Review

Humanisme Religius: Paradigma Masa Depan Pendidikan Islam

6 Mins read

Sampai saat ini, stigma bahwa pendidikan Islam identik dengan kejumudan, kemandekan, dan kemunduran merupakan realitas yang tak terelakkan. Stigma ini didasarkan pada kenyataan bahwa dewasa ini mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga yang mengalami keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Yang lebih tragis lagi adalah pengajaran pendidikan Islam yang tidak meruangkan paradigma dan metode induktivisme dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai akibat dari terpinggirkannya paradigma induktivisme dalam tradisi keilmuan Islam, maka yang mengemuka dan mendominasi jagad ilmiah masyarakat Muslim adalah paradigma deduktif dan berkembangnya cara berpikir serba dikotomis, sebuah tradisi keilmuan yang telah berurat-akar sejak sebelum Islam. Dalam konteks ini, Abdurrahman Mas’ud memandang masyarakat Muslim sedikit banyak mengidap syndrom inferiority complex. Umat Islam tidak hanya didikte oleh hegemoni Barat, lebih parah lagi mereka kehilangan jati dirinya sebagai umat yang pernah mengimami Barat dalam hal keilmuan. Bahkan, untuk memverifikasi kualitas pengetahuannya, mereka rela “menggantung dan menghambakan” diri pada makhluk yang bernama “scopus”.

Redupnya Tradisi Ilmiah dalam Islam

Abdurrahman Mas’ud dalam bukunya, Paradigma Pendidikan Islam Humanis merisaukan trend tradisi keilmuan Islam yang semakin menurun. Ia mencatatkan tidak adanya kecenderungan lintas disiplin, interdisiplin dan transdisipliner di antara para ulama dan ilmuwan Muslim. Jikalau ada hanya sebatas tambal sulam, alias menggugurkan kewajiban.

Menurutnya, dalam komunitas interdisipliner ini, tumbuh dinamika intelektual dan iklim akademis yang berstandar tinggi (high quality), seperti saling mengomentari karya, baik berupa kritik maupun apresiasi. Meskipun para ilmuwan dan ulama memperkaya diri dengan “ilmu-ilmu sosial”, terutama sejarah, mereka masih menunjukkan spesialisasi dan profesinya secara gamblang.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa sejak kejatuhan Baghdad sebagai center of knowledge pada tahun 1258 M hingga kini, kita melihat kemunduran kualitas Islam, khususnya bidang pendidikan, semakin nyata (the decline of Islamic learning). Menurunnya tradisi belajar yang benar (baca: scientific tradition/ tradisi ilmiah) di kalangan kaum Muslim. Buku Paradigma Pendidikan Islam Humanis membuktikan bahwa penyebab utama layunya intelektualisme Islam adalah redupnya tradisi ilmiah dan pengarusutamaan paradigma dikotomis dalam tradisi keilmuan Islam.

Selain kedua sebab tersebut, tampaknya jagad pendidikan Islam kontemporer juga mengemban masalah sementara dikotomi antara wahyu dan alam, serta antara wahyu dan akal. Dikotomi yang pertama, lanjut Mas’ud, telah melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monotonik. Sedangkan dikotomi kedua, telah menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dan redupnya paradigma saintifik dalam pendidikan Islam, serta dikotomi berikutnya telah menjauhkan – untuk tidak mengatakan memasung – disiplin filsafat dari pendidikan Islam.

Baca Juga  Review Buku: Melawan Nafsu Merusak Bumi

Humanisme Religius sebagai Paradigma

Dalam bukunya, Abdurrahman Mas’ud menggunakan istilah humanisme religius sebagai tawaran dalam merevolusi pendidikan Islam secara holistik. Ia memandang hegemoni gerakan skolastik yang terinstitusionalisasi dalam sejarah Islam masih menjangkiti, sementara gerakan humanisme melemah. Di sinilah perlunya tinjauan historis humanisme religius Islam yang selama ini terlupakan.

Tanpa diduga sebelumnya, Abdurrahman Mas’ud secara konsisten – dan dengan sengaja – menggunakan istilah humanisme religius, bukan Islam liberal atau juga Islam fundamentalis untuk mempertegas self-positioning-nya yang memang bertanggung jawab pada diri sendiri, bukan pada kelompok atau golongan sebagai pertanggungjawaban akademis.

