Review

Bukti Adanya Pluralisme dalam Islam

3 Mins read

Biasanya, kalangan dari Filsuf-Sufi akan tersisihkan pendapatnya jika mereka mengemukakan sebuah pandangan keagaman. Pendapat mereka akan kalah dengan pendapat dari kalangan para fukaha, mufti atau mujtahid yang sudah diakui dalam bidang keilmuan keislaman. Pendapat mereka—para tokoh filsuf dan sufi— dinilai nyeleneh, keluar, dan tidak familiar dalam mengemukakan suatu pandangan tentang keislaman.

Menimbang Pluralisme: Mengungkap Keragaman Intelektualisme Islam

K.H. Husein Muhammad dalam bukunya “Menimbang Pluralisme Belajar dari Filsuf dan Kaum Sufi” mencoba untuk menghidupkan pandangan mereka untuk menunjukkan keragaman intelektualisme Islam, dalam hal ini adalah gagasan tentang pluralisme. Yang mana pandangan pluralisme ini sendiri kadang masih sering disalahartikan maknanya.

K.H. Husein Muhammad dalam buku ini ingin membuka kemungkinan cara penafsiran terhadap ajaran Islam itu sendiri yang selama ini tersisihkan. Sebagaimana puncak peradaban Islam pada era Abbasiyah bisa dirasakan kembali. Dimana pada saat itu berbagai pemikiran Islam hadir sebelum akhirnya ada penyeragaman terhadap mazhab negara, baik pada masa Abbasiyah sendiri maupun pada era setelahnya.

Buku ini dibagi dalam dua bagian, yang mana setiap bagian terdiri dari beberapa bab. Bagian pertama adalah yang berjudul Islam, Pluralisme, dan Kebebasan Berpikir, berisi tentang refleksi, tawaran, dan pendekatan terhadap beberapa pendekatan terhadap agama Islam.

***

Dalam bab pertama misalnya, dibedakan antara Din dan Syariah. Mungkin bagi sebagian orang, makna ini masih dipahami tunggal, atau yang bisa diartikan sebagai “agama”, sebagaimana yang ditulis dalam buku ini yang mengutip dari al-Qur’an yang diterbitkan oleh Departemen Agama. Al-Din sendiri dapat diartikan sebagai keyakinan monoteis atau tauhid kepada keesaan Tuhan. Sementara al-Syariah adalah jalan, metode, cara, dan aturan.

Pluralisme yang bisa diartikan sebagai pengakuan adanya, bentuk, kepercayaan atau penafsiran agama yang berbeda seringkali diabaikan bahkan terlupakan. Hal ini sebagaimana yang dituliskan dalam buku ini bahwa ada masalah dalam penafsiran dan membaca teks-teks keagamaan kita. Hal inilah yang akhirnya melahirkan ketegangan, konflik, dan kekerasan atas nama agama. Karena teks-teks agama: al-Qur’an dan Hadis hanya boleh ditafsirkan dan dijadikan justifikasi terhadap kekerasan dan kepentingan masing-masing, dan menolak pandangan lain yang dinilai tidak sejalan.

Baca Juga  Memahami Hakekat Takdir Melalui Seri Televisi Extraordinary You

Buntut dari “penguasaan-penafsiran” oleh sebagian kelompok itu adalah adanya tindakan-tindakan kekerasan, persekusi, dan bahkan hingga titik ekstrem adalah tindakan teror kepada kelompok lain. Mereka menggunakan fatwa yang sudah dikeluarkan untuk menjustifikasi tindakannya, dan menuduh kelompok lain sebagai zindik, sesat, bid’ah bahkan liberal.

Kata yang paling sering digunakan sebagai tuduhan atau tuduhan adalah kata kafir. Hal ini biasanya merujuk kepada kelompok orang-orang non-Muslim. Kata kafir sendiri bisa dilihat dari berbagai pandangan, baik dari agama ataupun sosiologis. Memang mereka yang non-Muslim secara teologis bertentangan dengan apa yang diyakini oleh umat Islam. Namun buku ini menawarkan pendekatan sosiologis-kemanusiaan, bahwa mereka yang kafir adalah mereka yang tidak berlaku adil, melakukan penindasan, ataupun pengingkaran terhadap anugerah dan nikmat Tuhan.

Mereka, menurut K.H. Husein Muhammad, mempunyai pendekatan dalam teks-teks keagamaan yang bersifat literal-harfiah-eksoterik. Pendekatan ini adalah pendekatan yang paling kuat di kalangan umat Muslim dewasa ini (h. 28-29). Dan ini yang dianggap sebagai problem realitas keberagaman di masa sekarang, sehingga tafsir terhadap teks-teks keagamaan menjadi monopoli kelompok tertentu.

Untuk mengatasi ini, K.H. Husein Muhammad menawarkan beberapa pendekatan—yang dilupakan atau ditinggalkan— yang digunakan oleh kalangan filsuf dan kaum sufi, di antaranya: Pertama, pendekatan dengan akal/rasional terhadap teks-teks keagamaan yang biasanya digunakan oleh kalangan filsuf yang menurutnya bahwa para filsuf mendekati teks secara substantif.

Kedua, pendekatan kaum sufi, yang dinilai melampaui pendekatan kaum filsuf. Kaum sufi sendiri biasanya menggunakan ilmu mukasyafah atau penyingkapan dan mujahadah atau pelatihan spiritual yang secara intens. Kaum sufi sendiri dinilai pendekatannya lebih terbuka dari kaum filsuf, karena mereka melihat bahwa semua apa yang sudah ditetapkan oleh Tuhan adalah sama.

Baca Juga  Mungkinkah Tasawuf Berkembang di Muhammadiyah?

Untuk menguatkan argumennya, di bagian kedua penulis menyajikan beberapa tokoh sufi dan filsuf yang pandangan dan pendekatannya dapat dibaca kembali pada masa sekarang, antara lain : al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, dan Fakhr al-Din al-Razi.

Di bagian ini juga kita akan diajak memahami bagaimana para tokoh-tokoh di atas mendekati teks-teks keislaman, sehingga menghasilkan beberapa keragaman pemikiran dan penafsiran terhadap teks itu sendiri.

Ada yang berusaha mendekati dalam segi tasawuf seperti: al-Hallaj, al-Ghazali dan Ibn Arabi, yang mana mereka seringkali pendapatnya tersisihkan atau bahkan tidak digunakan. Ada juga Ibn Rusyd dan Fakhr al-Din al-Razi yang memberikan penawaran pembacaan teks dengan metode filosofis. Dimana mereka menggunakan kekuatan akal dan rasio dalam memahami teks-teks Keislaman. Hal ini juga mulai tersisihkan di kalangan umat Islam, dimana hal ini dianggap sebagai hal yang bermasalah di era sekarang.

Tetapi dengan membuka dan membaca penafsiran mereka yang coba diulas oleh K.H Husein Muhammad, kita akan memahami dan menyadari bahwa nyatanya ada cara lain untuk mendekati dan membaca teks-teks keislaman.

Singkatnya, buku ini dengan merekam dan menuliskan kembali beberapa pemikiran dari para sufi dan filsuf di atas ingin menunjukkan kembali keragaman pemikiran intelektual Islam yang dulu pernah meraih puncaknya.

Sebab penghargaan terhadap keragaman pemikiran dan penafsiran adalah salah satu cara untuk meraih kejayaan peradaban Islam. Peradaban Islam di masa lalu jaya karena adanya sifat terbuka dan inklusif terhadap berbagai penafsiran teks-teks keagamaan yang plural.

Biodata Buku

Judul Buku: Menimbang Pluralisme Belajar dari Filsuf dan Kaum Sufi

Penulis: K.H Husein Muhammad

Halaman: 236

ISBN: 978-623-96104-0-1

Penerbit: Mizan

Cetakan: 1

Fahmi Rizal Mahendra
21 posts

About author
Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya. Membaca dan Menulis tentang sejarah Ottoman, Turki & Tasawuf/Sufisme.
Articles
Related posts
Review

Awe-Inspiring Us: Ketika Cinta dan Cita Berjalan Bergandengan

3 Mins read
Apabila kamu masih ragu dalam menjawab sebagian atau seluruh pertanyaan tentang masa depan, takut membuat pilihan yang salah, atau khawatir kebahagiaan tak…
Review

Tasbih di Ujung Sajadah

5 Mins read
Perkembangan keilmuan Islam utamanya bidang Tafsir sangat penting untuk menggali makna Al-Qur’an. Hasil penafsiran ini tentu harus merespon perkembangan dunia saat ini….
Review

Resensi Buku: Syiar Ramadan, Menebar Cinta untuk Indonesia

2 Mins read
Ramadan adalah momentum yang tepat bagi Muslim di seluruh dunia untuk meningkat spiritualitas, baik secara individu maupun sosial. Di bulan ini, manusia…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *