Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra pada akhir November 2025 kembali membuka mata kita bahwa alam tengah memberi tanda yang tidak boleh lagi diabaikan. Curah hujan ekstrem memang menjadi pemicu awal, tetapi kerusakan lingkungan yang berlangsung bertahun-tahun memperparah daya rusak bencana tersebut. Dalam rentetan tragedi itu, kita menyaksikan rumah hanyut, jembatan ambruk, hingga ratusan nyawa melayang di Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Peristiwa ini bukan sekadar musibah musiman; ia adalah peringatan ekologis yang datang berulang-ulang.
Di ruang publik, narasi pasrah sering kali mengemuka. Bencana dipandang sebagai “ujian” atau “takdir Tuhan”, seolah datang tanpa sebab. Sikap tawakal tentu terpuji, namun menjadi keliru ketika digunakan untuk menutupi fakta bahwa sebagian bencana merupakan konsekuensi dari tangan manusia sendiri. Sebagai umat beragama, kita diminta berserah, tetapi juga diperintahkan untuk berpikir, membaca tanda-tanda, dan menjaga amanah bumi.
Bencana dan Jejak Tangan Manusia
Indonesia memang berada di kawasan rawan bencana. Namun, ketika banjir bandang di Agam dan longsor di Tapanuli Tengah menelan banyak korban, para ahli sepakat bahwa kerusakan daerah hulu memperburuk skala kehancurannya. Hutan yang dulunya rapat di sepanjang lereng kini berganti lahan terbuka dan aktivitas ekonomi yang tak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan. Ketika hujan turun deras berhari-hari, tanah yang kehilangan akar penyangga tak lagi mampu menahan air. Aliran yang mestinya terserap justru berubah menjadi arus besar yang menghantam permukiman di bawahnya.
Al-Qur’an sendiri telah memberi peringatan tegas akan fenomena ini. Dalam Surah Ar-Rum ayat 41 disebutkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali.”
Ayat ini bukan sekadar nasihat teologis, tetapi pernyataan kausalitas yang sangat relevan dengan kondisi hari ini. Bencana sering kali adalah akibat logis dari tindakan manusia yang merusak keseimbangan alam.
Melanggar Etika Kekhalifahan
Islam mengajarkan bahwa bumi diciptakan dalam keadaan seimbang (mizan). Tugas manusia sebagai “khalifah fil ardh” adalah menjaga keseimbangan tersebut, bukan merusaknya. Dalam Surah Al-A’raf ayat 56, Allah mengingatkan:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah SWT) memperbaikinya…”
Kerusakan hutan di daerah tangkapan air, alih fungsi kawasan lindung, serta tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan adalah bentuk pengingkaran terhadap amanah kekhalifahan. Ketika manusia merubah struktur ekologis tanpa memikirkan risikonya, maka yang kembali adalah bencana yang lebih intens dan mematikan.
Banjir besar yang menimpa Sumatra Barat dan Sumatra Utara akhir November lalu adalah contoh konkret. Daerah hulu yang selama puluhan tahun menjadi penjaga alam telah berubah wajah. Ketika curah hujan ekstrem datang, yang kini semakin sering akibat perubahan iklim, alam tak punya lagi sistem penyangga yang memadai.
Menanam Harapan di Tengah Krisis
Di balik kerusakan yang terjadi, Islam menawarkan etos optimisme ekologis yang luar biasa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
“Jika kiamat terjadi, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma, maka tanamlah ia.”
Perintah menanam di tengah situasi paling genting mengandung pesan bahwa kebaikan harus diupayakan kapan pun. Menanam bukan hanya tindakan ekologis, tetapi juga spiritual: sebuah kesadaran bahwa memperbaiki bumi adalah bagian dari ibadah.
Kini, ketika hutan-hutan di Sumatra dan daerah lain di Indonesia menunjukkan tanda-tanda kritis, pesan ini menjadi sangat relevan. Rehabilitasi hutan, restorasi daerah aliran sungai, dan perlindungan kawasan lindung bukan lagi pilihan tambahan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan manusia dan ekosistem.
Ekologi sebagai Investasi Akhirat
Pelestarian alam dalam Islam bukan hanya tindakan moral, tetapi juga ladang pahala. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, lalu pohon itu dimakan burung, manusia, atau hewan, melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari)
Setiap pohon yang menahan tanah agar tidak longsor, setiap akar yang menyerap air agar tidak meluap, setiap satwa yang hidup karena hutan terjaga, semuanya kembali sebagai amalan kebaikan bagi mereka yang merawatnya.
Saatnya Mengubah Cara Pandang
Banjir dan longsor di Sumatra pada akhir November 2025 adalah cermin bahwa krisis ekologis bukan lagi isu jauh, tetapi kenyataan yang mengetuk pintu kita. Bencana tidak bisa selalu disandarkan pada takdir; banyak di antaranya adalah akibat dari kelalaian kita mengelola alam.
Sudah saatnya kita memperluas makna kesalehan. Ibadah tidak hanya berlangsung di ruang ibadah, tetapi juga dalam cara kita menjaga bumi. Merawat hutan adalah bagian dari iman, sedangkan membiarkannya rusak adalah jalan menuju kebinasaan ekologis dan kemanusiaan.
Alam telah memberi pesan. Kini, apakah kita memilih untuk mendengarnya?
Editor : Ikrima

