Falsafah

Ibnu Rusyd, Memadukan Ilmu Agama dan Metode Filosofis

4 Mins read

Perintah Berpikir dalam Al-Qur’an

Dalam rangka membela filsafat dan para filsuf Muslim dari serangan para ulama, terutama Imam Al-Ghazali, Ibnu Rusyd atau yang di dunia barat lebih dikenal dengan sebutan “Averroes” menegaskan bahwa antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan sama sekali.

Ibnu Rusyd mendasarkan argumennya (istidlal) dengan menggunakan dalil Al-Qur’an, yaitu:

فَاعْتَبِرُوْا يٰٓاُولِى الْاَبْصَارِ

Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaaran bagi orang orang yang mempunyai pandangan” (Qs Al-Hasyr ayat: 2).


Ayat ini memerintahkan manusia untuk berfikir dan mengambil pelajaran dari apa yang ia peroleh. Dengan demikan, secara tidak langsung, sebenarnya Al-Qur’an menyuruh manusia untuk berfilsafat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kaum Muslim wajib bertafakur.

Karena manusia sendiri harus membuat spekulasi atas alam raya ini dan merenungkan berbagai macam ke-maujudan yang ada di alam semesta dalam rangka untuk mengenal Tuhan yang menciptakan segala yang ada ini.

Sebab sasaran agama secara filosofis adalah ajaran tentang ilmu yang benar dan ajaran tentang perbuatan yang benar (al-‘Ilm al-Haq wal-‘Amal al-Haqq). Sebab pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan tentang Tuhan, ke-maujudan yang lainnya serta kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat.

***

Adapun perbuatan yang yang haq dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah perbuatan  bersifat zahir, yaitu perbuatan yang bersifat fisik sebagaimana tercantum dalam aturan-aturan hukum fikih.


Sedangkan yang kedua adalah perbuatan yang bersifat spiritual atau batin, seperti sabar, syukur, dan ikhlas.

Dengan demikian, kita dapat meminjam istilah Taufiq Al-Yatul:

Mayoritas filusuf Islam selanjutnya mengatakan bahwa tujuan beragama sama seperti tujuan berfilsafat, sebab keduanya bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dengan jalan berpegang teguh dengan kebenaran dan melakukan perbuatan yang baik”, (Lihat: Taufiq Al-Yatul, Qishatu As-Shira’ baina Ad-Din wa Al-Falsafah [ Kairo: Dar An-Nahdhah Al-Arabiyah], halaman 116).

Mempelajari atau mengambil manfaat dari filsafat Yunani bukanlah sesuatu yang terlarang atau diharamkan. Menurut Ibnu Rusyd, bila ada teks wahyu yang arti lahiriyahnya bertentangan dengan pendapat akal, teks itu haruslah ditakwil atau ditafsirkan sehingga menjadi selaras dengan penadapat akal.

Baca Juga  Gus Ulil: Al-Ghazali Tidak Membunuh Filsafat!

Jika syariat diyakini benar adanya dan kenyataannya banyak ayat yang memerintahkan kita untuk berpikir dengan penalaran yang rasional yang akan menggiring kita kepada pengetahuan yang benar, maka penalaran rasional yang benar tidak akan bertentangan dengan syariat.

Ibnu Rusyd: Metode Ilmiah dalam Memahami Agama

Ibnu Rusyd, sebagai seorang filosof, menyatakan bahwa ada tiga metode imiah yang dapat dijadikan pedoman dalam memahami teks-teks agama. Di antara ketiga metode tersebut adalah metode retorik (khathabi), dialektik (jadâlî), maupun demonstratif (burhânî).  

Pertama, Metode retorik. Ini adalah metode penalaran dengan lebih mendasarkan diri pada apa yang ditunjukan oleh makna zahir teks. Di mana, metode ini kebanyakan dianut oleh orang-orang awam yang yang hanya bisa menyerap sesuatu lewat contoh-contoh.

Kedua, metode dialektik. Ini adalah metode penalaran yang tidak hanya mengambil makna zahir sebuah teks. Namun juga melakukan pentakwilan atas ayat-ayat yang makna zahirnya tidak dapat dipahami oleh akal. Metode ini kebanyakan digunakan oleh para teolog seperti golongan Asy’ariyah.

Yang terakhir adalah metode demonstrative. Seperti metode dialektik, metode ini juga melakukan pentakwilan teks-teks suci hingga dapat dipahami secara rasional.

Perbedaan antara keduanya adalah terletak pada kesimpulannya. Jika demonstratif kesimpulanya bersifat pasti, maka dialektik bersifat dugaan.

Perdebatan tentang Surga dan Neraka

Seperti halnya tentang kebangkitan jasmani di kehidupan setelah mati, Imam Ghozali mengatakan bahwa kelak manusia akan dibangkitkan beserta jasmaninya. Dan dengan jasmaninya, manusia dapat merasakan kenikmatan surga dan penyiksaan neraka. Sedangkan surga dan neraka adalah bersifat rohani.

Dari hal inilah timbulah pertanyaan yang mengganjal bagi kaum filososfis, bagaimana sesuatu yang bersifat jasmani dapat memasuki dan merasakan kenikmatan dan penderitaan dalam surga dan neraka yang dimensinya adalah bersifat rohani?

Baca Juga  IPS Bodoh, IPA Pintar: Sebuah Dilema Dikotomi Pendidikan

Hal ini berbeda dengan pandangan kaum filosofis dan para sufi. Ibn Rusyd berpendapat bahwa dalam surga, manusia tidak dalam wujud jasad, dan apa yang diajarkan Al-Qur’an tentang surga dan isinya harus dipahami secara metafora.

Sebab surga dan neraka adalah alam rohani, maka kenikmatan dan penderitaannya dirasakan oleh wujud rohani. Demikian pula sabda Nabi Muhammad, “Di dalamnya (surga) terdapat apa yang tidak pernah mata melihat dan telinga mendengar serta tidak pernah terlintas dalam kalbu manusia”.

Hanya saja, metode yang sering digunakan oleh syariat sendiri adalah metode-metode yang secara umum menjadi milik bersama kelompok besar manusia. Karena tujuannya memang memberikan perhatian kepada kelompok mayoritas masyarakat.

Ini wajar dan logis. Meski demikian, syariat tidak sedikit pun meninggalkan bagian untuk kalangan sedikit yang berpikir rasional filosofis. Bagian yang diberikan syariat kepada kalangan yang sedikit tersebut memiliki kemungkinan untuk dapat dimaknai secara takwil.

Meskipun demikian, kesimpulan yang dihasilkan oleh takwil lewat proses demonstratif bukanlah sesuatu yang menyimpang atas makna teks suci. Jika hal tersebut tampak adanya perbedaan, hal tersebut hanya pada aspek maknawinya saja bukan pada aspek hakikinya saja.

Penafsiran yang bersifat alegoris (ta’wîl) didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat makna batin yang tersimpan di balik makna yang tersurat. Hal ini menjadi jelas ketika mengkaji persoalan dan menjadikanya sebagai sarana integrasi antara hal yang rasional dan yang tekstual.

Ibnu Rusyd: Memadukan Keilmuan Agama dengan Metode Filosofis

Seperti halnya ungkapan Ibnu Rusyd dalam kitabnya Fashl Maqaal fi ma bain Al-Hikmah wa Syari’ah:

Secara yakin, kita memastikan bahwa segala sesuatu yang dihasilkan oleh metode burhan tetapi berbeda dengan makna zahir teks syariat, maka zahir teks syariat tersebut menjadi terbuka untuk menerima takwil sesuai dengan aturan takwil bahasa Arab. Ketentuan ini tidak  diragukan oleh orang Islam juga dipertanyakan oleh orang mukmin. Keyakinan akan kebenaran pernyataan ini semakin bertambah ketika seseorang  menekuni  mengujinya untuk mencapai integrasi antara hal yang bersifat rasional dengan wahyu. Kita bahkan berani menyatakan bahwa makna tersurat apapun dalam syariat tetapi bertentangan dengan metode burhani, kemudian teks-teks syariat tersebut dikaji dan diteliti semua bagiannya, pasti akan ditemukan ditemukan dalam teks-teks syariat tersebut yang secara zahir justru mendukung makna takwil semacam itu, atau mendekatinya”, (Lihat: Ibnu Rusyd, Fashl Maqal [Beirut: Dar Al-Masyriq], halaman 36).

Baca Juga  Tiga Corak Keberagamaan: Manakah yang Mencerahkan?

Oleh karena makna itu, umat Muslim bersepakat tidak mewajibkan memalingkan semua teks-teks syara’ kepada makna zahirnya saja. Dan juga tidak mewajibkan mengeluarkan teks-teks syara’ dari makna zahirnya dengan takwil. Karena dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mutasyabihat dan yang muhkamat.

Dengan ketentuan seperti di atas, berarti metode ilmu-ilmu keagamaan dapat dipadukan dengan metode filosofis. Teks-teks keagamaan tidak hanya didekati dengan metode (jadâlî), melainkan juga dapat di dekati dengan metode demonstratif (burhânî). Sehingga, hasilnya tidak kalah valid dengan ilmu-ilmu yang bersifat filosofis.

Editor: Yahya FR

Fajar Hidayatulloh Ahmad
9 posts

About author
Mahasiswa Jurusan Akidah dan Filsafat Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds