Sebagai umat Islam, tentunya tak asing lagi mendengar istilah ta’awudz. Ta’awudz berarti meminta perlindungan kepada Allah dan sebagai pengakuan atas kekuasaan-Nya, kelemahan hamba, dan ketidakberdayaannya dalam melawan musuh yang nyata, melainkan bersifat bathiniyah serta tidak ada yang kuasa untuk mengusirnya selain Allah (Anwar Mujahidin, Pemurnian Tafsir Surat Al-Fatihah, 54).
Secara sederhana, ta’awudz mengandung arti sebagai doa memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan setan. Lafaz ta’awudz yang popular dikenal yakni berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah adalah a’uudhu bil laahi minasy syaithanir rajiim (aku berlindung kepada Allah dari gengguan setan yang terkutuk) (Miftahul A, Aktivasi Mukjizat Surat Al-Fatihah, 60).
Melihat fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya supaya dapat selamat dunia dan akhirat. Lantaran demikian, nampaknya tidak cukup melafazkan kata ta’awudz dalam upaya terhindar dari setan saja, akan tetapi menelisik ulang terkait urgensi ta’awudz sebelum membaca Al-Qur’an, bahkan keutamaan dalam ta’awudz.
Urgensi Ta’awudz Sebelum Membaca Al-Qur’an
Secara implisit, mengawali kalimat ta’awudz sebelum membaca Al-Qur’an, tentu saja dengan serta merta mempunyai sandaran berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya” (QS. An-Nahl [16]: 98-99).
Ayat di atas, mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an menjadikan penolakan perbuatan buruk dengan perbuatan baik sebagai cara untuk mengatasi gangguan setan dari dari jenis manusia, dan menjadikan isti’adzah sebagai cara untuk mengatasi gangguan setan dari jenis jin (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, 12/24).
Sementara Ibnu Katsir, berpendapat dalam tafsirnya, bahwa mengawali penjelasan tafsir ta’awudz dengan mengutip tiga ayat Al-Qur’an yang isinya mengedepankan maaf dan melakukan yang terbaik.
Tentunya, bacaan Al-Qur’an yang diawali dengan ta’awudz adalah bacaan yang mendamaikan bagi sesama manusia, walaupun muncul sedikit permusuhan, maaf dan kasih sayang bisa menyelesaikannya (Jamhari Makruf, Seri Khutbah Jum’at: Islam untuk Kebersamaan, 26).
Hukum Berta’awudz sebelum Membaca Al-Qur’an
Adapun hukum ber-ta’awudz, ada sebagian ulama’ yang menyatakan sunah dan ada pula yang mewajibkannya. Dari pendapat ulama’ yang mewajibkan, tentunya tak lepas dari pendapat Atha’, at-Tsauri, al-Auza’i, dan Daud ad-Dzahiri sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hazm.
Dan ini juga pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dan yang dinilai lebih kuat oleh Ibnu Battah, bahkan di antara ulama’ belakangan yang memilih pendapat ini adalah Imam al-Albani dan beberapa murid beliau (Ammi Nur Baits, Tafsir Shalat, 82).
Sementara, jumhur ulama’ mengatakan bahwa ta’awudz bersifat anjuran (sunah), bukan keharusan sehingga berdosa bilamana meninggalkannya. Ibnu Sirin berkata, “Apabila seseorang ber-ta’awudz sekali seumur hidup, maka hal itu menandakan untuk menggugurkan kewajiban, dan Rasulluah saw mendawamkan ta’awudz (M. Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, 54).
Beberapa Pendapat tentang Pembacaan Ta’awudz di Kala Membaca Al-Fatihah
Menyoal tentang mengucap ta’awudz di kala membaca al-Fatihah, hal demikian dibagi menjadi tiga pendapat di kalangan ulama’. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa tempat ber-ta’awudz adalah pada awal surat atau sebelum shalat tersebut. Segolongan yang lain, di antaranya Hamzah, Ibnu Sirin, an-Nakha’i, dan Daud bin Ali al-Asbahani berpendapat, ber-ta’awudz dilakukan pada akhir pembacaan al-Fatihah.
Sebagian yang lainnya, berpandangan bahwa ta’awudz dibaca dua kali, pertama sebelum membaca surat al-Fatihah dan kedua, membaca sesudahnya. Tetapi jumhur ulama’ lebih menyetujui pandangan bahwa ta’awudz dilakukan pada awal pembacaan surat al-Fatihah (M. Hasbi As-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, 01/01).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sangat wajar bilamana melihat perbedaan pendapat dari berbagai ulama’ tentang pembacaan ta’awudz di kala membaca Al-Fatihah.
Sebagaimana yang sudah diajarkan para ulama’, selagi tidak ada perselisihan di antara perbedaan tersebut, tentunya bukanlah menjadi problem yang serius. Akhir kata, waallahu a’lamu bishawab.
Editor: Yahya FR