Pertanyaan dari Ayi Abdul Rozak, Tanjung Gading, Asahan, Sumatra Utara. Pertanyaannya sebagai berikut:
- Sejauhmana pandangan Islam tentang Seni Budaya (musik, tari, dan MTQ yang selalu diperlombakan itu)?
- Apakah suara wanita termasuk aurat, halalkah atau haramkah mendengar nyanyian serta apakah hukumnya bagi kita yang menyaksikannya?
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan jawaban sebagai berikut:
Seni Budaya
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa yang dikatakan kebudayaan itu adalah hasil cipta budi dan daya ummat manusia sendiri. Masyarakat tumbuh oleh kebudayaan, tak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat dan tiap masyarakat melahirkan kebudayaannya sendiri. Sedangkan kesenian itu, baik musik, tari, lukis, dan sebagainya ialah penjelmaan rasa keindahan umumnya, rasa keharuan khususnya, untuk kesejahteraan hidup. Rasa itu disusun dan dinyatakan oleh pikiran, sehingga ia menjadi bentuk-bentuk yang dapat disalurkan dan dimiliki.
Keindahan dalam segala hal, dan bagi kehidupan ummat manusia dituntut oleh agama Islam untuk mencintai keindahan itu, dan itu telah menjadi fithrah manusia. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Empat perkara termasuk dalam kategori kebahagiaan: wanita yang shalihah, rumah yang luas/lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang menyenangkan.” [HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya]
Di dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, ia menyukai keindahan.” [HR. Muslim]
Di dalam hadits yang lain lagi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Iman Abu Dawud, Nabi SAW bersabda:
Artinya: “Hiasilah al-Qur’an itu dengan suaramu. Bukanlah ia golongan kami, siapa-siapa yang tidak melagukan (bacaan) al-Qur’an.” [HR. al-Bukhari dan Abu Dawud]
Di dalam kitab Fathul-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, disebutkan:
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau menjelaskan, telah masuk kepadaku Rasulullah saw sementara bersama saya terdapat dua orang gadis sedang bernyanyi dengan Bu’ats, lalu Rasulullah saw berbaring di atas tikar sambil memalingkan mukanya. Dan masuklah Abu Bakar, lalu ia membentak aku sambil berkata: “Serunai syaithan di sisi Nabi saw?” Lalu Rasulullah menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar, sambil berkata: “ Biarkanlah mereka bernyanyi (hai Abu Bakar)”. Dan manakala Rasulullah saw tidak ada perhatiannya lagi, keduanya saya singgung (sentuh), lalu mereka keluar.” [HR. al-Bukhari]
Di dalam riwayat yang lain disebutkan dengan redaksi:
Artinya: “Kedua gadis itu bernyanyi dengan memukul rebana.”
Dengan memperhatikan dalil-dalil tersebut di atas, maka seni budaya (yang baik), baik berupa musik atau tari-tarian yang sopan yang tidak mengundang atau membangkitkan nafsu syahwat, dibolehkan dalam Islam. Apalagi musabaqah tilawah al-Qur’an, lebih-lebih lagi diperbolehkan, apalagi kalau hal itu dipakai sebagai sarana untuk mendakwahkan agama Islam.
Suara Wanita
Sebelum menjawab pertanyaan saudara yang kedua, di bawah ini kami sebutkan hadits berikut ini:
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata: Sebenarnya saya pernah melihat Rasulullah saw pada suatu hari (berdiri) di pintu kamarku, sementara orang-orang Habsyi sedang melakukan pertunjukan di masjid. Rasulullah menutupi saya dengan selendangnya sambil memperhatikan (menonton) permainan mereka.” [HR. al-Bukhari].
Dalam suatu riwayat lain: “Adalah hari itu Hari Raya, dimana orang-orang hitam (Habsyi) itu sedang bermain-main dengan perisai dan tombak. Adakala saya bertanya (sesuatu) kepada Rasulullah SAW dan adakala beliau bertanya: “Anda suka melihatnya”. “Ya,” jawab aku. Lalu beliau menegakkan saya dibelakangnya, pipi saya bersentuh dengan pipi beliau sambil beliau bersabda: “Teruskan hai anak Arfadah, sehingga bila saya telah bosan.” Rasulullah bersabda: “Cukup?” “Ya,” jawab aku. “Pergilah,” sabda beliau.”
Dalam hadits lain lagi disebutkan:
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah bahwa beliau mempertandingkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu berkata Nabi saw: “Hai Aisyah, apakah ada padamu permainan, karena kaum Anshar amat suka kepada permainan.”
Dalam kaitan hadits tersebut di atas, diriwayatkan oleh as-Sarraj dari Hasyal bahwa Nabi SAW pernah bersabda:
Artinya: “Supaya orang-orang Yahudi mengetahui bahwa agama kita (Islam) adalah lapang, sungguh aku diutus untuk membawa agama yang lapang (mudah) bagi manusia.”
Dari kedua hadits tersebut di atas, maka jelas kepada kita bahwa suara wanita itu bukan aurat, dan kita boleh mendengar nyanyian yang dinyanyikan oleh orang perempuan (biduwanita), asal penampilannya sopan, menutup aurat, tidak mempertontonkan bodinya dengan pakaian yang seronok, serta nyanyian yang dinyanyikannya tidak bersifat porno dan mengumbar hawa nafsu birahi.
Dalam kaitan itu, maka tidak dapat disalahkan kalau ada ulama yang mengharamkan nyanyian, tarian, musik, dan semisalnya, karena disebabkan oleh fakta-fakta dari luar (‘aridly) yang bertentangan dengan jiwa agama, bukanlah haram zatnya, yaitu musik, lagu, dan tari itu sendiri. Bahkan akhir-akhir ini tayangan-tayangan lewat media elektronik banyak yang bersifat merusak, destruktif. Misalnya penayangan film-film kartun (walaupun itu boneka), karena ditayangkan tepat pada waktu Maghrib, sehingga melalaikan anak-anak dari melakukan shalat.
Sebagai penutup uraian untuk saudara, barangkali ada baiknya kami sebutkan di sini apa yang ditulis Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin Juz 2 halaman 284 yang maksudnya kurang lebih sebagai berikut: “Bahwa permainan itu gunanya untuk menyenangkan hati, meringankan beban-beban berat yang terpendam dalam pikiran manusia. Hati (akal) itu apabila terus menerus dipaksakan untuk berpikir, ia akan menjadi buta. Membuat kesenangan kepada hati/pikiran serta jiwa sebenarnya satu pertolongan baginya untuk dapat bergiat kembali.”
Tidaklah berlebihan, hiburan-hiburan itu adalah obat hati terhadap penyakit letih, lesu, bosan, dan jemu, maka seharusnyalah hiburan berupa nyanyian, musik, tarian, itu menjadi mubah hukumnya.
Sumber: Tim Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 7.
Editor: Arif