Shaleh Ritual Tidak Otomatis Shaleh Sosial
Banyak orang Islam yang menganggap bahwa cara terampuh untuk mendapatkan tiket masuk surga adalah melaksanakan ibadah ritual keagamaan. Seperti sholat dan haji. Sehingga—mohon maaf—tidak sedikit orang yang begitu rajin sholat, bahkan tidak luput sekalipun untuk tidak sholat jama’ah di masjid, juga bisa melaksanakan ibadah haji, merasa bahwa dirinya sangat suci.
Salah satu tandanya adalah menganggap orang-orang yang bagi mereka tidak pernah terlihat rajin melaksanakan ibadah ritual akan masuk neraka, seakan-akan mereka yang rajin melaksanakan ibadah ritual tidak punya kemungkinan masuk neraka.
Perwujudannya bisa berupa sikap sinis kepada mereka yang dianggap tidak rajin melaksanakan ritual. Atau, jika mereka dianggap sebagai pendakwah, dalam dakwahnya berisi kutukan demi kutukan bagi orang-orang yang dianggap tak melaksanakan ritual.
Yang Murni dari Rukun Islam
Padahal, rukun Islam sendiri ada lima: syahdat, shalat, puasa, zakat, haji. Dan di antara lima tersebut yang murni ritual hanya dua. Bukankah di antara lima rukun Islam itu hanya sholat dan haji yang murni ritual?
Syahadat adalah urusan keyakinan; batin seseorang. Secara empiris, kita tidak bisa tahu apakah seseorang benar-benar bersyahadat atau tidak. Hanya ia dan Allah yang tahu. Puasa menyatu dengan kehidupan sehari-hari; orang bekerja tetap berpuasa. Zakat bahkan murni urusan sosial.
Dari kelima rukun Islam tersebut kita tahu, bahwa jumlah ritual murninya tidak lebih banyak dari yang bukan ritual murni. Artinya, sudah jelas, bahwa inti beragama dalam agama Islam bukan pada pelaksanaan ritual murninya. Tetapi, perubahan apa yang didapat seseorang setelah melaksanakan ritual. Baik secara individu, maupun kolektif.
Apakah setelah melaksanakan ritual setiap hari orang tersebut menjadi pemarah, suka berbohong atau tidak? Apakah setelah melaksanakan ritual setiap hari orang tersebut bermanfaat secara sosial, entah dalam skala mikro atau makro, atau tidak? Dengan begitu, sebenarnya kalau kita menyebut ibadah dalam Islam, tidak mesti maksudnya melaksanakan ritual keagamaan.
Anggapan bahwa cara terampuh mendapatkan tiket masuk surga adalah dengan cara melulu melaksanakan ritual keagamaan itulah salah satu faktor yang membuat orang Islam terjebak pada stagnasi, kemapanan, keengganan untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Akibatnya, para pendakwah melulu berdakwah dengan tema-tema tentang ritual keagamaan, atau yang tidak jauh-jauh dari ritual keagamaan seperti fikih. Sangat jarang membahas transformasi dari ritual ke sosial, dampak seseorang yang serius menjalankan ritual dalam lingkup individu maupun sosial, serta bagaimana cara mengupayakan supaya ritual bisa bertransformasi menjadi individu berakhlak mulia dan bermanfaat bagi kehidupan sosial.
Nabi Muhammad: Contoh yang Paripurna
Dalam agama Islam, satu-satunya referensi kehidupan yang paripurna untuk dicontoh adalah Nabi Muhammad. Dalam pelajaran SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) MI (Madrasah Ibtidaiyah; lembaga pendidikan setingkat SD) Nabi Muhammad disebut sebagai uswatun khasanah; teladan terbaik.
Dan kalau kita menengok pada kehidupan beliau, orientasi beliau dalam hidup sama sekali bukan sesuatu yang bersifat individual seperti mencari pahala sebanyak-banyak dengan mengisi seluruh hidup dengan sholat dan berdoa supaya beliau masuk surga, tetapi sesuatu yang bersifat sosial. Bahkan, menjelang wafatnya, kata yang diucapkan adalah ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku). Bukan keluarga sedarahnya, atau ahli warisnya.
Menariknya, hal tersebut dilakukan setelah mendapatkan wahyu di Gua Hira. Sebelumnya, beliau uzlah atau berdiam diri di Gua Hira setiap bulan Ramadhan bertahun-tahun lamanya.
Artinya, upaya-upaya yang dilakukan beliau untuk menghasilkan semacam perubahan-perubahan sosial, dari kehidupan barbar di Arab sana sampai menjadi lebih beradab secara perlahan, dilaksanakan setelah mendapatkan legitimasi dari Allah.
Maka, aneh rasanya jika ada orang yang menganggap bahwa beragama itu ya beribadah dan beribadah sekadar melaksanakan ritual: sholat, sholat, dan sholat; haji, haji, dan haji, tak peduli jika ada tetangganya yang kesusahan. Lebih aneh lagi, jika hal semacam itu dilakukan oleh orang-orang muda.
Beragama memang beribadah. Tetapi, untuk terakhir kalinya saya tegaskan, beribadah tak melulu melaksanakan ritual. Ibu yang mengasuh anaknya ya beribadah, seorang ayah yang mencari nafkah untuk keluarganya ya beribadah, bahkan memberi minum anjing kehausan pun beribdah.
Tak peduli apakah menurut sepengetahuan kita, orang-orang tersebut melaksanakan ritual keagamaan atau tidak. Lagi pula, apakah kalau kita mau sholat harus bikin status whatsapp dulu “sholat dulu ah”?
Editor: Yahya FR