Perspektif

Pentingnya Kalender Islam Global untuk Masa Depan Umat

5 Mins read

Perkembangan teknologi memudahkan umat Islam mengetahui awal bulan Ramadan dari berbagai negara di dunia dalam waktu yang sangat singkat, bahkan ada beberapa komunitas muslim melalukan siaran langsung pelaksanaan rukyatul hilal. Menurut Islamic Crescent Observation Project, terdapat 31 negara yang memulai Ramadan 1446 pada hari Sabtu 1 Maret 2025, antara lain Saudi Arabia, Bahrain, Mesir, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, Turki, Libya, dan Indonesia.

Berbagai media online yang terbit pada hari Jum’at 29 Syakban 1446/28 Februari 2025 juga menyebutkan awal Ramadan 1446 jatuh pada hari Sabtu 1 Maret 2025 sebagaimana dilaporkan harian Ahram Mesir, Al-Ayam Oman, dan al-Qabs Kuwait.

Sementara itu, terdapat 7 negara yang menetapkan awal Ramadan 1446 jatuh pada hari Ahad 2 Maret 2025, yaitu Ghana, India, Pakistan, Iran, Maroko, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Selain itu ada juga komunitas muslim lain yang menetapkan awal Ramadan 1446 jatuh pada hari Ahad 2 Maret 2025 yaitu Komunitas Muslim di Australia dan Inggris.

Berdasarkan data di atas, ada satu negara anggota MABIMS yang tidak disebutkan yaitu Singapore yang menetapkan awal Ramadan 1446 H jatuh pada hari Ahad 2 Maret 2025. Singapore sebagai salah satu anggota MABIMS yang konsisten menggunakan hisab dengan kriteria Neo-Visbilitas Hilal 3,6.4, sedangkan anggota MABIMS yang lain sampai saat ini menggunakan kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS 3,6.4 sebatas untuk memandu dan menolak hasil rukyatul hilal.

Dalam konteks Indonesia, secara umum awal Ramadan 1446 dimulai secara serentak pada hari Sabtu 1 Maret 2025. Namun dalam praktiknya seperti tahun-tahun sebelumnya ada komunitas muslim yang berpuasa Ramadan lebih awal, yaitu Jama’ah An-Nadzir Go’a Makassar dan Tariqat Naqsyabandiyah Padang Sumatera Barat. Tahun ini komunitas Tariqat Naqsyabandiyah mulai berpuasa Ramadan 1446 H pada hari Kamis 27 Februari 2025, sedangkan Jamaah An-Nadzir mulai puasa pada hari Jum’at 28 Februari 2025.

Keragaman seringkali dianggap sebagai kekayaan sekaligus modal berbangsa dan bernegara. Tentu saja, pandangan ini bersifat umum dan perlu diapresiasi. Namun dalam praktiknya, tidak semua keragaman memberi kemaslahatan. Begitu pula kesatuan bukan berarti kurang maslahah. Keduanya perlu ditempatkan secara profesional dan proporsional.

Kasus penentuan awal Ramadan 1446/2025 menyisakan banyak persoalan untuk dipikirkan ulang bagi pihak-pihak terkait agar ke depan para ilmuwan, praktisi, dan masyarakat luas bisa menyatukan langkah.

Beberapa hari ini di media sosial ramai mendiskusikan seputar keabsahan laporan keberhasilan melihat hilal di Observatorium Teungku Chik Kuta Karang, Lhoknga, Aceh Besar oleh Muhammad Inwan Nudin dan Muchammad Qolbir Rahman yang merupakan praktisi hisab rukyat. Keduanya mengaku berhasil melihat hilal, namun Kepala Mahkamah Syar’iyah Jantho, Aceh Besar, Redha Fahlevi, menolak mengambil sumpah dua praktisi tersebut. Hal ini dikarenakan keduanya berasal dari luar Aceh. Sementara itu, para perukyat yang diambil sumpah semuanya menyatakan tidak berhasil melihat hilal. Situasi ini mengakibatkan masyarakat setempat berbeda dalam memulai puasa Ramadan 1446/2025.

Baca Juga  Lima Argumen Atas Tuduhan Radikalisme yang Salah Alamat

Kontroversi Hasil Rukyat Aceh: Antara Tuntutan Syar’i, Sains, dan Politik

Dalam konteks Indonesia, kontroversi laporan hasil rukyat di Aceh menggambarkan kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS “miskin data empirik” alias “Transplantasi Imkanur Rukyat tanpa Mempertimbangkan Kearifan Lokal”. Tim yang dibentuk hanya melakukan simulasi data, tidak melakukan dialog dengan pihak-pihak yang memiliki pengalaman di lapangan.

Berbeda dengan Malaysia, kriteria yang ditawarkan berbasis observasi yang berkelanjutan. Sebelum kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS diterapkan di Indonesia, mayoritas anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriah Indonesia yang dibentuk Kementerian Agama RI berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 331 Tahun 2021 menyarankan agar implementasi Neo-Visibilitas Hilal MABIMS tidak dilakukan pada awal Ramadan 1443/2022. Tapi sebaiknya dilakukan pada awal Muharam 1444 H dan dilakukan sosialisasi ke Ormas-ormas Islam agar perubahan kriteria dipahami secara luas. Namun dalam praktiknya, penggunaan kriteria baru terkesan dipaksakan bahkan dalam presentasi pra sidang Isbat awal Ramadan 1443 H memojokkan pihak lain dengan menggunakan istilah “wujudul hilal merupakan hisab yang sederhana”.

Pada saat itu, penulis berpendapat bahwa sebaiknya notulensi proses perumusan kriteria dihadirkan sebagai bahan analisis sejauh mana dialog yang berkembang dalam merumuskan kriteria. Namun hingga saat ini, notulensi tidak pernah dihadirkan sehingga sulit dipertanggungjawabkan. Apalagi delegasi Indonesia yang hadir dalam pertemuan MABIMS di Teluk Kemang Negeri Sembilan Malaysia membawa kriteria yang berbeda, yaitu ketinggian hilal 4 derajat dan elongasi 7 derajat.

Pengalaman ini perlu dievaluasi bahwa sebuah bangunan teori yang akan digunakan bersama proses perumusannya harus dilakukan secara transparan dan dilakukan public hearing, sehingga ketika diimplementasikan semua pihak merasa memiliki. Hal ini tidak terjadi dalam proses peralihan dari kriteria Imkanur Rukyat 2,3, 8 menuju kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS 3,6.4.

Akibatnya, saat ini muncul kesan praktik rukyat yang “direkayasa” untuk memverifikasi hasil hisab yang dihasilkan. Kasus laporan hasil rukyat di Aceh mengandung berbagai aspek, yaitu syar’i, sains, dan politik. Dalam perspektif syar’i, laporan keberhasilan melihat hilal yang dilakukan oleh Muhammad Inwan Nudin dan Muchammad Qolbir Rahman bisa diterima. Namun dalam perspektif sains tidak bisa diterima karena tidak adanya bukti citra hilal.

Baca Juga  Bacaan Doa Ketika Bersedekah kepada Orang Lain

Bagi pihak yang melihat kasus laporan hasil rukyatul hilal di Aceh dengan pendekatan syar’i, laporan tersebut sudah dianggap memenuhi karena yang diperlukan pengakuan. Begitu pula dalam perspektif politik, kehadiran Muhammad Inwan Nudin dan Muchammad Qolbir Rahman bisa menjadi “pahlawan perekat umat” karena awal puasa dilaksanakan secara serempak pada hari Sabtu 1 Marer 2025.

Sementara itu, jika kasus laporan hasil rukyat di Aceh dilihat dengan menggunakan pendekatan sains tentu dianggap merusak bangunan teori yang diyakini selama ini. Para pemburu hilal yang memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam melakukan observasi hilal tidak mempercayai laporan tersebut. Baginya, kasus semacam ini tidak boleh terulang lagi agar tidak terkesan direkayasa.

Patut dipahami sebagaimana dinyatakan oleh Wahyu Widiana, sidang Isbat tidak semata-mata merujuk aspek sains, tetapi juga memerhatikan aspek kemaslahatan. Dengan demikian, jika pola pikir rukyat masih mendominasi dan tidak mengalami transformasi, maka kontroversi hilal hasil rukyat akan terus berlangsung.

Awal Ramadan 1446 H dan Kalender Islam Global

Pada tanggal 6-7 Ramadan 1446 H/6-7 Maret 2025 diselenggarakan “The Global Conference: Building Bridges between  Islamic Schools of Thought and Sects” bertempat di Mekah al-Mukarramah. Dalam konferensi ini menghasilkan resolusi akan pentingnya persatuan umat Islam. Sebelumnya, pada tanggal 20-21 Syakban 1446/19-20 Februari 2025 di Bahrain juga diselenggarakan Konferensi dengan tema “One Nation, A Shared Destiny” yang dihadiri 400 tokoh Islam berbagai aliran dari seluruh dunia.

Semangat konferensi ini hampir sama dengan Konferensi di Mekah, yaitu mengajak umat Islam agar membangun persatuan dan mengurangi ketegangan antar mazhab agar umat Islam menjadi umat yang berkualitas dan bisa lebih berperan aktif di dalam pembangunan tingkat global.

Spirit kedua konferensi tersebut menggambarkan pentingnya persatuan bagi umat Islam sedunia. Oleh karena itu, wacana tentang Kalender Islam Global resonansinya perlu digelorakan dan disosialisasikan secara terus-menerus agar dipahami pentingnya manajemen waktu bagi kepentingan umat Islam sedunia.

Baca Juga  Bacaan Doa Ketika Kamu Memiliki Kendaraan Baru

Kontroversi laporan hasil observasi awal Ramadan 1446 H hingga kini masih menjadi perbincangan bahkan menuntut Ketua Mahkamah Syariah Jantho turun dari jabatannya. Hal ini menunjukkan kehadiran Kalender Islam Global Turki 1437/2016 sangat diperlukan dan merupakan langkah awal mewujudkan kebersamaan dalam satu umat satu masa depan.

Kalender Islam Global memiliki manfaat yang besar membangun kebersamaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Sekaligus kebersamaan melaksanakan Idul Adha di seluruh dunia. Tak kalah pentingnya umat Islam perlu memiliki kalender Islam yang mapan, meskipun dalam implementasinya pasti menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah paham rukyat yang masih mendominasi pola pikir umat Islam.

Hisab-Rukyat adalah “Syaiun”, sedangkan Kalender Islam Global adalah “Syaiun Akhar”. Berbagai diskusi seringkali tidak membedakan antara keduanya. Akibatnya, meskipun teknologi sudah berkembang dan zaman sudah mengalami perubahan, paradigma tetap tidak berubah.

Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Mustaqim, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam “Seminar Al-Qur’an Dinamika Penafsiran Al-Qur’an Peluang dan Tantangan di Era Digital” Selasa 7 Rajab 1446/7 Januari 2025 di Aula Wisma Haji Yogyakarta bahwa perubahan penafsiran tidak semata-mata didasarkan perubahan waktu dan tempat semata, tetapi pola pikir mufasir juga menentukan.

Dalam konteks penerimaan Kalender Islam Global, perlu adanya perubahan pola pikir di kalangan pihak-pihak yang terlibat. Salah satu cara yang dimungkinkan adalah sosialisasi secara berkelanjutan dengan metode penuh cinta dan menyenangkan. Tanpa merendahkan pihak lain. Dengan spirit satu umat satu masa depan, Kalender Islam Global diharapkan menjadi alam pikiran dunia Islam dan merupakan Projek Peradaban terbuka untuk dikritisi dan diperbaiki.

Namun saat ini yang diperlukan adalah kesadaran mengimplementasikannya sebagai komitmen bersama. Hampir setengah abad kajian tentang Kalender Islam Global berlangsung dan selalu muncul kendala dalam implementasi. Berbagai resolusi dan rekomendasi dihasilkan namun semuanya hanya terdokumentasi tanpa implementasi.

Dengan merujuk hasil Konferensi Bahrain dan Mekah 1446/2025 di atas, dunia Islam perlu menyadari pentingnya kehadiran Kalender Islam Global yang dihasilkan dalam Konferensi Turki 1437/2016 sebagai upaya merekatkan antar mazhab. Sekaligus jembatan untuk mewujudkan baldah-tayyibah di era modern. Dengan demikian, umat Islam bisa menjadi subjek pembangunan tata dunia baru dan mewarnai kehidupan global masa kini.

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.

Editor: Soleh

Avatar
51 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Perspektif

Tiga Sikap Manusia Terhadap Al-Qur’an

5 Mins read
Hari-hari ini umat Islam sangat berharap untuk mendapatkan sebuah malam yang diyakini sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Jika dikalkulasi,…
Perspektif

Makna al-Qadar dan Salam Menurut Quraish Shihab

3 Mins read
Sepuluh malam terakhir selalu dijadikan sebagai malam ‘special’ kaum muslimin baik untuk berburu pahala dengan meningkatkan kualitas ibadah, khataman al-Qur’an ataupun sebagai…
Perspektif

Zakat untuk Korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

4 Mins read
Di bulan Ramadan, ada dua kewajiban yang sepaket yaitu puasa dan zakat. Keduanya bisa dilaksanakan jika yang akan melaksanakannya istitha’ah (mampu secara…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *