Perspektif

Hukum Progresif, Islam, dan Lingkungan

2 Mins read

Beberapa waktu yang lalu, negara-negara di belahan dunia memperingati hari lingkungan, termasuk Indonesia. Setiap tanggal 5 Juni selalu diperingati, akan tetapi tidak sampai diresapi. Pasalnya, hampir setiap waktu isu eksploitasi lingkungan oleh manusia tak pernah terhenti meski selalu memperingati.

Kesadaran antroposentrisme membuat ego manusia modern menjadi angkuh dan congkak. Manusia menganggap dirinya pusat dari kehidupan, sehingga eksistensinya atas dunia ini harus selalu diwujudkan walau harus menghancurkan makhluk lain ataupun lingkungan. Dengan alasan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas kompetisi antar manusia, lingkungan sering kali ditumbalkan.

Hutan dibakar demi menciptakan area persawahan ataupun perusahaan dengan alasan ekonomi. Hasil limbah dari kreasi manusia tidak jarang mengganggu ekosistem makhluk lain, bahkan cenderung merusak keberlangsungan kehidupan lingkungan mereka.

Ironisnya, ketika lingkungan menuntut keadilan atas kekejaman oknum manusia yang tega merusaknya, hukum yang selama ini dipedomani oleh manusia untuk mencari sebuah keadilan, ternyata tidak mampu menjawabnya. Maka tidak heran semisal ada kasus perusakan lingkungan berupa pembakaran hutan. Subyek yang dianggap sebagai pihak yang dirugikan hanyalah manusia sekitar daerah tersebut. Padahal ada banyak makhluk yang sangat dirugikan, baik satwa maupun tumbuhan misalnya.

Mewujudkan Hukum Progresif

Selama ini, diskusi mengenai isu lingkungan agar menjadi subyek dalam hukum selalu bergulir, baik secara nasional maupun internasional. Secara sederhana, isu tersebut dapat umpamakan sebagai berikut:

Ketika terjadi kebakaran hutan, hukum akan bertindak untuk menegakkan keadilan dengan mengadili pelaku pembakaran. Alasan rasionalnya karena merugikan manusia dan lingkungan. Maka manusia yang menjadi korban langsung dari pembakaran hutan tersebut dapat menyampaikan keluh kesahnya dan meminta keadilan kepada hukum, baik secara personal maupun diwakilkan oleh pemerintah. Namun, pohon-pohon, satwa-satwa, serta ekosistem yang lain tidak dapat menuntut haknya yang direnggut di hadapan hukum. Tidak pernah kita menemui ada seekor hewan ataupun tumbuhan yang datang ke pengadilan untuk membela dirinya masing-masing.

Baca Juga  Benarkah Al-Qur'an Sunni dengan Syiah itu Berbeda?

Perumpamaan ini sudah sering disampaikan oleh para ahli seperti Crystoper Stone maupun Prof. Satjipto Rahardjo. Hakikatnya ialah hukum harus mampu mengayomi semua makhluk hidup. Maka untuk mewujudkan itu, perlu adanya upaya progresif bagi hukum untuk dapat menjangkau hal-hal tersebut. Keberpihakan kepada yang lemah, seperti lingkungan, perlu mendapat perhatian lebih serta dikembangkan.

Menurut Muhammad Rustamaji dalam buku Pilar-pilar Hukum Progresif, menuturkan bahwa apabila hukum dijadikan salah satu instrumen penting dalam upaya manusia menemukan sumber keadilan, maka pengembangan hukum yang memedulikan kajian deep ecology patut dikembangkan. Karena isu ekologi memiliki posisi lemah di depan hukum, dan hukum progresif hadir untuk membelah yang lemah tersebut. Perlu adanya upaya radikal untuk membongkar asumsi-asumsi yang telah mapan dalam hukum, seperti halnya subyek hukum. Hukum tidak boleh abai dengan lingkungan karena menyangkut kehidupan generasi mendatang. Hukum tidak hanya berbicara untuk saat ini tetapi pada sesuatu yang luas dan berkepanjangan.

Menjaga Lingkungan itu Perintah Islam

Dalam surat ar-Rum ayat 41, Allah berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Menurut Prof. Quraish Shihab, Allah menghendaki untuk menghukum manusia di dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang menyebabkan kerusakan kepada lingkungan. Selain itu, ayat ini menyerukan agar manusia bertobat dari kemaksiatan merusak lingkungan.

Islam sebagai agama yang dianut oleh banyak orang di Indonesia, menghendaki agar menjaga ekosistem alam dengan sebaik-baiknya. Karena seluruh alam ini adalah makhluk Allah yang sama-sama diperintahkan untuk menyembah-Nya dengan caranya masing-masing. Maka ketika ada yang melakukan pengerusakan kepada Alam, sebenarnya ia telah melukai makhluk Allah yang lain untuk beribadah kepada-Nya.

Baca Juga  Emansipasi Wanita untuk Mewujudkan Keluarga Sakinah

Sehingga secara hakikat menjaga alam lingkungan adalah bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT. Selain itu, upaya mewujudkan hukum progresif yang berpihak pada subyek lemah merupakan ikhtiar dalam menjalankan ketaatan kepada Tuhan semesta alam. Maka apabila ada yang tetap masih merusak, bukan saja melukai lingkungan, tetapi mengkhianati Tuhan.

Wallahu a’lam bisshowab.

Editor: Yahya FR

Avatar
5 posts

About author
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini bekerja di Kementerian Hukum dan HAM pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Pekalongan.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds