Pada permulaan abad ke-11 M, ada seorang ahli matematika dan fisika yang paling penting sepanjang abad pertengahan, ia adalah Abu Ali Muhammad bin al-Hasan bin Haitsam. Ia adalah mantan pejabat pemerintah di Basrah, kota tempat kelahirannya. Lantaran terlalu percaya pada nilai praktis dari pengetahuan matematikanya, ia membayangkan bahwa ia dapat mengatur aliran sungai Nil, namun setelah ia dipanggil dan diberi peringatan oleh Khalifah al-Hakim, ia menyadari akan kegagalan usahanya. Ia dipermalukan sebagai pejabat publik, dan tidak lagi muncul di depan publik hingga Khalifah wafat pada 1021. Sejak saat itu, ia mencurahkan dirinya pada karya sastra dan ilmiah hingga kematiannya pada 1038.
Kelihaian utama Ibn Haitsam ditunjukkan dalam bidang matematika dan aplikasi praktisnya, namun ia juga memberikan perhatian besar pada tulisan-tulisan Galen dan Aristoteles, ia tidak membatasi perhatiannya hanya pada risalah-risalah fisika. Melalui kesaksiannya sendiri, dalam semangat keraguan terhadap segala hal, sejak masa muda ia terlibat dalam mempertimbangkan berbagai pandangan dan doktrin tentang manusia, hingga akhirnya ia mengakui bahwa dalam segala upaya yang dilakukannya itu ada kemungkinan untuk berhasil maupun gagal dalam menghampiri kebenaran.
Baginya, kebenaran hanyalah apa yang ditampilkan sebagai materi bagi fakultas-fakultas persepsi indrawi, dan yang menerima bentuknya dari pemahaman dan menjadi persepsi yang dijelaskan secara logis. Tujuannya dalam belajar filsafat adalah mencari kebenaran semacam ini. Dalam pandangannya, filsafat harus menjadi landasan seluruh sains. Ia menemukannya dalam tulisan-tulisan Aristoteles, sejauh sang guru dipahami dengan baik berkaitan dengan cara merajut persepsi indrawi menjadi kesatuan koheren dengan pengetahuan rasional.
Karenanya, dengan semangat yang kuat ia meneliti dan menjelaskan karya-karya Aristoteles, untuk kemanfaatan dan kemaslahatan umat manusia, sekaligus untuk menguji intelektualitasnya sendiri serta sebagai hiburan untuk masa tuanya. Sayangnya, dari seluruh kerja keras yang dilakukannya ini tidak ada satu pun yang tersisa untuk kita.
Menurut catatan TJ. De Boer dalam History of Philosophy in Islam, tulisan yang paling penting karya Ibn Haitsam adalah Al-Munazhir. Di dalamnya, ia menunjukkan dirinya sebagai seorang pemikir matematika yang kuat, yang selalu berusaha keras menganalisis berbagai hipotesis dan contoh-contoh aktual. Vitello, seorang Barat yang hidup pada abad ke-13, memberikan penjelasan yang lebih metodis mengenai seluruh pokok bahasan ini, namun dalam ketajaman observasi dalam masalah-masalah tertentu, Ibn Haitsam lebih unggul dibanding Vitello.
Pemikiran Ibn Haitsam diungkapkan dengan gaya yang sangat matematis. Menurutnya, substansi tubuh terdiri atas gabungan sifat esensialnya, sebagaimana satu kesatuan sama dengan jumlah dari bagian-bagiannya, dan sebuah konsep sama dengan jumlah tanda-tandanya.
Dalam Al-Munazhir, penjelasan psikologi mengenai penglihatan dan persepsi inderawi pada umumnya, sangat menarik. Di sini, ia berusaha memisahkan momen-momen individual persepsi dan memberi keunggulan pada syarat waktu sebagai ciri khas dari seluruh proses tersebut.
Karenanya, persepsi merupakan sebuah proses campuran, yang berasal dari sensasi, atau perbandingan dari beberapa sensasi atau dari sensasi masa kini dengan citra memori yang secara perlahan dibentuk dalam jiwa sebagai hasil dari sensasi-sensasinya. Dengan cara ini, kita mengenali persepsi saat ini sebagai ekuivalen dengan citra memori tersebut.
Proses persepsi tersebut berlangsung sangat cepat. Semakin banyak seseorang berlatih dalam hal ini, dan semakin sering sebuah persepsi diulang, maka semakin kuatlah citra memori yang dilekatkan pada jiwa, dan semakin cepatlah pengenalan atau persepsi tersebut berpengaruh. Sebabnya adalah sensasi baru tersebut dilengkapi dengan citra yang sudah hadir dalam jiwa. Kita mungkin beranggapan bahwa persepsi merupakan sebuah aksi instan seketika, setidaknya setelah latihan yang lama.
Namun demikian, pemikiran itu keliru, karena bukan hanya dalam sensasi yang dihadiri oleh perubahan korespondensi yang terjadi dalam organ indrawi, yang mengehendaki waktu tertentu, melain juga antara rangsangan organ dan kesadaran akan persepsi tersebut ada interval waktu yang harus dilewati, yang berkaitan dengan transmisi stimulus untuk jarak tertentu dalam sistem syaraf. Syaraf membutuhkan waktu, misalnya, untuk mengenali warna, dibuktikan dengan sirkulasi warna yang berputar, yang hanya menunjukkan warna campuran pada kita, lantaran pertimbangan gerakan cepat tempat kita tidak memiliki waktu untuk mengenali warna-warna individual.
Menurut Ibn Haitsam, perbandingan dan pengenalan merupakan momen-momen persepsi mental yang sangat penting. Di sisi lain, sensasi sejalan dengan materi, dan indera yang mengalami sensasi menunjukkan sebuah sikap pasif. Tepatnya, seluruh sensasi adalah sebentuk ketidaknyamanan dalam dirinya sendiri, yang biasanya tidak membuat dirinya merasa, tetapi yang muncul menjadi kesadaran jika mendapat rangsangan yang kuat, misalnya, melalui cahaya lampu yang sangat terang. Karakter yang menyenangkan hanya tumbuh dalam persepsi yang lengkap, pada pengenalan yang mengangkat materi yang diberikan dalam sensasi menjadi bentuk mental.
Perbandingan dan pengenalan, yang beroperasi dalam persepsi, memunculkan penilaian dan kesimpulan tak sadar. Seorang anak sudah menarik kesimpulan, ketika ia memilih apel di antara kedua apel yang lebih baik. Sebagaimana kita juga sering memahami sebuah hubungan saat kita menarik kesimpulan. Akan tetapi, karena menilai dan menyimpulkan itu ditetapkan dengan cepat, manusia mudah sekali tergelincir dalam masalah ini, juga seringkali mereka menganggap penilaian yang berasal dari proses pemikiran logis sebagai konsep orisinal. Dalam kasus segala hal yang diungkapkan pada kita sebagai aksioma, kita harusnya menjaga dan menapakinya, untuk memastikan apakah ia berasal dari sesuatu yang lebih sederhana.
Seruan dari filsuf kita ini hanya memiliki sedikit pengaruh di dunia Timur Islam. memang benar bahwa matematika dan astronomi telah ia jadikan sebagai semacam mazhab, namun filsafat Aristoteliannya secara komparatif memiliki beberapa pemuja. Selain itu, bangsa kalangan Muslim Timur memberikan stigma bid’ah pada Ibn Haitsam dan karya-karyanya, dan sekarang nyaris dilupakan oleh sejarah.