Opini

Hutan Wakaf: Menanam Amal, Menjaga Alam

3 Mins read

Di tanah yang dulu dijuluki zamrud khatulistiwa, Indonesia kini terjebak dalam nyanyian luka yang pilu. Hutan-hutan raksasa, yang dulu mengayomi langit dan bumi, perlahan berubah menjadi hamparan gundul. Sungai-sungai yang pernah mengalir jernih kini keruh, membawa bisikan limbah. Laut yang luas tak lagi ramah; tercekik oleh plastik dan tumpahan tambang.

Data dari Global Forest Watch mencatat bahwa pada tahun 2023, Indonesia kehilangan sekitar 292 ribu hektare hutan primer tropis—luas yang setara hampir tiga kali lipat dari Provinsi DKI Jakarta. Di Kalimantan dan Papua, raungan mesin penebang kayu menggema, mengusir flora dan fauna yang selama ini bersandar pada hutan untuk bertahan hidup. Orangutan, cendrawasih, hingga harimau Sumatera perlahan menghilang—tinggal dalam cerita dan kenangan.

Bencana alam datang bertubi-tubi, seolah menjadi irama pahit dari simfoni yang rusak. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan lebih dari 3.000 kejadian bencana di Indonesia sepanjang 2023, mayoritas berupa banjir dan tanah longsor. Ini bukan murka alam. Ini gema dari ketamakan manusia: tata ruang diabaikan, lahan dialihfungsikan sembarangan, dan eksploitasi alam dijalankan tanpa jeda.

Kini, dengan nada lirih, kita perlu bertanya: di mana peran Islam dalam semua ini?

Islamic Deep Ecology: Suara Islam untuk Alam

Islam tidak hanya mengajarkan ritual, melainkan menawarkan jalan hidup sebagai rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh alam. Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56).

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

Barang siapa menanam satu pohon, lalu dari pohon itu dimakan burung, manusia, atau hewan, maka itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Ahmad).

Baca Juga  Marhaban ya Ramadhan: Bersihkan Hati, Pikiran, dan Lingkungan

Namun, ironinya, pohon-pohon justru tumbang di negeri-negeri yang mayoritas beriman. Sungai menghitam di tanah yang mengaku taat, dan gunung-gunung dikikis diam-diam, seolah wahyu tak pernah menyentuh bumi.

Dalam pandangan Islam, hubungan manusia dengan alam tidak sekadar fungsional, melainkan bersifat spiritual dan integral. Prinsip ini dikenal sebagai Islamic Deep Ecology yang berakar pada nilai-nilai Tauhid (keesaan Allah), Kemaslahatan, I’tidal (keseimbangan), Halal dan Haram, Amanah, dan Khilafah.

Islamic Deep Ecology mendorong kita untuk memandang alam semesta sebagai ciptaan Ilahi yang suci dan harus dihormati. Tidak cukup hanya memanfaatkan, kita diwajibkan menjaga dan melestarikannya.

Salah satu bentuk nyata penerapan konsep ini adalah melalui Hutan Wakaf.

Hutan Wakaf: Menjawab Krisis, Menyemai Harapan

Hutan wakaf adalah kawasan hutan—baik hutan alami maupun hasil rehabilitasi—yang ditempatkan di bawah status wakaf sesuai prinsip syariah. Alam jika dikelola untuk kemaslahatan umum, dengan hasil yang diperuntukkan bagi amal atas nama pewakaf.

Mengapa hutan wakaf penting?

Pertama, membangun hutan wakaf adalah perintah spiritual sekaligus konstitusional. Ia sejalan dengan ajaran Islam dan amanat konstitusi Indonesia untuk menjaga lingkungan hidup.
Kedua, hutan wakaf memastikan keberlanjutan. Karena statusnya sebagai wakaf, hutan tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan, atau dialihkan, sehingga terjamin kelestariannya hingga akhir zaman.

Hutan wakaf berfungsi menjaga keberlangsungan keanekaragaman hayati, menstabilkan iklim, mencegah erosi tanah, serta meningkatkan kualitas air dan udara. Lebih jauh lagi, hutan wakaf mendukung tujuan-tujuan besar Sustainable Development Goals (SDGs):

  • Poin 6 (clean water and sanitation)
  • Poin 7 (affordable and clean energy)
  • Poin 13 (climate action)
  • Poin 15 (life on land)

Dengan menanam satu pohon dalam skema wakaf, kita tak sekadar berbuat kebaikan sesaat—kita membangun amal jariyah ekologis yang terus mengalirkan manfaat sepanjang hayat.

Baca Juga  Tumbuhkan Kebiasaan Baik, Hentikan Kebiasaan Buruk

Dari Menara ke Hutan: Menyulam Iman dengan Tindakan

Hutan wakaf bukan sekadar proyek konservasi. Ia adalah deklarasi iman dalam wujud rimba dan hutan. Ia lahir dari kesadaran bahwa bumi bukan milik pribadi, melainkan titipan Ilahi yang harus dijaga dan diwariskan.

Di Aceh, program hutan wakaf mulai bertunas. Di Jawa Barat, pesantren-pesantren memelopori gerakan menanam dengan akad wakaf. Lembaga seperti Dompet Dhuafa, Daarut Tauhid, dan Wakaf Al-Azhar telah bergerak: mewakafkan lahan, menanam pohon, dan membangun kawasan hijau sebagai amanah umat.

Bayangkan: di satu petak tanah yang diwakafkan, ratusan pohon tumbuh menjulang. Burung-burung kembali bersarang, sungai-sungai mengalir lebih jernih, dan masyarakat sekitar diberdayakan untuk menjaga—bukan menebang. Setiap daun yang bergoyang menjadi saksi amal tak terputus. Setiap hembusan angin menjadi doa yang tak pernah putus.

Hutan wakaf adalah jawaban atas kehausan spiritual dan ekologis zaman ini. Ia memanggil kita untuk kembali kepada fitrah: menjaga alam sebagai bentuk ibadah, melestarikan bumi sebagai ungkapan syukur atas anugerah Allah SWT.

Kini, saatnya masjid tak hanya membangun menara—tetapi juga hutan. Kini, saatnya umat berwakaf bukan hanya untuk batu dan bangunan, tetapi untuk tanah dan pepohonan.

Karena dunia hari ini tidak hanya membutuhkan pembangunan. Ia membutuhkan perlindungan.

Editor: Assalimi

Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *