Dalam Islam, hukum dan hikmah adalah dua konsep yang saling terkait dan membentuk landasan bagi kehidupan manusia. Hukum mengacu pada aturan yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya, sedangkan hikmah adalah kebijaksanaan yang terkandung dalam hukum tersebut. Islam tidak hanya memberikan perintah dan larangan, tetapi juga menawarkan hikmah di balik setiap ketentuan yang ditetapkan, sehingga manusia dapat memahami manfaat dan tujuan dari setiap aturan yang diberikan Allah.
Hukum dalam Islam
Hukum Islam, yang dikenal sebagai syariat, bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Syariat mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah, muamalah, hingga akhlak dan hukum pidana. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18).
Syariat bertujuan untuk membawa kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, hukum dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip yang melindungi lima hal utama (Maqashid Syariah):
- Menjaga Agama (Hifzh ad-Din): Islam menetapkan aturan seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji untuk menjaga hubungan manusia dengan Allah.
- Menjaga Jiwa (Hifzh an-Nafs): Larangan membunuh, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Ma’idah: 32, bertujuan untuk menjaga nyawa manusia.
- Menjaga Akal (Hifzh al-‘Aql): Islam melarang khamar dan segala sesuatu yang dapat merusak akal, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ma’idah: 90.
- Menjaga Keturunan (Hifzh an-Nasl): Larangan zina dan perintah menikah bertujuan untuk menjaga keturunan yang sah dan terhormat.
- Menjaga Harta (Hifzh al-Mal): Islam melarang pencurian dan riba, serta mewajibkan zakat untuk menjaga keseimbangan sosial ekonomi.
Hukum Islam tidak kaku, tetapi memiliki fleksibilitas dalam penerapannya. Dalam kondisi darurat, hukum tertentu bisa berubah sesuai dengan prinsip darurat memperbolehkan yang dilarang (ad-dharuratu tubihul mahdhurat). Contohnya, jika seseorang terpaksa makan sesuatu yang haram untuk bertahan hidup, maka dalam keadaan darurat hal tersebut dibolehkan (QS. Al-Baqarah: 173).
Hikmah dalam Islam
Hikmah adalah kebijaksanaan yang terkandung dalam setiap hukum Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَمَن يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Barang siapa diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah: 269).
Hikmah dalam Islam mencakup pemahaman yang mendalam tentang tujuan hukum Allah serta manfaat yang dapat diperoleh manusia dari menjalankan perintah-Nya. Beberapa contoh hikmah dalam hukum Islam adalah:
- Hikmah dalam Ibadah
- Shalat: Selain sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, shalat juga memberikan ketenangan jiwa dan mengajarkan kedisiplinan.
- Puasa: Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga mengajarkan kesabaran, empati terhadap kaum miskin, serta memberikan manfaat kesehatan.
- Zakat: Zakat tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga mengajarkan solidaritas sosial dan mengurangi kesenjangan ekonomi.
- Hikmah dalam Muamalah
- Kejujuran dalam Perdagangan: Islam menganjurkan kejujuran dalam perdagangan agar tercipta kepercayaan dan keberkahan dalam rezeki (QS. Al-Mutaffifin: 1-3).
- Larangan Riba: Islam melarang riba untuk mencegah eksploitasi dan memastikan keadilan ekonomi (QS. Al-Baqarah: 275).
- Hikmah dalam Hukum Pidana
- Qishash (Hukuman Setimpal): Hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjaga keadilan dan memberikan efek jera, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 179.
- Hukum Hudud: Hukuman untuk pencurian dan perzinaan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan menjaga moralitas.
Refleksi terhadap Hukum dan Hikmah dalam Islam
Ketika manusia memahami bahwa hukum Allah tidak hanya berisi perintah dan larangan, tetapi juga memiliki hikmah yang mendalam, maka ketaatan kepada Allah menjadi lebih bermakna. Allah tidak menetapkan aturan kecuali untuk kebaikan manusia. Oleh karena itu, kita harus menerima hukum Allah dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Namun, memahami hikmah tidak selalu mudah. Terkadang, hikmah suatu hukum baru dapat dipahami setelah manusia mengalami berbagai kejadian dalam hidupnya. Oleh karena itu, dalam menghadapi hukum Allah, kita harus mengedepankan sikap tawadhu’ (rendah hati) dan mencari ilmu agar semakin memahami tujuan dari setiap ketentuan yang Allah berikan.
Seorang Muslim yang bijaksana tidak hanya menjalankan hukum syariat, tetapi juga berusaha menangkap hikmah di baliknya. Dengan demikian, ketaatan kepada Allah bukan hanya bersifat mekanis, tetapi juga penuh kesadaran dan cinta kepada-Nya.
Akhir Kalam
Dalam Islam, hukum dan hikmah adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hukum Allah ditetapkan dengan tujuan yang jelas dan membawa hikmah yang mendalam bagi kehidupan manusia. Syariat Islam tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hukum, tetapi juga sebagai jalan untuk mencapai kebijaksanaan dan kebahagiaan hakiki.
Oleh karena itu, seorang Muslim sejati tidak hanya sekadar menjalankan perintah dan menjauhi larangan, tetapi juga berusaha memahami makna dan hikmah di balik setiap hukum yang Allah tetapkan. Dengan sikap seperti ini, hukum Islam akan terasa lebih ringan dijalankan, karena kita menyadari bahwa semua itu pada akhirnya adalah untuk kebaikan kita sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagaimana firman Allah:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Semoga kita semua senantiasa diberi pemahaman dan kebijaksanaan dalam menjalankan hukum Allah, serta mendapatkan keberkahan dari setiap hikmah yang terkandung di dalamnya. Aamiin Allahumma Aamiinn.
Editor: Soleh