Bagaimanakah penerapan hukum Islam dalam Daulah Abbasiyah? Daulah Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan Islam. Berdirinya Daulah Abbasiyah dimulai dengan runtuhnya Kekhalifahan Dinasti Umayyah. Perebutan kekuasaan antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah dilatarbelakangi oleh perasaan lebih berhaknya keturunan Abbas untuk memegang tampuk pemerintahan karena nasabnya yang lebih dekat dengan Rasulullah SAW.
Nama Daulah Abbasiyah sendiri diambil dari nama paman Rasulullah SAW, Al Abbas bin Abdul Muthalib. Daulah Abbasiyah didirikan pada tahun 750 M oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, yang masih merupakan keturunan paman Rasulullah SAW. Masa pemerintahan Abu Al Abbas hanya berlangsung singkat, yang kemudian digantikan oleh adiknya yakni Abu Ja’far Al Manshur.
Masa Keemasan Daulah Abbasiyah
Zaman kekhalifahan Abbasiyah tidak bisa lepas dari nama Harun Al-Rasyid, seorang khalifah yang paling terkenal di antara para khalifah Daulah Abbasiyah. Ia adalah khalifah yang memerintah pada zaman keemasan Islam, Harun Al-Rasyid dikenal tawadhu’, taat, dan bijaksana. Zaman keemasan pada Daulah Abbasiyah ini seringkali digambarkan dalam Kisah 1001 Malam sebagai negeri yang penuh keajaiban.
Sebenarnya zaman keemasan Daulah Abbasiyah sudah dimulai sejak massa pemerintahan Khalifah Al Mahdi Billah, pengganti Khalifah Ja’far Al Manshur. Lalu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid. Pada masa itu para khalifah mengembangkan berbagai ilmu dan sastra juga kebudayaan. Berbagai buku berbahasa Yunani tentang filsafat-filsafat kuno diterjemahkan, sehingga berkembang aliran pemikiran mu’tazilah yang sangat mengandalkan kemampuan berpikir, rasio, dan logika dalam dunia Islam. Selain ilmu-ilmu filsafat, ilmu Islam pun banyak yang berkembang, salah satunya adalah ilmu fikih atau hukum Islam.
Di masa pemerintahan Daulah Umayyah, hukum Islam hanya digunakan sebagai alat pelindung bagi kepentingan para penguasa. Hal ini membuat masyarakat yang biasanya mengambil hukum kepada pemerintah beralih kepada para ulama dan tokoh yang memahami Al Quran dan sunnah.
Namun, hal ini berubah saat kekhalifahan Abbasiyah memegang tampuk kekuasaan, agama dan negara merupakan dua hal berkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Para khalifah Daulah Abbasiyah sangat memperhatikan hukum Islam sehingga dalam penerapannya mereka selalu mengedepankan agama.
Perbedaan Paham
Para ulama’ dan ahli-ahli hadits mulai berkumpul di sekitar kerajaan untuk selalu dilibatkan dalam urusan pemerintahan. Namun, tak ada gading yang tak retak, beberapa Khalifah Daulah Abbasiyah yang mudah terpengaruh dimanfaatkan oleh orang-orang untuk menghancurkan paham yang berseberangan dengan paham mereka.
Pada saat itu paham yang sedang mendominasi adalah paham mu’tazilah, contoh kasus paham mu’tazilah yang memaksakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan pemerintahan terhadap kaum sunni, yakni kasus mempermaslahkan perbedaan pendapat mereka tentang Al Quran apakah makhluk atau sesuatu yang baru. Banyak ulama sunni yang menjadi korban pada peristiwa ini, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, dirinya dijebloskan ke dalam penjara bahkan nyaris dieksekusi.
Hal yang sama juga dialami oleh Abu Hanifah karena menolak diangkat menjadi qadhi, juga Imam Malik yang dihukum di hadapan publik karena fatwanya terkait bai’at yang diikrarkan oleh masyarakat dengan cara paksa adalah tidak sah. Hal ini dianggap mengganggu keamanan dan stabilitas negara.
Mengapa Hukum Islam Berkembang di Era Abbasiyah?
Banyaknya perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman ini memberikan pengaruh besar terhadap hukum Islam. Selain perkembangan ilmu pengetahuan, faktor-faktor lain yang memengaruhi berkembangnya hukum Islam di antaranya:
1. Meluasnya wilayah pemerintahan Islam dan banyaknya orang yang masuk Islam
Hal ini mengakibatkan banyaknya problematika baru yang memaksa ulama’ untuk berijtihad dan mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan baru tersebut.
2. Para ulama’ telah menguasai metode dalam mengambil keputusan secara luas dan mudah
Metode ini membantu dalam mengambil keputusan. Sebagaimana dilakukan para imam mujtahid dalam memutuskan suatu perkara.
3. Berbagai problematika yang telah terjadi sudah ditemukan jalan keluarnya oleh para ulama’ sebelumnya
4. Telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam seperti Al Quran, Hadits, Fatwa Sahabat, dan Fatwa Tabi’in
5. Antusiasme masyarakat dalam mengamalkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari
Keadaan ini ini membuat para ulama’ menjadi semangat dalam berijtihad dan menghasilkan pemikiran-pemikiran baru. Hal ini membuat ladang ijtihad menjadi semakin luas.
6. Munculnya tokoh-tokoh yang berbakat dengan pemikiran cerdas sehingga berpengaruh pada berkembangnya hukum Islam
7. Para khalifah Daulah Abbasiyah sangat memerhatikan tokoh-tokoh cerdas dan para ulama’
Khalifah memberikan kedudukan tinggi dan imbalan yang sepadan dengan karya-karya mereka. Contohnya Khalifah Al Makmun yang memberikan imbalan berupa emas seberat buku yang ditulis oleh para ilmuwan.
8. Dibangunnya Baitul Hikmah sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan
Pusat-pusat perkembangan ilmu pengetahuan menjadi markas para ulama’ dan ilmuwan untuk mengembangkan berbagai pemikiran mereka.
9. Perbedaan pendapat para ulama’
Perbedaan-perbedaan tersebut menghasilkan 13 mazhab yang berbeda dalam ilmu fikih, di antaranya Mazhab Ja’fariyah, Mazhab Hanafiyah, Mazhab Malikiyah, Mazhab Syafi’iyah, Mazhab Hanabilah, Mazhab Zhahiriyyah, dan lainnya. Seiring berjalannya waktu, mazhab yang masih eksis hingga saat ini kurang dari setengah di antara 13 mazhab tersebut.
Masih eksisnya mazhab-mazhab fiqih tersebut ternyata juga dilatarbelakangi oleh kekuatan politik yang mendukung pada saat itu. Mazhab Hanafiyah di Damaskus dikuatkan dengan Abu Yusuf yang menjabat sebagai qadhi pada saat itu. Mazhab Malikiyah berkembang atas dukungan Khalifah Al Manshur dan berkembang pesat di Andalusia pada saat Yahya bin Yahya menjabat sebagai qadhi dan beliau mewajibkan semua penduduknya untuk bermazhab Maliki.
Mazhab Syafi’i berkembang pesat di Mesir pada saat Shalahuddin Al Ayyubi yang bermazhab Syafi’i berhasil menaklukkan negeri tersebut. Sementara itu, Mazhab Hanabilah yang diperkuat dengan diangkatnya Khalifah Al Mutawakkil yang menganut Mazhab Hanabilah dan seseorang yang akan diangkat menjdi qadhi harus melalui persetujuan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan mazhab-mazhab lain menjadi sedikit pengikutnya dan mazhab-mazhab itu tenggelam secara perlahan.
Keruntuhan dan Hilangnya Pengetahuan
Runtuhnya Daulah Abbasiyah menandai berakhirnya zaman keemasan Islam, zaman yang seringkali disebut di dalam dongeng 1001 Malam dengan segala kemegahan dan keindahannya. Invasi dari suku Mongol yang dipimpin Hulagu Khan menghancurkan pusat pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu Baghdad.
Pusat ilmu pengetahuan, Bait Al Hikmah, diluluh-lantakkan, buku-buku yang ditulis beratus-ratus tahun oleh para ulama’ dan ilmuwan dibuang ke Sungai Dajlah hingga air sungai menjadi hitam karena tinta-tinta yang luntur. Pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam hancur dalam sekejap mata, hal yang tidak pernah terbayang sebelumnya di hati orang-orang. Khalifah terakhir pada saat itu, Al Mu’tashim Billah dan keluarganya ditawan dan dibawa oleh pasukan Hulagu Khan.
Begitulah hukum Islam dan ilmu pengetahuan berkembang secara luas dan pesat pada masa Daulah Abbasiyah, para ulama’ dan ilmuwan memberikan pengaruh besar yang hingga saat ini hasil-hasil dari pemikiran tokoh-tokoh terdahulu masih bisa dirasakan. Betapa bangganya kaum muslimin melihat fakta bahwa zaman kegemilangan ilmu pengetahuan berada di tangan orang-orangnya.
Editor: Nabhan