IBTimes.ID – Pada Kamis (3/9), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan pengukuhan Guru Besar terhadap Ibnu Burdah. Ibnu Burdah berhasil meraih gelar Profesor dalam bidang Kajian Dunia Arab dan Islam Kontemporer. Dalam prosesi pengukuhannya, ia menyampaikan pidato dengan judul “Quo Vadis Dunia Arab Kontemporer?: Gerakan Protes, Politik Muslim, Covid-19, dan Arah Perubahan.”
Dalam pidatonya, ia menyebut bahwa sejarah dunia Arab selama satu dekade terakhir diwarnai gerakan protes rakyat skala luas yang terjadi di sejumlah negara di semua sub kawasan dunia Arab. Baik di negara-negara Arab Barat, Arab Aliran Sungai Nil, Arab Levant, dan Arab Teluk.
Tiga Gelombang Protes Rakyat
Menurutnya, setidaknya ada tiga gelombang protes rakyat di sejumlah negara Arab selama sepuluh tahun terakhir ini. Gelombang pertama terjadi pada akhir 2010 sampai 2012. Yaitu yang terjadi di Tunisia saat penjatuhan Presiden Zaenal Abidin bin Ali. Di Mesir saat penjatuhan Husni Mubarak, di “Libya” saat penjatuhan Muammar Qadhafi, dan di Yaman saat penjatuhan Ali Abdullah Saleh. Gerakan rakyat di Suriah, Oman, Aljazair yang awal, Maroko, dan Bahrain sesungguhnya masuk dalam katagori ini. Tetapi gerakan itu tidak membesar atau berhasil mengubah rezim.
“Pada gelombang protes rakyat kedua awal dan pertengahan tahun 2019, sikap para petinggi militer makin jelas. Dengan tegas menjaga jarak dari penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk cara kekerasan terhadap rakyatnya,” ujarnya.
Yang menjadi contoh bagi gelombang kedua ini adalah kasus Aljazair dan Sudan. Di Aljazair, gerakan masif dan merata dalam waktu cukup panjang hampir di seluruh kota dan hampir tidak menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Akan tetapi, rezim Bouteflika bisa tumbang. Di Sudan, hal yang hampir mirip terjadi.
Sayangnya, Ibnu Burdah menyebut bahwa penjatuhan rezim tidak membawa dampak signifikan dan segera terhadap perbaikan kehidupan riil masyarakat pada umumnya. Kecenderungannya masih sama. Yaitu taraf kehidupan masyarakat cenderung memburuk pasca penjatuhan rezim akibat rentannya keamanan karena pertikaian elit memperebutkan kekuasaan, baik elit-elit lama maupun elit-elit baru.
“Maka, mudah dipahami jika pada akhir tahun 2019 dan awal 2020 muncul model gelombang baru dari gerakan rakyat Arab untuk perubahan. Lebanon dan Irak adalah contohnya. Yang dilawan adalah kekuasaan para elit sektarian yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik negara. Dan isu yang dikumandangkan adalah isu-isu yang spesifik dan riil yang menyentuh langsung kebutuhan hidup rakyat banyak,” lanjutnya.
Isu-isu yang diangkat pada gelombang ketiga ini seperti harga-harga bahan pokok, layanan air bersih, layanan listrik, penanganan sampah, hingga protes terhadap tingginya angka pengangguran dan kenaikan pajak, termasuk rencana pajak WhatsApp.
Ia menyebut gerakan protes rakyat di sejumlah negara Arab selama sekitar satu dekade belakangan ini menandai babak baru dalam kehidupan bersama masyarakat Arab. Sumber kekuasaan tidak lagi hanya berasal dari senjata, otoritas kabilah, ataupun otoritas keagamaan, tetapi juga dari suara rakyat.
Pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur ini menyebut rakyat menjadi aktor baru dalam lanskap sosial dan politik di dunia Arab setelah sebelumnya didominasi oleh tentara. Dan kadang ditambah atau diwarnai dengan aktor-aktor tradisional lain, seperti aristokrat kabilah atau tokoh agama. Peran rakyat, opini publik, dan semacamnya tiba-tiba jadi elemen yang sangat diperhitungkan di kawasan itu setelah sebelumnya bisa dikatakan hampir tidak diperhitungkan.
Post-Islamisme
Yang menarik, ia menyebut bahwa islamisme yang mengusung khilafah atau Daulah Islamiyah (Negara Islam) sudah tidak populer dan secara perlahan melupakan diskursus tersebut. Dalam buku Pidato Pengukuhannya, ia menulis:
“Partai-partai dan kelompok Islam ramai-ramai mengadopsi demokrasi, civil society, dan gagasan progresif lainnya sambil meneguhkan nasionalisme. Serta tidak menyebut-nyebut lagi khilafah dan dawlah Islamiyyah secara ekplisit dalam agenda perjuangan (Burdah 2014b, 459–485). Meskipun faktanya moderasi mereka sangat terbatas baik karena aspek teologis dan politis (Yenigün 2016, 2304– 21). Dalam konteks ini, perkembangan partai al-Hurriyyah wa al- ‘Adalah di Mesir, Partai al-‘Adalah wa al-Tanmiyah di Maroko, AKP di Turki, mungkin PKS di Indonesia, dan masih banyak partai lainnya di negara lain patut disebut. Ideologi politik Islam (Islamisme) yang mengusung khilafah dan dawlah Isla>miyyah dianggap telah “mati”, atau setidaknya para Islamist itu ramai-ramai bergeser secara teratur dan kadang secara agak “lucu” ke titik tengah. Tren semacam ini diyakini terjadi di hampir seluruh dunia Islam.”
Para pengusung gagasan kematian politik Islam itu mendeklarasikan harapan akan datangnya era baru yang demokratis. Timur Tengah dan dunia Islam akan menyaksikan terus berseminya tumbuhan-tumbuhan demokrasi dan penguatan masyarakat sipil. Musim semi Arab juga diyakini demikian, akan terus menyemaikan demokrasi sampai terwujudnya demokrasi. Baik dalam masyarakat liberal ataupun masyarakat post Islamis yang menyandingkan demokrasi dengan simbol-simbol dan identitas-identitas kesalehan di ruang-ruang publik. Di sisi lain, Ibnu Burdah tidak menafikan bahwa masih ada kelompok-kelompok Islamisme yang enggan bergeser ke tengah.
Reporter: Yusuf