Libya, sebuah negara yang terletak di wilayah Afrika Utara, berbatasan dengan Laut Tengah dan terbilang masih belum stabil dan masih dilanda berbagai masalah. Sejak penggulingan Muammar Khadafi pada pada tahun 2011, Libya terjerumus dalam konflik berkepanjangan dan perang saudara. Saat ini, meskipun ada upaya persatuan oleh pemerintah sementara, keamanan seluruh negeri tetap menjadi masalah serius.
Di tengah kondisi tersebut, siapa sangka negeri yang dianugerahi keindahan Laut Mediterania, kaya akan sejarah dan peradabannya. Ada satu nama yang selalu bergema melampaui batas-batas Libya, menjadi salah satu inspirasi bagi gerakan-gerakan pembebasan di seluruh dunia pada saat itu, ia adalah Omar Mukhtar.
Artikel ini akan mencoba menelusuri jejak-jejak perjuangan, dan warisan abadi yang ia tinggalkan dalam membentuk identitas Libya hingga hari ini.
Lahir pada 20 Agustus 1858 (sumber lain 1862), di al-Batnan di wilayah al-Jabal al-Akhdar, Libya, Omar Al-Mukhtar adalah nama yang tak lekang oleh waktu dalam sejarah Libya. Ia Lahir dari seorang ayah bernama Sayyid Mukhtar bin Umar. Ia dikenal luas sebagai “Singa Padang Pasir” oleh rakyatnya, dan dijuluki “Matari Mnifa” oleh penjajah Italia.
Omar Mukhtar adalah seorang guru yang bangkit menjadi jenderal dan pemimpin perjuangan rakyat Libya Timur. Ia memimpin perlawanan di bawah Senussi, sebuah organisasi militer dan keagamaan yang teguh menentang pendudukan Italia atas Libya.
Omar Mukhtar: Dari Kesederhanaan Menuju Kepemimpinan
Omar menjadi yatim piatu sejak usia belia, ia menghabiskan masa mudanya dalam kesederhanaan. Sesuai wasiat sang ayah, ia diadopsi oleh Sharif Al-Ghariani, seorang ulama terkenal, pemimpin politik-agama di Cyrenaica (nama Libya dulu) yang juga masih keluarga Omar.
Menurut The Biography of Shaikh ‘Umar al-Mukhtar, sejak kecil Omar sudah mendapatkan pendidikan agama. Ia menerima pendidikan awalnya di masjid setempat untuk belajar pengetahuan umum dan menghafalkan Al-Qur’an. Saat dewasa ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Jaghbub, yang berafiliasi dengan kelompok sufi Senussi.
Setelah delapan tahun menempuh pendidikan, Omar lulus sebagai imam dan bergabung dengan kelompok Senussi di bawah kepemimpinan Syekh Muhammad Al-Mahdi Al-Senussi. Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke kampung halaman untuk mengabdi kepada masyarakat.
Omar dikenal sebagai ahli Al-Qur’an dan imam yang sangat popular. Keterlibatannya dalam organisasi Senussi memberinya pemahaman mendalam tentang struktur sosial masyarakatnya, ia bahkan sering dipercaya untuk menyelesaikan pertikaian antar suku. Ia dikenal sangat religius, berpegang pada ajaran islam, dan meyakini prinsip jihad.
Dua Dekade Melawan Penjajahan
Jika Indonesia punya Pangeran Diponegoro, maka Libya juga punya Omar Mukhtar sebagai simbol perlawanan atas penjajahan, Pada tahun 1911, saat berusia 53 tahun, Omar Mukhtar memulai perjuangan hidupnya. Ia memimpin gerakan perlawanan Libya selama lebih dari dua puluh tahun melawan penjajahan Italia, terutama selama masa “Pasifikasi” atau pengamanan Libya oleh Italia.
Bahkan Rodolfo Graziani, seorang tokoh fasis dan perwira militer Italia di Libya saat itu, menggambarkannya sebagai pribadi yang luar biasa. Graziani menyebut Omar sebagai “orang yang cerdas, berbudaya, tegas, jujur dan rendah hati”.
Lebih lanjut, Graziani mengakui, “dia adalah seorang religious yang fanatik, tetapi juga dia adalah orang yang penyayang ketika kekuasaan ada di tangannya, dia juga sangat setia kepada tanah airnya, selalu menghormati meskipun tindakannya bertentangan dengan kepentingan kita, dan satu-satunya kesalahannya adalah dia sangat membenci kita.” Pengakuan dari musuh bebuyutannya ini semakin menggarisbawahi kharisma dan integritas Omar Mukhtar.
Pengorbanan dan Warisan Abadi Omar Mukhtar
Setelah perjuangan panjang dan gigih, Omar Mukhtar akhirnya ditangkap oleh tentara Italia pada 11 September 1931. Tiga hari kemudian, Omar diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Ketika mendengar keputusan itu, Omar bereaksi dengan membaca potongan ayat Al-Qur’an dari surat Al-Baqarah ayat 156, yang artinya “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali”.
Meskipun dalam kondisi sakit, Omar dieksekusi pada 16 September 1931 di kota Suluq, sebelah selatan Benghazi, Omar Mukhtar digantung.
Tujuan utama eksekusi ini adalah untuk melenyapkan gerakan-gerakan yang menentang kekuasaan Italia. Namun hasilnya justru sebaliknya. Kematiannya justru membakar semangat perlawanan, meningkatkan intensitas revolusi, hingga munculnya gerakan boikot terhadap produk Italia bahkan di luar Libya seperti Suriah, karena mereka marah atas kematian Omar Mukhtar.
Kata-kata yang cukup fenomenal diucapkan Omar Muhktar di hari-hari terakhirnya menggema dan menginspirasi jutaan orang Arab dan Muslim yang berbunyi “Kita adalah bangsa yang tidak mengenal menyerah, kita menang atau mati.”
Hingga hari ini, setiap tanggal 16 September, rakyat Libya merayakan peringatan kematian Omar Mukhtar. Ia dihormati sebagai pahlawan nasional Libya dan simbol perjuangan di dunia Arab dan Islam, mewakili keteguhan heroiknya dalam melawan invasi Italia. Warisan Omar Mukhtar terus hidup, menginspirasi generasi demi generasi untuk senantiasa memperjuangkan kebebasan dan martabat.
Sumber Bacaan
As-Sallabi, Ali Muhammad, Islamic History in North Africa The Sannusi Movement in Libya, The Biography of Shaikh ‘Umar al-Mukhtar, Published by : Al-Firdous – London.
Dhont, Frank, The Historical of Omar Al-Mukhtar and Islamic Martyrdom in Indonesia.
Omar Mukhtar, Wikipedia.org
The Lion of Desert, Libya Mohammed, The Libya Observer. https://libyaobserver.ly/culture/lion-desert
Editor: Soleh