Di samping itu, tawaran Mas’ud terkait humanisme religius berkelindan dengan kegelisahannya akan realitas paradigma dikotomis masyarakat Muslim dalam memandang bidang keilmuan. Paradigma dikotomis ini jika masih berlanjut, bukan tidak mungkin akan memunculkan bom waktu dan persoalan semakin complicated. Dikotomis yang ia maksud adalah kata benda yang memiliki kata sifat dichotomous dan kata kerja to dichotomize. Makna dikotomi adalah pembagian dua hal yang terdiri atas dua kelompok yang berbeda atau dua pasangan yang sama-sama eksklusif.

Secara sederhana dapat dipahami bahwa pada penghujung abad ke-11, fokus perbincangan (discourse) di kalangan umat Islam telah terjadi pemilahan (baca: pemisahan) antara ilmu agama dan ilmu umum dengan memandang yang satu lebih supreme dibanding yang lain. Baginya, ini merupakan sebuah living text yang sulit dimungkiri.

Karena itu, yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa reformasi pendidikan Islam identik dengan demokratisasi pendidikan Islam secara konsisten, kontinuitas dan komprehensitas serta sejauh mana sistem pendidikan Islam kita mampu merekonstruksi ajaran-ajaran dasar Islam dan mengakomodir paradigma induktivisme serta merespons kebutuhan modernitas dengan menjadikan peserta didik sebagai subjek proses belajar mengajar.

Pendidikan Islam Nondikotomik

Pendidikan Islam nondikotomik – dalam pengertian Mas’ud – adalah pendidikan Islam yang tidak berkonotasi semata-mata pada al-‘ulum ad-dunyawiyyah (ilmu-ilmu dunia) atau al-‘ulum al-kauniyyah (ilmu-ilmu alam). Mas’ud menyadari betul bahwa pola pendidikan semacam itu tidak memadai lagi di era kekinian. Ia memandang sudah saatnya pendidikan keagamaan bersifat open ended, terbuka dan terus-menerus dapat berkembang senada dengan kebutuhan zaman. Ringkasnya, pola pengajaran pendidikan keagamaan harus berlangsung – meminjam terma Talal Asad – dalam tradisi diskursif (discursive tradition).

Sebenarnya para kesarjanaan Barat sudah mengakui akan resiliensi Islam di negeri ini. Beberapa di antaranya seperti Ronald A. Lukens-Bull, Bassam Tibi, pendukung utama dan jubir Islam Liberal dari Universitas Harvard, telah lama berargumen bahwa Islam Indonesia merupakan model terbaik bagi dunia Islam untuk mengembangkan diri. Dalam buku ini, Abdurrahman Mas’ud pun membuktikan hal yang serupa. Dengan menolak semua bentuk dikotomi, Islam vis-à-vis Protestan, Timur vis-à-vis Barat, sains vis-à-vis agama, humanis-oriented vis-à-vis religious oriented, Mas’ud bukan hanya menciptakan sebuah model besar bagi Islam atau Islam di Indonesia, melainkan juga setiap manusia di berbagai belahan dunia.

Baca Juga  Cinta dan Kekecewaan pada Indonesia

***

Dalam pengantar bukunya, Ronald A. Lukens-Bull memuji Mas’ud dengan cara ini, ia nyaris mengambil pendekatan perspektif antropologis, sebuah pendekatan yang mengindikasikan bahwa ada nilai (hikmah) pada perbedaan way of life dan perbedaan cara berpikir. Inilah nilai inti disiplin antropologi yang Ronald anggap sebagai nilai akbar bagi seluruh kehidupan dunia. Catatan yang lebih detail, pertanyaan apakah Islam memandang dikotomi antara pembelajaran agama dan pembelajaran sekuler merupakan hal yang masih debatable.

George Makdisi dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, The Rise of Islamic Colleges, berargumen bahwa telah lama ada perbedaan antara ilmu-ilmu yang barangkali diajarkan di masjid (fiqh, ushul fiqh, tafsir dan semacamnya) dan ilmu-ilmu yang agaknya kurang diajarkan di masjid (astronomi, matematika, kedokteran, fisika, dan seterusnya). Namun, pada akhirnya mungkin tak ada dikotomi yang jelas meskipun dengan pembagian semacam ini. Islam menuntut ruang untuk ilmu-ilmu antropologis (orientasi kemanusiaan) dan teologis (orientasi ketuhanan). Dengan menolak dikotomi ilmu-ilmu itu, Abdurrahman Mas’ud memegang teguh sebuah nilai yang Ronald dengar berkali-kali di lingkungan pesantren, yaitu bahwa semua ilmu datang dari Tuhan dan semuanya digunakan di jalan-Nya.

Selain itu, dalam beberapa hal, Mas’ud juga meneruskan sebuah tradisi yang telah dirintis oleh Nurcholish Madjid. Tentu saja, ide Cak Nur tentang sekularisasi itu secara universal belum diterima dengan baik. Lebih dari itu, Mas’ud juga meneruskan keberlanjutan tradisi pesantren yang terkenal dalam adagium, al-muhafadzah ‘ala qadim al-shalih wal akhdzu bil jadid al-aslah (mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik dan mempertahankan tradisi masa silam yang masih relevan.

Sebagai santri, Abdurrahman Mas’ud dalam buku ini berupaya menyuguhkan gagasan non dikotomik terhadap realitas disiplin keilmuan saat ini yang semakin integrated satu sama lain. Pada saat yang bersamaan, Mas’ud berusaha secara aktif mempertahankan kekuatan pendidikan Islam, sembari berusaha belajar – untuk tidak mengatakan mengadopsi dan memperbaharui – dari model-model pendidikan humanistik.

Saran dan Apresiasi Buku

Tanpa mengurangi dimensi aksiologis buku ini, ada sebuah model pendidikan humanistik yang saya kira – hal yang sama juga dikemukakan Ronald A. Lukens-Bull – belum dipertimbangkan oleh Abdurrahman Mas’ud, yakni model Pedagogy of the Oppressed dari Paulo Freire. Jelas ada pengaruh Freire secara tidak langsung terhadap pemikiran Mas’ud atau bahkan gabungan yang sangat besar. Pengaruh yang mana pun sangat bermanfaat untuk sedikit menggambarkan dan membahas ide-ide kunci Freire.

Baca Juga  Review Buku: Islam dan Kebebasan

Dalam Pedagogy of the Oppressed, Freire mengimbau penolakan terhadap model pendidikan “membeo” atau model pendidikan perbankan (banking education), yakni model pendidikan yang memandang guru sebagai sumber terbesar ilmu, yang tanggung jawab utamanya adalah melakukan transfer ilmu. Ada lelucon yang diilhami oleh ide Freire, yakni bahwa kuliah/ sekolah misalnya merupakan proses informasi yang tidak lebih ditransfer dari buku/ catatan guru ke buku catatan siswa tanpa melalui kerja-kerja kritisisme dan common sense di dalamnya.

Meski hanya lelucon, tersirat makna yang mendalam bahwa Freire mengajak kita selaku pendidik untuk meninggalkan posisi otoritatif sejauh mungkin dan memandang kita sebagai guide (pembimbing/ fasilitator) yang muaranya mengajak para siswa menemukan dirinya sendiri tanpa intervensi/ pendiktean dari siapapun. Metode yang diilhami oleh Freire ini meliputi sinau bareng (baca: belajar bersama) dan belajar dengan orientasi pemecahan masalah (problem based learning). Komponen kunci gerakan pendidikan ini ialah tidak membatasi cara berpikir kita hanya terpaku pada pengajaran, tetapi juga memusatkan perhatian pada pembelajaran itu sendiri yakni sesuatu yang sejatinya akan diperoleh siswa setelah melewati tahapan ini.

***

Dalam karya penting ini, Abdurrahman Mas’ud menyajikan semua elemen yang ada untuk sungguh-sungguh menunjukkan atensinya terhadap fenomena pendidikan Islam kontemporer dan bagaimana cara memperbaiki kualitas pendidikan Islam dengan menolak semua bentuk pendekatan dikotomik. Meminjam istilah Taufiqurrahman, kultur pendidikan kita lebih banyak didominasi kultur feodal dan kultur seremonial, dua kultur toksik yang akan terus menyandera dunia akademik Indonesia berada dalam keterbelakangan. Jika keduanya terus dibiarkan, menurut Rahman, jangan berharap akan lahir pemenang Nobel.

Terlepas dari kultur toksik dunia akademik kita, dengan adanya sosok Abdurrahman Mas’ud dan beberapa pemerhati pendidikan lainnya, melalui buku ini, telah membuka banyak pintu kemungkinkan agar masyarakat muslim berlabuh ke masa depan yang cerah. Dalam gradasi tertentu, ini merupakan hal baru dan mengasyikan sekaligus kesinambungan tradisi yang telah lama berkembang dalam pendidikan Islam di Indonesia.

Daftar Buku

Judul Buku: Paradigma Pendidikan Islam Humanis

Penulis: Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D

Penerbit: IRCiSoD

Tahun Terbit: 2020

Tebal: 256 halaman

ISBN: 978-623-6699-03-4

Editor: Soleh

Avatar
33 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds