Islam adalah agama yang bersikap positif terhadap dunia. Islam bukanlah sebuah agama eskepisme yang menolak segala yang berbau duniawi demi mementingkan kehidupan akhirat semata. Menurut teologi Islam dunia ini adalah anugerah Tuhan kepada manusia seperti sebagai mana firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا…
Artinya: “Dia-lah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian…” (QS. Al-Baqarah: 29)
Sebagai anugerah Ilahi dunia ini dalam pandangan Islam adalah baik, ia bukan suatu yang buruk, suatu untergang, yang terbuang dari rahmat Ilahi dan karenanya harus dijauhi. Oleh karena itu dalam menghadapi dunia para ahli fiqih merumuskan pedoman bersikap dalam bentuk kaidah fiqih yang berbunyi,
الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى التَّحْرِيْمِ.
Artinya: Pada asasnya segala sesuatu itu adalah mubah (diperbolehkan) sampai terdapat dalil yang melarangnya.
Hukum Nyanyian
Nyanyian dalam agama Islam termasuk kategori urusan dunia dan terhadapnya berlaku kaidah fiqih di atas. Dengan kata lain nyanyian itu pada asasnya diperbolehkan, bahkan diperlukan sebagai ekspresi dari rasa keindahan yang dimiliki oleh manusia. Pemenuhan terhadap rasa keindahan itu merupakan kebutuhan yang tidak boleh diingkari jika kita hendak mengakui eksistensi manusia sebagai makhluk estetis.
Para filosof hukum Islam merumuskan tiga skala prioritas kebutuhan manusia menurut hukum Islam, yang disebut maslahah, yaitu 1) maslahah daruriyyah, ialah kebutuhan yang harus dipenuhi di mana jika tidak dipenuhi, kelangsungan hidup seseorang akan terancam atau menjadi tidak berarti apa-apa lagi. 2) maslahah hajiyyah, yaitu kebutuhan yang juga harus dipenuhi, hanya saja apabila tidak terpenuhi, kelangsungan hidup seseorang tidak terancam, akan tetapi ia akan menjadi sengsara, mengalami kesulitan dan hidupnya tidak wajar/normal. 3) maslahah tahsiniyyah, ialah kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak menyebabkan terancamnya hidup seseorang dan tidak membuatnya sengsara dan berada dalam kesulitan, kebutuhan ini sifatnya komplementer yang pemenuhannya membuat hidup manusia yang sudah normal menjadi lebih indah dan lebih luks. Kebutuhan terhadap seni secara umum, dan lagu secara khusus, dapat dikategorikan sebagai maslahah tahsiniyyah.
Penjelasan ini bukanlah suatu yang berlebihan. Di dalam hadits Nabi saw. dinyatakan:
إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الجَمَالَ. رواه مسلم عن ابن مسعود
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, I:59-60, hadits no. 147)
Selain itu diriwayatkan pula bahwa Rasulullah menghadiri pesta nikah Rubayyi’ binti Mu’awwiz di mana beberapa wanita membawakan nyanyian untuk mengenang keluarganya yang mati syahid dalam perang Badr. Salah seorang penyanyi tersebut minta supaya Rasulullah meramal tentang kejadian besok. Rasulullah mengatakan: “Jauhi meramal, dan terus saja lah bernyanyi.” (Shahih al-Bukhari, VI: 167, hadits no. 5147, “Kitab an-Nikah, Bab Darb ad-Duff”). Seni suara (nyanyian) sebagai ekspresi rasa indah pada manusia dengan demikian tidak dapat dikatakan bertentangan dengan agama. Namun demikian memang perlu diperhatikan bagaimana suatu seni seperti nyanyian itu disajikan. Setiap karya seni memiliki tanda-tanda tekstual dan visual. Apabila teks (isi) nyanyian tersebut mengajak orang kepada jalan yang maksiat atau dibawakan oleh seorang terutama wanita dengan pakaian yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, maka hal seperti itu dilarang. Di sini yang dilarang bukanlah nyanyian sebagai suatu ekspresi seni ansich melainkan cara-cara penampilan dan isinya yang membawa kepada kemaksiatan lah yang dilarang.
