”Suaraku tak bisa berhenti bergema.
Wiji Thukul – Kebenaran Akan Terus Hidup
Di semesta raya suaraku membara.
Walau kau terus saja coba membungkamnya.
Namun suaraku tak pernah bisa kau redam.
Karena kebenaran akan terus hidup.
Sekalipun kau lenyapkan kebenaran takkan mati.
Aku akan tetap ada dan berlipat ganda.”
Perkara HAM
“Terdapat 12 perkara HAM yang belum diselesaikan, yaitu sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000,” kata ST Burhanuddin dalam rapat bersama Komisi III DPR, Kamis (7/11).
Pada masa akhir tugasnya, H.M Prasetyo selaku Ketua Kejaksaan Agung Periode (20 November 2014 – 18 Oktober 2019) mengklaim baru menyelesaikan tiga dari 15 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang ditangani. Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut, tiga kasus tersebut adalah Kasus Timor Timur pada 1999, Tanjung Priok pada 1984, dan Kasus Abepura tahun 2000.
Sementara, kasus yang belum terselesaikan itu meliputi peristiwa 1965; penembakan misterius (petrus); peristiwa Trisaksi; Semanggi I dan Semanggi II; penculikan dan penghilangan orang secara paksa; peristiwa Talangsari; peristiwa Simpang KKA; peristiwa Rumah Gedong tahun 1989; serta peristiwa dukun santet, ninja, dan orang gila Banyuwangi tahun 1998. (Republik, 2019).
Sebelum saya terangkan, adakah yang ingat bagaimana realitas yang terjadi beberapa hari lalu? Satu dua pekan yang lalu? Atau mungkin ingat kejadian yang terjadi di hari tertentu beberapa tahun lalu?
Hyperthymesia
Di antara kita, yang sering lupa ada sebagian manusia yang bisa mengingat hal-hal yang sudah terjadi dengan rinci kapan, dimana dan bagaimana suatu fenomena terjadi bahkan di masa lampau. Dikutip dari bobo.grid.id, kondisi ini dikenal dengan sebutan Hyperthymesia atau Highly Superior Autobiographical Memory (HSAM).
Hyperthymesia berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani. Yaitu thymesis yang artinya mengingat dan hyper yang artinya terlalu banyak. Sindrom hyperthymesia adalah kondisi di mana seseorang memiliki ingatan riwayat hidupnya, atau kejadian yang terjadi di masa lalunya dengan sangat baik.
Orang-orang dengan hyperthymesia atau HSAM mengingat hal-hal kecil yang terjadi selama hidupnya. Mereka bahkan bisa mengingat banyak kenangan semasa anak-anak atau kejadian yang terjadi di tahun tertentu yang penting bagi mereka.
Layaknya utang yang tak kunjung lunas, penyelesaian terhadap kasus-kasus berat HAM pada masa lalu tidak pernah dilakukan secara serius seiring pergantian aktor kekuasaan. Bagi kita yang bukan keluarga korban tindak kekejian perampasan nyawa dan HAM bisa jadi biasa saja, sebab tidak merasakan.
Fenomena Hukum Indonesia
Berbeda dengan itu, bagi mereka yang keluarganya adalah korban rezim jalang, setiap hari seperti melewati lorong ggelap tak berujung, sepi. Sendiri berjuang melawan ketidakadilan sampai hari ini. Dengan “Aksi Diam Kamisan” sampai aksi seberang istana misalnya, seorang istri dari aktivis Munir Said Thalib konsisten mendobrak limit dengan cara apapun. Hal ini ia lakukan agar kematian mengenaskan suaminya di pesawat 15 tahun lalu pemerintah eksekusi siapa dalang dibalik pembunuhan berencana suaminya.
Sementara perjuangan masih panjang, dari mulai Fadjroel Rahman sebagai peserta Aksi masa pemerintahan SBY yang dulu pernah mencicipi rezim otoriter orba, hingga kini pria itu sudah berganti pakaian. Sudah memakai jas dan sudah berbeda kedudukannya.
Kalau dulu di jalanan, sekarang jadi stakeholder kekuasaan. Selepas 22 tahun berlalu, Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998 masih terus bertahan berjuang untuk mendapatkan hak atas keadilan.
Sebagai generasi milenial, pewaris yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan kuasa struktural atau non struktural pemerintahan miris sekali mengingat realitas sosial serta fenomena politik dan hukum dunia. Terlebih indonesia semakin hari bukan berbenah diri mulai mengerjakan kembali PR dari periode pemerintahan sebelumnya.
Penegak hukum tidak menyelesaikan kasus-kasus lama yang (dengan sengaja) ditimbun rezim lalim. Malah sibuk lempar isu dan membuat regulasi kebijakan yang terus-terusan menghabisi warga negaranya. Corona belum kelar, Kapolri sudah edarkan surat telegram ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 aturan prihal Penghinaan Presiden dan Pejabat. Gila!
Hyperthymesia untuk Negara
Jika pengabdian sebagai warga negara salah satunya adalah dengan merawat ingatan terhadap catatan-catatan kelam pemerintahan, maka saya rasa Indonesia memang butuh sindrom Hiperthymesia secara berkala. Supaya ketika siapapun yang dipilih rakyat untuk kemudian diamanahi memegang kedaulatan membenahi locus dan tempus yang salah ia tidak lupa. Dengan begitu, negara hukum ini (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) akan indah bersama-sama pemerintah dan warga wujudkan.
Berikut adalah Data KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan) Tentang Kebijakan Negara yang Potensial Melanggar HAM di Indonesia:
Hukuman Pidana Mati
Masalah dari UU Hukuman Pidana Mati adalah melanggar salah satu hak dasar atau Fundamental yaitu Hak Atas Hidup atau Non Derogable Right.
UU Pemberantasan Tindak Pidana Teroris
Masalah UUPemberantasan Tindak Pidana Teroris adalah melanggar hak-hak sipil. Penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang serta penyiksaan terhadap korban.
UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Masalah dari UU Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi adalah melanggengkan Praktek Impunity; membebaskan pelaku dan menolak keadilan bagi korban
PP Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Bagi Korban Pelanggaran HAM
Masalah dari Peraturan Pemerintah Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Bagi Korban Pelanggaran HAM ini adalah tidak operasionalnya peraturan tersebut di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari putusan pengadilan Ad Hock Kasus Tanjung Priok yang memberikan kompensasi bagi korban namun sampai sekarang tidak dapat dilaksanakan sebab PP tidak memadai sehingga membutuhkan UU sebagai dasar konstitualitas.
PP Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Masalah dari PP ini adalah tidak dijalankannya peraturan sesuai dengan yang seharusnya (kontradiktif antara Das Sollen Dan Das Sein). serta tetap ada intimidasi terhadap korban (untuk kasus Tanjung Priok dan konflik-konflik sosial).
UU TNI
Masalah UU ini adalah melegitimasi keterlibatan militer dalam jabatan di kantor pemerintahan sipil, membenarkan praktek bisnis militer, dan masih melegitimasi komando teritorial.
Editor: Nabhan