Islam merupakan agama yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Ajarannya mencakup semua aspek kehidupan. Islam memberikan arah serta bimbingan yang semestinya dilakukan oleh setiap pemeluknya. Sehingga, keberadaan Islam merupakan suatu pedoman bagi mereka yang ingin mendapatkan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Penanganan COVID-19 dan Kesejahteraan Sosial
Wabah virus corona yang terjadi saat ini, jika kita rujuk pada sejarah Nabi, merupakan wabah yang sudah terjadi dengan kondisi yang hampir sama, yakni Wabah Tha’un. Sehingga, penanganannya pun dapat dilakukan dengan cara yang sama.
Seperti diriwayatkan dalam hadis: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita (Eman Supriatna: 2020).
Per tanggal 3 Juni 2020, pemerintah mengucurkan dana penanganan COVID-19 sebesar Rp 87,55 Triliun. Dana sosial ini akan digunakan untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat di tengah wabah COVID-19.
Dijelaskan pada Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial: “Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spritual, dan sosial warga negara dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.”
Ibnu Hazm: Filantropi untuk Kesejahteraan Sosial Ekonomi
Ibnu Hazm, diakui sebagai seorang ulama brilian yang memiliki kontribusi pemikiran luar biasa dalam dunia Islam.
Membuktikan jati dirinya sebagai sumber literatur, ia diakui sebagai sosok ahli perbandingan agama, sejarawan, filolog, filsuf, sastrawan, qadhi (pakar fikih dan ushul fikih), mufassir, muhaddits, akademisi, dan politisi yang andal. Hal tersebut terjelma dari sekian banyak karya ilmiahnya di berbagai bidang tersebut, sehingga dikenal sebagai ilmuwan yang generalis dan produktif.
Beberapa ide gagasan kesejahteraan sosial Ibnu Hazm adalah kesejahteraan berbasis zakat. Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan.
Menurutnya, pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang enggan membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkannya, baik secara suka rela maupun terpaksa.
Adapun kewajiban mengeluarkan harta selain zakat, dipahami Ibnu Hazm, bahwa kewajiban harta selain zakat tersebut ada, selama zakat dan kas negara (bait al-mal) tidak cukup untuk menanggungnya. Jika mencukupi, kewajiban itu hilang dengan sendirinya. Selanjutnya, ada juga ‘Pemenuhan Kebutuhan Pokok’ (Basic Needs) dan ‘Pengentasan Kemiskinan’.
Ibnu Hazm, dalam masalah kesejahteraan ekonomi umat, secara konsisten berpegang kepada prinsip dasar dari kepemilikan, pengembangan, dan pemanfaatan hak-hak kekayaan individu dan sosial. Secara substansial, mencakup beberapa hal, antara lain melalui upaya pemerataan yang adil, peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, dan jaminan hak-hak milik individu dan masyarakat umum.
Sampai-sampai, soal makanan, minuman, pakaian dan tempat berlindung, menurutnya merupakan hal yang esensial standar dasar kehidupan umat manusia.
Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi ketika tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi daripada pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini terjadi akibat laju populasi yang meningkat cepat karena kelahiran dan migrasi.
Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan orang kaya memengaruhi struktur adminitrasi, cita rasa, dan berbagai pengaruh lainnya.
Perkembangan Zakat di Indonesia
Selama masa pendemi ini, permasalahan ekonomi sangat beragam, salah satunya masyarakat miskin yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Jaminan sosial dalam kerangka ekonomi Islam, hakikatnya adalah kebersamaan secara timbal balik antarsesama anggota masyarakat dalam suatu sistem pemerintahan dengan masyarakat, baik dalam kondisi lapang maupun dalam kondisi sempit, untuk mewujudkan kesejahteraan umat atau dalam mengantisipasi suatu bahaya.
BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat bahwa selama Maret-September 2019, garis kemiskinan naik sebesar 3,6 persen. Dari Rp 425.250,- per kapita per bulan pada Maret 2019, menjadi Rp 440.538,- per kapita per bulan pada September 2019 (Berita Resmi Statistik: 15 Januari 2020).
Pandemi COVID-19 berdampak luas, salah satunya terhadap perekonomian masyarakat Indonesia.
Dampaknya juga mengakibatkan nilai tukar rupiah Indonesia melemah. Namun, ekonomi bangsa Indonesia tidak hanya bertumpu pada nilai tukar mata uang rupiah. Masih ada pilar sosial yang terus-menerus menopang dan merekat kehidupan masyarakat, yaitu pilar filantropi umat Islam.
Berdasarkan data PUSKAS BAZNAS, potensi zakat di Indonesia sangatlah tinggi. Karena Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim terbanyak di dunia, yaitu 80%.
Di tahun 2019, potensi zakat di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 233,6 T. Di antara provinsi lainnya di Indonesia, Jawab Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi zakat tertinggi, yakni sebesar 26.845,7 Miliar. Setiap tahun, penghimpun zakat nasional mengalami pertumbuhan, rata-rata 30,55%.
Pada 2016, zakat yang berhasil dihimpun organisasi pengelola zakat, baik BAZNAS maupun LAZ adalah sebesar Rp 5.017,29 M, dan meningkat menjadi Rp 6.244,37 M pada 2017, Rp 8.100 M pada 2018. Dengan besarnya potensi perkembangan zakat di Indonesia, menjadikan peluang besar untuk mengurangi kesenjangan yang besar dan menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Tawaran Filantropi untuk Kesejahteraan di Masa Pandemi Covid 19
Filantropi yang ditawarkan oleh Ibnu Hazm adalah filantropi (kedermawanan), sebagai kesadaran untuk memberi dalam rangka mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat secara luas dalam berbagai bidang kehidupan. Potensi filantropi (Indeks Perilaku Dermawan 59% di Indonesia) umat Islam terwujud dalam beberapa bentuk. Dapat berupa zakat yang hukumya wajib, ataupun infak, shadaqah, dll.
Filantropi sesungguhnya adalah ibadah. Bagian dari ibadah maaliyyah ijtimaiyyah, yaitu ibadah di bidang harta yang memiliki posisi sosial yang sangat penting dan menentukan. Filantropi dalam Islam seharusnya dijadikan sebagai kebutuhan dan life style seorang muslim. Kekuatan dan kelemahan keimanan serta keislaman seseorang ditentukan oleh sikap kedermawanan dan kepedulian sosial.
Terlebih di tengah pandemi COVID-19 yang semakin meningkat jumlah kasus positifnya, yakni sebesar 62.142 orang. Maka, diperlukan langkah-langkah yang strategis dan kontinu, untuk menguatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang urgensi pola filantropi dalam menghadapi pandemi ini.
Selain itu, diperlukan penguatan dan penataan dalam pengelolaannya, agar mencapai hasil yang diharapkan, yaitu berdampak terhadap kehidupan masyarakat luas. Selanjutnya, bisa bekerja sama dengan berbagai pihak agar gerakan filantropi ini menjadi gerakan bersama yang sifatnya masif.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan di QS. At-Taubah: 71 “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.
Hak-hak yang diperintahkan Allah Swt. untuk dipenuhi, Ibnu Hazm memahaminya sebagai suatu kewajiban. Hak-hak yang mesti dipenuhi tersebut tidak lain merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hak-hak tersebut meliputi sandang, pangan, dan papan yang layak dan sesuai dengan harkat kemanusiaan.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mengalami penurunan dari 5,4% menjadi 2,5 %, dan bahkan bisa menjadi minus 0,4 persen. Mengenai jaminan sosial dari pemikiran Ibnu Hazm, itu bisa menjadi solusi juga bagi masyarakat di tengah maraknya wabah COVID-19.
Adapun kewajiban harta selain zakat sangat tergantung pada situasi dan kondisi, serta kebutuhan atau bersifat aridhi (muncul belakangan karna suatu sebab) dan bukan dzati dan tidak tertentu jumlahnya. Kewajiban akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan lingkungan, situasi, dan kondisi.
Pemanfaatan Potensi Filantropi Islam, Sebuah Solusi
Kesenjangan sosial dan ketimpangan sosial di masa pandemi COVID-19 sudah menjadi keniscayaan dalam kehidupan masyarakat sekarang. Kebutuhan manusia terhadap sandang, pangan, dan lainnya merupakan fitrah. Pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut dalam Islam telah dijadikan sebuah keharusan. Bahkan, seseorang yang hanya berpangku tangan, tidak berbuat untuk dirinya dianggap zalim dan melanggar perintah Allah Swt.
Karenanya, pemenuhan kesejahteraan sosial yang ditawarkan oleh Ibnu Hazm dalam konsep ekonomi Islam dapat dilangsungkan dengan memanfaatkan potensi filantropi Islam. Dengan gotong royong antarsesama umat, tujuan utama ekonomi Islam untuk mewujudkan kemaslahatan akan lebih mudah tercapai di era pandemi seperti ini. Wallahu a’lam.
Editor: Lely N