Masa kecil saya hidup di kampung, sebuah desa di wilayah barat daya Banjarnegara. Desa Merden namanya. Sebuah desa yang cukup luas dengan penduduk hampir 15 ribu jiwa. Dulunya, kampung saya itu adalah wilayah Kademangan (Mungkin Kadipaten).
Menurut cerita yang pernah saya dengar, Kademengan Merden sudah ada saat Sultan Hadiwijaya (Kerajaan Pajang) berkuasa. Namun dalam literasi sejarah Merden yang saya baca, Kadamangan (Mungkin Kadipaten) adalah bagian dari Kadipaten Wirasaba yang diberikan kepada Kyai Ngabehi Wirakusuma.
Saya tidak akan menuliskan sejarah itu karena saya tidak ahli dalam penulisan sejarah, pun saya hanya mendengar cerita dari cerita tutur para orang tua di Merden. Tidak banyak artefak sejarah yang bisa digali, kalau toh ada hanya bekas pesarean (kuburan) yang tidak terawat. Semoga kelak ada generasi yang mau menggali dan menulis sejarah Merden dengan baik.
Peringatan HUT RI ke 76
Peringatan Hari Kemerdekaan RI (HUT RI) ke 76 ini mengingat mengingatkan saya pada masa kecil dan anak-anak ketika hidup di kampong dulu. Hingga tahun 1985-an, saya tinggal di rumah mbah (nenek), dusun kecil bernama Balaran di pojok desa Merden.
Waktu itu belum beraspal dan tidak ada listrik. Saya sekolah dasar di “pusat” desa, berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah nenek. Hampir setiap hari saya jalan kaki, nyeker (tidak bersepatu) ke sekolah.
Seingatku semua murid di sekolah dasar maupun Madrasah Ibtidaiyah di desaku tidak bersepatu, kami semua telanjang kaki. Sepatu merupakan barang sekunder yang mahal. Saya baru menggunakan sepatu ketika kelas 4 atau 5 SD, itupun biasanya hanya dipakai kalau hari senin saat upacara bendera, atau saat peringatan 17 Agustus.
Memperingati HUT RI dengan Sederhana
Teman-teman kecil saya tak semua Muslim, di desa kami juga ada penganut Budha, dan Kristen. Pun banyak warga desa Merden yang kalau mengikuti kategori Clifford Geertz adalah sebagai kelompok abangan (kejawen).
Masyarakat desaku sangat homogen, beragam. Pertemanan kami saat kecil pun seirama. Kami jarang bertengkar karena perbedaan itu. Kehidupan masa kecilku sangat menyenangkan, damai.
Peringatan hari kemerdekaan di kampung adalah hal yang menyenangkan. Pagi-pagi kami berdandan serapih mungkin, bila tak punya minyak rambut merk toko, maka minyak jelantah pun jadi, agar rambut tampak kelimis dan rapi.
Semua anak akan membawa bekal nasi bungkus untuk dimakan bersama setelah upacara bendera, dan mengikuti aneka perlombaan dan permainan di sekolah. Kami memaknai kemerdekaan itu dengan kegembiraan, biarpun sebagian besar kehidupan anak-anak di kampung tidak berkecukupan (untuk tidak disebut miskin).
Sebagian besar dari kami masih makan nasi oyek (nasi tiwul) yang terbuat dari ketela pohon. Nasi dari beras adalah makanan istimewa, salah satunya saat peringatan kemerdekaan ini. Terimakasih buat para ibu yang waktu itu memasak istimewa buat anak-anaknya.
Memperingati hari kemerdekaan saat saya kecil dulu, sesederhana itu.
***
Hari ini kemerdekaan bangsa ini diperingati, tujuh puluh enam tahun usia negara Republik Indonesia. Bangsa yang lahir dari berbagai suku, bahasa, juga kepercayaan (agama) yang sangat beragam.
Ijinkan saya menyampaikan rasa hormat, sehormat-hormatnya, menunduk dan berdoa buat semua para pendiri bangsa ini yang mampu merajut ragam perbedaan dalam bingkai Ke-Indonesia-an.
Saya membayangkan menjadi perajut dan merekatkan keragaman itu tidak mudah. Para pendahulu kita berhasil melakukannya, salah satunya dalah Naskah Piagam Jakarta yang terkompromikan dalam rumusan Pancasila yang menjadi dasar negara ini.
Hebat, takjub, dan penuh keteladanan ketika para tokoh bangsa ini mampu membuang egoisme-patron-fanatisme, dan meleburnya untuk Indonesia dengan segalan keragaman yang menyelimutinya.
HUT RI 76: Tinggalkan Hal-Hal yang Bisa Memecahbelah!
Kini, kita dihadapkan pada situasi serupa tapi berbeda. Belakangan, banyak anak bangsa ini bertengkar tak berujung gara-gara politik. Rajut kebhinekaan itu teroyak. Saling ejek dengan beri stiga buruk dalam sebutan cebong, kadrun, taliban, kelompok bumi datar, dan sebagainya.
Ironisnya keduanya terjebak pada fanatisme semu, baik atas nama agama maupun nasionalisme. Sebagian besar nir-literasi atau dengan pengetahuan yang terbatas. Landasan keduanya adalah kebencian.
Saya berharap negara hadir dengan membangun kedamaian yang otentik, nasionalisme yang otentik. Saya setuju dengan pembangunan rasa nasionalisme sebagai bangsa. Tetapi itu tidak boleh semu, harus otentik. Bangsa ini lahir karena keragaman, dan itu keniscayaan tak bisa dihindari.
Kritik anak-anak bangsa ini harus disikapi dengan arif, bukan represif dan atau bahkan membungkam ekpresi. Pada saat yang sama, didiklah anak-anak bangsa ini dengan baik agar bisa mengungkapkan ekspresi dengan santun, argumentatif, dan bertanggungjawab. Para pendiri bangsa ini telah mencontohkan keteladanan, mereka berdebat keras dalam proses pendirian bangsa ini dulu. Malu kita sama mereka, apababila gagal meneruskan kemerdekaan ini untuk Indonesia yang lebih baik.
Dirgayahu Republik Indonesia Ke-76!
Editor: Yahya FR