Falsafah

Metode Ibnu Rusyd dalam Mencari Kebenaran

4 Mins read

Ibnu Rusyd adalah satu-satunya Filosof Muslim yang paling besar pengaruhmya ke Barat. Pokok pikiran Ibnu Rusyd yang paling istimewa ialah merekonsiliasikan antara agama (wahyu) dan filsafat (akal).

Menurut Ibnu Rusyd, antara agama dan filsafat sama sekali tidak bertentangan. Dengan kata lain, filsafat adalah saudara kembar dari agama (antara keduanya bagaikan sahabat yang pada hakikatnya saling mencintai).

Usaha rekonsiliasi ini dipandang sebagai ciri terpenting dalam filsafat Islam. Pemikiran Ibn Rusyd sebenarnya sangat menarik untuk dianalisis. Bagaimana tidak, karya-karyanya yang begitu beragam dan dibentuk dengan tulisan-tulisan bercorak puisi, kritikan, terutama dalam menerjemahkan karya-karya filosof terdahulu seperti Aristoteles, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Bajjah, dan lain sebagainya.

Faktanya, banyak aliran-aliran agama, terutama dalam  Islam yang lebih condong terhadap agama saja dan mengabaikan kebenaran filsafat. Padahal kalau kita memahami apa yang di katakan Ibn Rusyd tentang agama dan filsafat, kita tidak akan gampang terjerumus apalagi percaya kepada pemikiran-pemikiran yang radikal.

Ibn Rusyd mengatakan bahwa kebenaran itu bukan hanya berasal dari agama saja. Tetapi juga berasal dari jalan filsafat. Menurutnya, filsafat pada hakikatnya berpikir tentang segala hal untuk mencari dan mengetahui akan suatu kebenaran.

Sketsa Profil Ibnu Rusyd

Nama Ibnu Rusyd geger ke publik ketika menjawab kritik Al-Ghazali. Siapa yang tidak mengenalnya. Abu Al-walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd nama lengkapnya.

Lahir di Cordova Andalusia Sekitar pada tahun 510H/1126 M. Ia lebih populer disebut dengan Ibnu Rusyd (dibarat dikenal dengan nama averroes). Ia termasuk dari keluarga yang terkenal alim. Ayah dan kakeknya pernah menjadi ketua Pengadilan di Andalusia. Hingga pada tahun 565 H/1169 M, ia diangkat menjadi hakim di Seville dan Cordova karena prestasinya yang luar biasa dalam bidang hukum.

Baca Juga  Tajdid yang Berpijak Pada Tradisi ala Gadamer

Tak hanya itu, Ibnu Rusyd  tumbuh dalam keluarga yang besar sekali ghirahnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melejitkan jalan baginya menjadi seorang ilmuan. Lebih dari itu, Ibnu Rusyd adalah orang yang jenius.

Terbuki ia tercatat sebagai komentator dari buku-buku Aristoteles. Ibnu Rusyd telah menulis tiga buah tentang ulasan buku-buku Aristoteles. Pertama berupa ringkasan-ringkasan, kedua dan yang ketiga merupakan komentar-komentar terhadap buku-buku tersebut. Pandangan-pandangan filsafatnya yang lain itu tertuang dalam bukunya, salah satuhnya adalah tahfut at-tahafut.

Salah satu buku Ibnu Rusyd yang melegenda di pesantren-pesantren adalah Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Kitab ini menjadi yang paling terkenal jika dibandingkan dengan karya-karyanya dibidang fikih. Beberapa riwayat mengatakan, bahwa kitab ini selesai ditulis pada usia 62 tahun, tepatnya saat ia menjabat sebgai Hakim Agung di Cordoba.

Metode Ibnu Rusyd

Menurut  Alwi Shibab, ada dua bentuk pendekatan yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd dalam mencapai suatu kebenaran. Pendekatan pertama tentu ia mulai dengan hasil penelitian filsafat, kemudian berakhir dengan mengeruaikan apa yang dijelaskan oleh agama.

Cara seperti ini kita jumpai dalam bukunya yaitu fashl al-maqal. Dalam membuka pembahasan fash al maqal, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan tentang hukum mempelajari filsafat menurut agama. Apakah dibolehkan, atau dilarang, atau bahkan dipertintahkan. Perintah wajib ataupun sebagai perintah anjuran.

Pendekatan kedua, ia memulai kajianya dengan menjabarkan ajaran agama. Kemudian, beranjak dengan rekonsiliasi dari hasil penelitian filsafat terhadap alam raya. Cara-cara ini biasanya sering ditemukan dalam bukunya al-kasyf ’an manahij al-adillat fi aqaid al-millat.

Kendatipun bentuk kedua pendekatan itu berbeda. Namun pada dasarnya sama, yaitu pembuktian terhadap paralelisme antara kebenaran filsafat dan kebenaran agama.

Baca Juga  Pembelaan Ibnu Rusyd untuk Filsafat

Dalam menyelesaikan pertanyaan, ada dua sudut pendekatan yang dilakukan Ibnu Rusyd. Pendekatan pertama dari sudut penelitian akal, sedangkan pendekatan yang kedua dari sudut nash agama.  Untuk pendekatan yang pertama ia mulai dengan menjelaskan pengertian filsafat. Menurut Ibnu Rusyd, filsafat adalah mempelajari segala yang wujud dan merenungkan bukti tentang adanya pencipta. Menurutnya, semakin sempurna pengetahuan terhadap ciptaannya, niscaya semakin sempurna pula pengetahuan tentang pencipta.

Sementara, untuk pendekatan yang kedua ia d mengemukakan ayat ayat Al-Qur’an yang dinilainya selaras dengan tujuan penelitian akal, di antaranya ayat :QS Al-Hasyr [59]: 21 dan Al-A’raf [7]:185.

Ayat yang pertama,menurut Ibnu Rusyd secara ekplisit menunjukkan wajib menggunakan pemikiran rasional atau rasional dan agama sekaligus sedangkan ayat yang kedua mendorong pemeluknya untuk meneliti seluruh yang ada.

Di samping itu, ia juga mengingatkan tentang kisah Nabi Ibrahim mencari Allah melalui penelitian akal. Sebagaimana difirmankan Allah dalam QS An-An’am [6]: 75.

***

Karena itu, tak heran lagi jika ia menggunakan metode kias (silogisme) Aristoteles. Premis-premis yang digunakan oleh Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut:

  1. Premis sughroh: tujuan penelitian filsafat terhadap alam adalah untuk sampai kepada pencipta (Allah)
  2. Premis kubro: agama memerintahkan manusia mengenal Allah dengan meneliti alam dan merenungkannya.
  3. Kesimpulan mempelajari filsafat wajib menurut filsafat agama

Kata al-I’tibar dalam ungkpan Al-Qur’an Al-Hasyr [59]: 2 menurut Ibnu Rusyd, kata ini tidak lebih dari pada sekedar menyimpulkan suatu pengertian yang tidak diketahui (majhul) dari yang di ketahui (ma’lum).

Metode penalaran seperti ini disebut dengan qiyas aqli. Metode berpikir seperti ini dilakukan oleh agama. Bahkan, bentuk pemikiran seperti inilah yang paling sempurna, karena menggunakan analogi yang paling sempurna pula yang di sebut dengan burhan argumentasi.

Baca Juga  Komentar Ibnu Rusyd Atas Republik Plato

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kalau ahli fikih dibenarkan melakukan qiyas fikih atas dasar firman Allah, QS Al-Hasyr [59]: 2.

Maka filosof lebih berharap melakukan qiyas aqli. Namun, menurutnya, tidak semua orang dapat melakukan metode ini; orang orang tertentu saja, dimana jumlah mereka sedikit sekali yang di sebut ahl al-burhan (filosof).

Menurutnya, kalau ahli fiqih banyak melakuan hal ini dalam berbagai hukum agama, semestinya filosof lebih berhak melakukan hal yang serupa. Padahal ahli fiqih hanya melakukan qiyas Dzanni semata, sedangkan filosof muslim melakukan qiyas yaqini, yang lebih utama dari qiyas dzanni.

Dari sini, tidak ada suatu larangan melakukan takwil yang sesuai dengan ketentuan Bahasa Arab terhadap nash yang hanya berbeda lahiriahnya dengan hasil penelitian akal. Hal ini kata Ibnu Rusyd, sudah menjadi konsensus umat Islam tentang tidak mestinya semua teks wahyu di artikan secara lafdzi, bahkan secara metaforik.

Pebedaan pendapat hanya terletak pada mana yang boleh ditakwilkan dan mana yang tidak boleh ditakwilkan.

Editor: Rozy

Salman Akif Faylasuf
59 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds