Tasawuf

Ibnu al-Farid, Penyair Sufi Pecinta Ilahi

3 Mins read

Ibnu al-Farid memiliki nama lengkap Syarifuddin ‘Umar Abu al-Hasan ‘Ali. Dia adalah seorang penyair sufi cinta Ilahi yang lahir di Cairo pada tahun 576 Hijriah. Ia lahir pasca ayahnya pindah dari Hammah, Syria ke kota Cairo dikarenakan ayahnya mengemban amanah menjadi seorang jaksa di sana. Diceritakan, ayahnya pernah diberi tawaran menjabat sebagai hakim agung, namun beliau menolaknya. Setelah itu, justru beliau meninggalkan segala jabatannya dan lebih memilih hidup sepenuhnya untuk beribadah di dekat mihrab Masjid al-Azhar hingga akhir hayatnya.

Ibnu al-Farid tumbuh dewasa di bawah pengasuhan ayahnya dalam kehidupan yang jauh dari hingar bingar dunia, dan lebih mengutamakan ibadah, bahkan bercorak asketis serta penuh dengan kedamaian. Kemudian ia belajar ilmu hadis kepada Ibn ‘Asakir dan al-Hafiz al-Munziri.

Setelah itu, Ibnu al-Farid lebih menyukai jalan para sufi dan hidup secara asketis, diduga ia terpengaruh oleh ayahnya. Ia juga dipandang sebagai seorang sufi terbesar di Mesir, sekalipun ayahnya berasal dari Hammah, Syria. Ia lebih dikenal dengan nama Ibnu al-Farid, dikarenakan ayahnya merupakan seorang faqih yang ahli ‘ilm al-farāid (pembagian harta waris). Orang yang ahli dalam bidang ini biasa disebut dengan farid. Ibnu al-Farid meninggal di tempat kelahirannya pada tahun 632 Hijriah atau 1233 Masehi.

***

Sebagai seorang sufi cinta Ilahi yang paling menonjol dalam sejarah Islam, Ibnu al-Farid telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk cinta dan menjadikan cinta sebagai konsep utama puisi-puisi ciptaannya dalam diwan yang ditinggalkannya. Karena itulah ia terkenal dengan gelar Sultan al-‘Asyiqin (Sultan Para Pecinta), yang sekaligus menjadi nama salah satu karyanya.

Menurut Ibnu al-Farid, cinta kepada Allah adalah kehidupan yang hakiki, sebagaimana tertuang dalam larik-larik syairnya sebagai berikut:

Baca Juga  Tiga Rambu-Rambu Tasawuf Al-Ghazali

Terimalah sepenuh hati cintanya

Rindu tidak mudah tinggal dalam hatinya

Sebab pilihannya justru dikandungnya

Dan akal budi pun dia punya

Hiduplah bebas, terhenti darinya itulah cerita

Awalnya kesakitan dan akhirnya hilang nyawa

Tapi kematian yang diwarnai dengan cinta

Itu kehidupan yang mengutamakan damba

Dengan ilmu kerinduan kupesan padamu

Bagi pemilah, pilihlah yang menghiasimu

Andai kau ingin bahagia, matilah syahid dengan cinta

Bila tidak, cinta banyak pendambanya

Siapa yang tidak mati dalam cinta tidak dimabuknya

Dan tanpa luka lebah pun tidak menggila

Jelaslah disini, bahwa kematian dengan cinta itulah kehidupan, dan kehidupan tanpa cinta itulah kematian. Maksud Ibnu al-Farid yang menganggap dengan cinta kepada Allah itu kehidupan, mungkin dikarenakan cinta tersebut merupakan perasaan terluhur dalam diri manusia. Seakan kalbunya tersebut diciptakan baginya, dimana keterikatan kalbu dengan kekasihnya, yaitu Allah, adalah kehidupan; dan keterputusan dari-Nya adalah kematian bagi kalbu tersebut.

***

Ibnu al-Farid juga mengatakan, bahwa seorang pecinta hanya bisa menyaksikan kekasihnya, Allah SWT, melalui fana’ dari segala kegemerlapan serta daya tarik kehidupan dunia; bahkan surga dan nikmat kehidupan akhirat. Dalam kondisi inilah seorang pecinta akan benar-benar ikhlas kepada Allah. Dalam hal ini ia bersenandung:

Jangan remehkan Aku andaikan kau dalam diriku tidak fana’

Dan kau belum fana’ andaikan Aku belum tampak nyata

Tinggalkan seruan cinta atau seru kalbumu ke lainnya

Tolak pula yang membuatmu terpesona

Kehormatan penyatuan dengan-Nya tidak tercapai andaikan nyawa masih ada

Matilah andaikan kau bisa dipercaya

Itulah cinta dan andaikan tidak kau penuhi hasrat cinta

Pilihlah itu dan hasratku lepas saja

Ajaran al-Farid mengenai fana’ ini menjadi tolok ukur pemahamannya tentang kesatuan yang didasarkan pada penyaksian, qutb, dan kesatuan agama-agama. Menurut al-Farid, kesatuan bukan berarti penyatuan dalam arti bahwa suatu wujud tertentu telah bersatu dengan Wujud Yang Maha Benar dan Yang Satu, melainkan bermakna penyatuan penyaksian Wujud Yang Maha Benar dan Tunggal.

Baca Juga  Tarekat untuk Kaum Milenial, Kenapa Tidak?
***

Kemudian berkaitan dengan teori qutb, al-Farid berpendapat bahwa qutb adalah roh Muhammad (al-ruh al-muhammadi) atau Al-Haqiqah al-Muhammadiyah, yaitu qutb maknawi serta sumber segala ilmu ataupun ma’rifah semua nabi maupun para wali qutb. Dengan demikian, dalam karya Al-Ta’iyah melalui ucapan dalam keadaan perpaduannya dengan Al-Haqiqah al-Muhammadiyah, al-Farid berkata:

Rohku adalah roh semua yang ada

Dan semua keindahan alam substansiku asalnya

Dan katanya pula:

Tadinya mereka itu substansiku, mengedari orbitnya

Atau dari syari’atku sumbernya

Dan aku sekalipun tampak berbentuk manusia

Ada makna pembuktian ke sumber asalnya

***

Sebagaimana para sufi yang juga filosof terdahulu, al-Farid juga berpendapat bahwa Al-Haqiqah al-Muhammadiyah adalah hakikat yang qadim serta meliputi segala sesuatu. Dari padanyalah segala sesuatu itu melimpah, sebagaimana al-Farid berkata:

Andaikan aku tiada, maka wujudpun tiada

Saksi pun tiada dan janji pun tiada jaminan pula

Tiada kehidupan makhluk melainkan dari kehidupanku

Karena taat pada kehendakku setiap jiwa pun muridku

Apabila pendapat tentang adanya qadimnya Nur Muhammad telah membuat al-Hallaj dan Ibn ‘Arabi berkesimpulan tentang kesatuan agama-agama (wahdah al-adyan), maka begitu juga sampai pada cinta dan kefanaan, telah membuat al-Farid sampai pada kesimpulan bahwa agama-agama itu sekalipun lahiriahnya berbeda, namun dari segi hakikatnya adalah satu pada satu titik tertentu. Sekalipun berbeda ibadahnya, namun sebenarnya semua menyeru untuk menyembah Tuhan Yang Tunggal. Hal ini dapat dibaca melalui puisi al-Farid sebagai berikut:

Api yang diturunkan adalah mihrab masjid, bagaikan

yang dinyatakan Injil dengan kuil pembai’atan

Lembaran-lembaran Taurat Musa bagi kaumnya

Didendangkan para pendeta setiap malamnya

Wawasan yang dipercikkan setiap agama

dengan pikiran setiap sektenya itu sama

Dan penyembah api Majusi serta yang dipancarkannya

seperti halnya dalam berita-berita dan argumentasinya

Mereka tidak memaksudkan selainku

sekalipun maksudnya yang selainku

dan sekalipun mereka tidak seiring niatku

Suatu kali mereka pernah lihat cahayaku

mereka pun mengira api, maka

mereka pun mencari petunjuk cahaya

Editor: Yahya

Syafa Rosita Devi
3 posts

About author
Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds