Tradisi berpamitan sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia. Setiap anak dididik untuk berpamitan kepada orang tuanya ketika hendak pergi. Kebiasaan itu menjadikan berpamitan sebagai sebuah budaya yang sakral dan sebisa mungkin dipertahankan. Dalam batas-batas tertentu, tidak berpamitan membuat kepergian seseorang tidak berkah, bahkan bisa membuat perjalanan itu berbahaya.
Budaya berpamitan itu kemudian berakulturasi dengan peribadatan haji. Ketika seseorang hendak berhaji, umumnya ia akan berpamitan dengan orang-orang di sekitar. Ada yang cukup mendatangi rumah sanak famili. Ada pula yang mengundang keluarga dan tetangga untuk makan-makan di rumahnya sekaligus berpamitan. Umumnya, calon jamaah haji akan meminta maaf dan memohon doa agar perjalannya diberikan keselamatan sekaligus menjadi haji yang mambrur, serta diselingi dengan kegiatan tausiyah atau pengajian. Budaya ini kemudian lekat dengan istilah walimatus safar.
Lalu bagaimana hukum walimatus safar itu? Karena walimatus safar bukan rangkaian yang wajib ada dalam haji dan bukan merupakan ibadah mahdhah (ibadah khusus), maka sejatinya hukum walimatus safar ini tidak wajib. Namun, karena ini masuk ke dalam wilayah budaya yang beririsan dengan persoalan ibadah ghoiru mahdhah (ibadah umum), maka hukumnya akan tergantung pada isi kegiatan walimatus safar itu sendiri.
Misalnya, jika kegiatan ini dimaksudkan untuk riya’ dan pamer terhadap orang sekitar, maka hukum walimatus safar menjadi haram. Hal itu karena Islam secara tegas telah melarang riya’. Dalam surat Al Baqarah ayat 264 Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima). Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”
Namun, jika niatnya adalah memotivasi orang sekitar supaya mau bersungguh-sungguh untuk berangkat haji, maka hal itu tidak mengapa. Selain itu, memberi jamuan kepada orang lain, apalagi menghadirkan tausiyah sudah tentu merupakan sebuah kebaikan yang berbuah pahala. Maka, jika walimatus safar dilakukan dengan niat yang benar, ia bisa menjadi pembuka bagi ibadah haji yang baik dan bernilai pahala.
Selain mengundang warga sekitar untuk datang ke rumah calon jamaah haji, alternatif lain yang juga baik adalah calon jamaah tersebut yang mendatangi tetangga dan keluarga. Hal ini pernah dicontohkan oleh nabi. Ketika hendak safar, nabi SAW yang justru mendatangi kerabat dan tetangga. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Ketika nabi SAW akan melakukan safar maka beliau mendatangi sahabat-sahabat beliau. Beliau mengucapkan salam atas mereka. Dan ketika beliau pulang dari safar beliau, maka para sahabat mendatangi beliau, mereka mengucapkan salam atas beliau.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Kitab Hasyiyah Al-Idhah.