Di zaman lampau para ulama, khususnya ahli-ahli fiqih, memang sebagian besar mengharamkan nyanyian. Imam Syafi’i dikutip sebagai menyatakan bahwa nyanyian adalah permainan sia-sia (lahw) yang mirip kebatilan, orang yang banyak mendengarkannya menjadi orang tolol dan kesaksiannya di muka hakim tidak sah (karena ada hukum Islam syarat menjadi saksi itu adalah adil, dan orang yang suka mendengarkan nyanyian itu cacat keadilannya). Murid-murid Syafi’i mengharamkan mendengarkan wanita menyanyi. Imam Abu Hanifah menganggap nyanyian itu sebagai dosa (Ihya ‘Ulumuddin, Juz VI, Jilid II: 1121-1122). Sedang Ibnu Qudamah (w. 620), dari mazhab Hanbali, menyatakan memainkan alat-alat musik seperti gambus, genderang, gitar, rebab, seruling, dan lain-lain adalah haram, kecuali duff (tamboren) karena Nabi membolehkannya dalam pesta nikah. Tetapi di luar pesta perkawinan, makruh (al-Mughni, edisi 1994, Jilid III: 40-41). Pandangan para ulama ini sesuai dengan situasi zaman mereka dan keadaan bagaimana nyanyian pada waktu itu disuguhkan.
Hukum Nyanyian Ditinjau dari Tafsir yang Sempit
Keharaman nyanyian biasanya dihubungkan kepada ayat-ayat al-Qur`an yang ditafsirkan terlalu sempit dan kepada hadits-hadits yang tidak shahih. Sebagai contoh, yang dijadikan dalil untuk mengharamkan nyanyian adalah firman Allah dalam QS. Luqman: 6
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ [٣١:٦]
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang memperjualbelikan perkataan yang tidak berguna (sia-sia) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Kata-kata “perkataan yang tidak berguna” (lahwul-hadits) dalam ayat ini ditafsirkan sebagai nyanyian. Penafsiran ini tidaklah sepenuhnya tepat, karena yang dimaksud dengan perkataan yang tidak berguna (sia-sia) itu sebenarnya adalah segala perkataan yang mengajak orang kepada kesesatan dan kemaksiatan baik terdapat dalam nyanyian maupun dalam wacana lainnya. Jadi kalau suatu teks nyanyian berisi perkataan yang baik dan tidak mengajak orang kepada kesesatan maka tidak termasuk ke dalam larangan ayat tersebut.
Selain itu para ulama mengemukakan pula beberapa hadits yang menyatakan haramnya nyanyian, antara lain hadits Umamah al-Bahili yang diriwayatkan oleh at-Tabari (w. 310 H) ketika menafsirkan ayat di atas dalam kitabnya Jami’ul-Bayan, Jilid VIII: 39
لَا يَحِلُّ تَعْلِيمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَلَا بَيْعُهُنَّ وَلَا شِرَاؤُهُنَّ وَثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ.
Artinya: Tidak halal mengajari wanita bernyanyi, menjual serta membelinya, dan harga mereka itu haram.
Hadits ini sangat da’if karena di dalam sanadnya terdapat serangkaian perawi, yaitu Abu al-Mahlab dari ‘Ubaidullah dari ‘Ali ibnu Yazid, yang seluruhnya cacat dan bahkan mereka tertuduh dusta. Kesimpulannya mendengarkan nyanyian yang baik meskipun dibawakan oleh seorang wanita tidaklah haram menurut hukum agama Islam. Nyanyian yang dilarang adalah yang ditampilkan secara bertentangan dengan agama seperti oleh penyanyi dengan pakaian minim dan berisi kata-kata yang menyesatkan dan membawa maksiat.
Sumber: Suara Muhammadiyah No. 12 tahun ke-81/1996
Editor: Yusuf R Y