Islam Agama Rahmatan lil ‘Alamin
Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan manusia dengan sesama serta dengan lingkungan sekitarnya.
Ketika Islam dibumikan dalam masyarakat, tentu memiliki banyak aspek. Salah satunya adalah sistem hukumnya. Sebagai salah satu agama samawi, Islam hadir ke dalam ruang lingkup masyarakat Arab jahiliyah dengan membawa syariah yang sempurna hingga mampu mengatur relasi yang adil antar individu manusia dalam masyarakat.
Hadirnya Nabi Muhammad SAW dengan membawa ajaran-ajaran Islam, dapat dinilai sebagai perubahan sosial terhadap kejahiliahan yang berlangsung dalam masyarakat. Terutama, pada sistem hokum yaang bersumber dari wahyu dan petunjuk Allah SWT.
Sesuai dengan sunah yang menyebutkan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, maka hukum Islam dapat diterapkan dalam semua masa dan untuk semua bangsa. Karena di dalamnya terdapat cakupan yang begitu luas dan elastisitas untuk segala zaman dan tempat.
Pembentukan Hukum (Fiqh) Islam
Dalam menyusun pembentukan hukum (fiqh) Islam, di kalangan ulama kontemporer terdapat beberapa macam pandangan. Satu di antaranya yang terkenal yaitu: periodesasi pembentukan hukum Islam oleh Syaikh Muhammad Khudari Bek.
Dalam bukunya “Tarikh Tasyri al-Islami”, ia membagi masa pembentukan hukum Islam menjadi 6 periode yaitu; (1) periode awal sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, (2) periode para sahabat besar, (3) periode sahabat kecil dan tabi’in, (4) periode awal abad ke-4 H, (5) periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab dan (6) periode jatuhnya Baghdad yaitu pada pertengahan abad ke-7 oleh Hulagu Khan sekitar 1217-1265 H sampai sekarang.
Periode Pengembangan Hukum Islam pada Zaman Rasul
Yang menjadi fokus utama pada artikel ini yaitu periode perkembangan hukum Islam pada masa Rasulullah SAW (periode risalah).
Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa Rasulullah ada dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
Periode Mekkah, yaitu sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah dan periode Madinah, yaitu setelah Rasulullah Hijrah ke Madiah.
Sedangkan penetapan hukum Islam pada masa Rasulullah ada tiga metode, yaitu berangsur-angsur, mengefisienkan pembuatan undang-undang, dan memberikan kemudahan serta keringanan.
Adapun mengenai ijtihad Nabi, maka ada dua kelompok pendapat: kelompok Asy’ariyah dan mayoritas Mu’tazilah yang menyatakan tidak ada ijtihad Nabi dan kelompok ulama ushul mengatakan ada ijtihad Nabi.
Tasyri’ pada Masa Rasulullah
Fase ini berawal ketika Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah Swt untuk membawa wahyu berupa Al-Qur’an ketika baginda sedang berada dalam gua Hira pada hari Jumat 17 Ramadhan tahun 13 SH. Bertepatan dengan tahun 610 M.
Wahyu terus turun kepada Rasulullah di Mekkah selama 13 tahun dan berlangsung ketika beliau berada di Madinah dan di tempat-tempat lain setelah hijrah selama 10 tahun, sampai Rasulullah wafat pada tahun 11 H.
Terkadang, wahyu turun dalam bentuk Al-Qur’an yang merupakan kalamullah dengan makna dan lafaznya, dan terkadang juga hanya berupa makna sementara lafaznya dari Rasulullah atau kemudian termanifestasikan dalam bentuk hadis. Dengan kedua sumber inilah perundang-undangan Islam ditetapkan.
Syariat Islam pada periode Mekkah
Periode ini terhitung sejak diangkatnya Nabi sebagai Rasulullah sampai beliau hijrah ke Madinah. Pada periode ini, yang paling pokok ditekankan dalam ajaran Islam adalah masalah ketauhidan atau akidah. Karena tauhid inilah yang menjadi fondasi bagi segala amaliah lainnya.
Perbaikan akidah diharapkan akan menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan-kebiasaan buruk sebelumnya, seperti berperang, zina, mabuk-mabukan, mengubur anak perempuan.
Kemudian mengajarkan kepada mereka hal-hal yang baik, seperti menegakkan keadilan, persamaan dan hak asasi manusia, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, serta menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia.
Garis besar ayat-ayat Makkiyah menerangkan pada permasalahan yang pokok, khususnya masalah ketauhidan dengan mengenalkan hal-hal yang gaib seperti iman kepada Allah, Malaikat, hari akhir, adanya kehidupan setelah kematian dan lain-lain.
Ayat Al-Qur’an juga menyentuh akal manusia dengan menyebut kejadian alam semesta, serta mengkritik adanya penyakit diri dan sosial, seperti keserakahan, tamak, serta pelit. Hal itu menarik peneliti untuk menelaah Al-Qur’an sehingga tak sedikit dari mereka yang masuk Islam, salah satunya adalah Umar bin Khattab.
Dari ketauhidan ini, Al-Qur’an menekankan kebebasan sebagai inti ajaran Islam. Kebebasan yang merupakan hak alamiah dan harus diimbangi dengan keharusan menunaikan kewajiban, yaitu kebebasan secara baik.
Islam melakukan cara-cara persuasi dalam penetapan nilai-nilai dasar tersebut selama 13 tahun. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125, yang berbunyi:
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن ان ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهوأعلم بالمهتدين (النحل :125)
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Dengan bahasa sederhana, umat Islam di masa awal ini diberikan pengetahuan yang mendalam tentang makna ketuhanan. Di mana, mereka harus menyembah Allah secara tulus, berkewajiban menjaga silaturrahmi dengan sesamanya, dan mendamaikan mereka yang berselisih.
Syariat Islam pada Periode Madinah
Jauh sebelum menyatakan hijrah ke Madinah, sudah ada beberapa orang Yatsrib yang memeluk Islam. Orang Yatsrib masuk Islam terutama pada tahun ke 10 kenabian. Di antara mereka ada beberapa tokoh dari suku Aus dan Khazraj.
Ada pertemuan antara kedua suku itu dengan Rasulullah, yang terkenal dengan pertemuan Al-‘Aqabah. Kedua suku bersedia menerima Islam sebagai agama baru.
Nabi Muhammad hijrah ke Madinah setelah sebelumnya mengutus Mus’ab bin Umair untuk memberikan pengajaran tentang keislaman kepada masyarakat Madinah.
Setelah menerima pengajaran dari Mus’ab, masyarakat Madinah bersedia, bahkan mengharap kedatangan Rasulullah dari Makkah. Diceritakan bahwa pada dasarnya, masyarakat Madinah juga menolak adanya agama baru atau keyakinan baru yang dibawa oleh Mus’ab ini, meskipun penolakan mereka tidak sekeras yang dilakukan masyarakat Makkah.
***
Adapun hal-hal pertama yang Rasulullah lakukan adalah:
- Mendirikan masjid, yang kemudian dijadikan pusat seluruh kegiatan keagamaan, seperti, shalat, belajar, juga dijadikan tempat pertemuan, menyelenggarakan pengadilan, serta pekerjaan lainnya.
- Mempersaudarakan kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah, sedangkan kaum Muhajirin adalah pendatang baru dari Mekkah yang ikut hijrah bersama Rasulullah.
- Membentuk piagam Madinah. Penduduk Madinah majemuk pada waktu itu dapat digolongkan menjadi 3 golongan. Pertama, kaum muslimin yang terdiri dari kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Kedua, bangsa Yahudi yang terdiri dari Bani Nadzir dan Bani Quraidhah. Ketiga, bangsa Arab yang masih memeluk agama nenek moyang. Ada empat masalah pokok yang diperjanjikan, yaitu:
- Setiap kelompok berhak untuk menghukum orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada yang patuh.
- Kebebasan beragama terjamin untuk seluruh warga.
- Adanya kewajiban penduduk Madinah untuk saling membantu dan membela dari serangan musuh.
- Menetapkan Nabi menjadi pimpinan kota Madinah. Oleh karena itu, seluruh perkara dan perselisihan yang besar diselesaikan olehnya.
- Meletakkan dasar politik, ekonomi dan sosial untuk mewujudkan masyarakat baru. Nabi menjadikan Islam sebagai agama dan negara. Karena masyarakat Islam telah terwujud, maka menjadi suatu keharusan Islam untuk menentukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang baru terbentuk.
Pada periode ini, diletakkan ajaran yang bernuansa hukum. Ayat Al-Qur’an pada periode Madinah ini banyak yang membahas masalah hukum. Karena pada saat itu, umat Islam sudah memiliki moral yang kuat, akidah yang mapan, serta akhlak yang baik.
Sehingga, hal tersebut dapat menjadi landasan yang kokoh dalam melaksanakan tugas lain. Dan juga hukum itu dapat dilaksanakan bila dilindungi oleh kekuatan politik.
Dalam periode ini, kekuatan politik itu sudah dibangun berbentuk “piagam Madinah”. Periode ini disebut dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan.
Dinamakan Madinah diambil dari kata “Tamaddun” yang artinya kota atau masyarakat yang beradab. Pemilihan kata “Madinah” merupakan pilihan yang tepat jika dilhat dari sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Nabi, yakni dari kesepakatan kaum Muhajirin, Anshar, dan Yahudi penghuni Madinah.
Editor: Yahya FR