  Ketimpangan Gender dalam Wayang Jawa dan Tafsir Agama

Nah, disinilah, kalau istilah dunia konten, materinya benar-benar punya tingkat coriousity (penasaran) yang tinggi. Sehingga jamaah ingin terpuaskan rasa penasarannya dengan mengikuti pengajian ustadz tersebut.

Kedua, Kemampuan Copywriting yang Handal

Maksudnya, sebagian orang diberikan anugerah untuk mempu mengemas pesan, agar orang yang membaca bisa menyetujui dan merespon pesan tersebut sesuai dengan keinginannya. Oleh karenanya disebut copy (menyalin “respon”).

Kemampuan copywriting yang baik pada era sosial media saat ini, sangat berpengaruh pada ketertarikan (terutama milenial) terhadap sebuah pesan. Pengemasan baik tentang pesan agama akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan pesan tersebut diterima oleh pembaca.

Oleh karenanya, banyak orang yang lebih tersentuh oleh video berformat one minute booster daripada kajian resmi berjam-jam. Orang lebih tertarik dengan pesan yang diformat memiliki akhiran sama, daripada menelaah penjelasan kitab.

Sederhananya begini, pesan-pesan yang lebih quotable dan captionable itu lebih mudah diterima. Contohnya, kalimat “Jadikan hidup, lebih hidup. Karena hidup bukan untuk hidup, tapi untuk Allah yang Maha Hidup. Kalaupun harus mati, itu jalan hidup.” Ini pesan yang instagramable banget dong, apalagi untuk foto selfie tapi caption dakwah.

Coba bandingkan dengan menyimak kajian kitab bab Mujahadah pada kitab Riyadussalihin. Apalagi jika hadisnya dijelaskan dengan takhrijul hadis dan syarahnya. Akan sulit mendapatkan hal-hal yang quotablenya. Keburu jenuh.

Kemampuan menyampaikan pesan lebih menarik sebenarnya sah-sah saja, bahkan jika ternyata lebih mampu menyentuh jamaah, itulah yang diharapkan. Karena hal ini yang (juga saya alami) luput dari kalangan santri.

Bagaimapun, gaya dakwah kita tak bisa lepas dari guru-guru kita terdahulu, bahkan kadang tidak berani berimprovisasi terhadap pemaknaannya. Kadang selalu sama persis, sesuai dengan yang dijelaskan guru, karena memang ketakutan menyampaikan pesan yang keliru lebih besar, daripada memikirkan penerimaan jamaah terhadap pesan tersebut.

Baca Juga  Little Known Ways To Rid Yourself Of GAME

Ketiga, Sesuai Kondisi Psikologis

Pesan yang disampaikan sederhana, sesuai kondisi psikologis yang ingin diterima oleh jamaah. Maksudnya begini, saya termasuk kadang insecure dengan jamaah sendiri, bagaimana jika mereka tanya lebih jauh tentang tafsirnya, takhrijul hadisnya, syarahnya, dan sebagainya. Pada akhirnya, penyampaian materinya menjadi lebih padat dan rumit.

Sebenarnya, jamaah di Indonesia jarang sekali yang “benar-benar mengaji”. Maksudnya, jika pertemuan tafsir ke depan, QS. Albaqarah 32-40, mereka datang pengajian untuk hal-hal yang taken for granted. Bukan membaca dulu di rumah, kemudian melakukan sintesa terhadap materi dari ustadz.

Masih berkaitan dengan pengemasan pesan yang baik, salah satu tekniknya adalah memaksa pembaca untuk menentukan sikap sesuai apa yang kita inginkan. Sebenarnya ini mirip teknik dalam jual beli. Biasanya, pembaca dibuat insecure dengan keadaanya, lalu dipaksa membeli produk mereka agar lebih percaya diri.

Begini. Saya amati banyak ending pesannya menjadi sebuah jargon sikap: “Pilih Islam atau ajaran Barat?” “Pilih nikah atau pacaran?” “Masih ragu dengan Islam?” “Mau ikut nabi atau ikut artis?” “Kita lawan Yahudi” dan masih banyak lagi.

Pesan dan jargon sederhana dan tegas seperti ini sangat disukai oleh jamaah awam. Berbeda dengan para ustadz santri yang terkadang kurang mampu menyederhanakan pesan.

Contoh, saat memberi materi tentang Alquran dan Sunnah sebagai pedoman hidup. Alih-alih memberi pesan yang mudah dicerna: “Pilih Alquran dan Sunnah atau Hasil Pikiran Manusia?” Saya justru akan menjelaskan proses suatu hukum dalam Alquran itu bisa diambil.

Alquran dan Hadits memang menjadi pedoman, tapi tidak taken for granted. Ada metodenya. UUD 1945 saja tidak bisa sembarangan, harus ada metode dan pakar hukum tata negara. Saat mendapat ayat Alquran, pakai ushul fikih untuk mengambil intisari hukumnya. Lalu, untuk menerapkan hukumnya, menggunakan kaidah fikih. Atau menjelaskan hadis, diurai takhrijul hadisnya dulu.

Baca Juga  Gus Yahya: Politik Identitas itu Bentuk Mempermainkan Agama!

Coba pakai metode di atas, gimana jamaah tidak bosan? Padahal mereka datang mengaji itu buat menunggu hal-hal yang “Aha” atau “Oooh gitu” moment. Tapi bagaimanapun inilah tradisi yang diwariskan oleh para guru agar ilmu terjaga kesuciannya. Tidak ditafsirkan sembarangan dan menyesatkan banyak orang.

Keempat, Egaliter dalam Belajar Agama

Jamaah terkadang segan kalau harus curhat atau bertanya sesuatu kepada kyai/ulama tingkat tinggi langsung. Apalagi sikap unggah-ungguh yang kurang akan menjadi masalah dikemudian hari.

Oleh karenanya, jika ada ustadz yang humble, bisa nyambung bicara apa aja, dan tidak terlalu ribet, akan lebih disambut. Sikap humble dan egaliter terhadap jamaah, bahkan masuk terhadap circle pertemanan mereka membuat ikatan psikologis menjadi kuat. Energi ini bertransformasi menjadi kekuatan komunitas yang tinggi.

Masih banyak sebenarnya, tapi saya rasa cukup empat saja dulu. Mohon tulisan ini jangan dimaknai untuk merendahkan orang lain. Sama sekali tidak! Saya orang yang percaya, jalan menuju surga itu bisa ditempuh oleh berbagai cara. Allah pun mengatur hambanya agar selalu dekat dengan Nya.

Kita tak boleh merasa, jalan kita lebih baik! Justru perbedaan adalah tanda keluasan Allah agar kita bisa memilih metode mana yang cocok yang bisa mengantarkan kita masuk ke surga Nya.

Editor: Yusuf R Y

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *