Oleh: Danang Maulana Arif Saputra*
DPR RI menyelenggarakan sidang paripurna pada hari Selasa, 27 Agustus 2019. Dalam sidang tersebut, Presiden Jokowi membacakan surat dukungan pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia. Prosesi pembacaan surat tersebut berlangsung lancar tanpa interupsi.
Melalui surat tersebut, Presiden Jokowi meminta dukungan DPR untuk mengimplementasikan rencana pemindahan Ibu Kota. Meskipun yang hadir kala itu hanyalah 80 anggota dari 560 anggota DPR RI.
Kebijakan ini memang menimbulkan polemik. Merah Johansyah, koordinator Jaringan Tambang Nasional (Jatamnas), menyatakan bahwa ide pemindahan Ibu Kota tidak dilandasi kajian ilmiah. Sehingga terlihat serampangan.
Selain itu, pemindahanIbu Kota dinilai sebagai suatu tindakan yang tergesa-gesa dan tidak transparan. Indikasi tersebut menguat karena tidak adanya publikasi kajian ilmiah yang jelas terkait kebijakan yang akan digulirkan. Selain itu, pemindahan Ibu Kota tidak punya dasar hukum serta tidak tercantum dalam visi-misi Jokowi.
Namun, tanggapan berbeda muncul dari Lutfi Mutaali, pakar perencanaan wilayah Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada (UGM). Dilansir dari laman media sosial pribadinya, Ia berpendapat bahwa pemindahan Ibu Kota negara memang mendesak dan sudah waktunya.
Dalam tulisannya, Ia memaparkan berbagai pertimbangan. Salah satunya ialah pertimbangan dari aspek analisis geopolitik dan geostrategi. Lalu, seberapa pentingkah kita memahami Geopolitik ?
Memahami Geopolitik dan Geostrategi
Wacana mengenai pemindahanIbu Kota negara memang bukan hal yang baru. Lima puluh tahun lalu, Presiden Soekarno merencanakan Kota Palangkaraya sebagai Ibu Kota Indonesia. Sebagai seorang insinyur, Soekarno tidak hanya pandai dalam membangun gedung, tapi juga pandai membangun suatu peradaban dengan gagasan dan pemikirannya.
Salah satu pertimbangan Soekarno dalam memilih Kota Palangkaraya sebagai Ibu Kota saat itu adalah faktor geopolitik.
Ketika Jendral Vo Nguyen Giap berhasil mengusir Prancis dan Amerika Serikat dari Vietnam, Soekarno tersentak. Lalu Jendral Giap berkata:
“Bukan karena senjata ini kami bisa menang. Senjata jelas kalah modern dengan negara Barat. Para gerilyawan vietcong memiliki kesadaran akan geopolitik. Sehingga meriam-meriam tua mereka mampu meluluhlantakkan sekutu”.
Terinspirasi hal tersebut, Soekarno membentuk lembaga pemikir yang mengkaji persoalan geopolitik dan geostrategi. Sekarang kita kenal sebagai Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
Sejak dahulu, bangsa ini telah menerapkan pemahaman tentang geopolitik sebagai geosrategi dalam melakukan perlawanan. Perang di tanah Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, Perang Paderi di bawah komando Imam Bonjol, Perang Sabil di tanah rencong Aceh dan Perang Gerilya pasukan Republik yang dipimpin oleh Jendral Soedirman, semuanya memanfaatkan kondisi geografis.
Tentunya, medan geografi Nusantara kala itu sangat asing bagi penjajah. Sehingga menguntungkan bagi yang memahami kondisi medan tersebut. Contoh yang sangat sederhana untuk memahami pentingnya geopolitik
Ratzel (1897) menyatakan bahwa negara dalam hal-hal tertentu dapat disamakan dengan organisme. Yaitu mengalami fase kehidupan dalam kombinasi dua atau lebih. Antara lahir, tumbuh, berkembang, mencapai puncak, surut, dan mati.
Inti ajaran Ratzel adalah teori ruang yang ditempati oleh kelompok-kelompok politik (negara-negara) yang mengembangkan hukum ekspansionisme. Baik di bidang gagasan, perumusan maupun produk.
Untuk membuktikan keunggulannya, negara harus mengambil dan menguasai satuan-satuan politik yang berkaitan. Terutama yang bernilai strategis dan ekonomis. Dasar dari pemikiran Ratzel lah yang saat ini digunakan oleh banyak negara dalam menyikapi persoalan geopolitik yang terjadi.
Urgensi Penerapan Geopolitik
Dewasa ini, sentra geopolitik perlahan tapi pasti mulai beranjak berubah. Dari kawasan Timur Tengah yang kaya akan minyak, menuju Asia Pasifik yang kaya akan sumber daya alami terbarukan.
Tiongkok yang membangun negaranya lebih luas disisi timur memerlukan energi yang tidak mampu dihasilkan oleh negaranya. Kita semua tahu, bahwa lebih dari 70% energi Tiongkok adalah impor. Batubara merupakan salah satu impor terbesar Tiongkok dari Indonesia.
Dalam upaya mendukung pembangunan tersebut, Tiongkok memerlukan letak strategis Indonesia yang mempunyai kendali penuh bersama Malaysia atas laju kapal-kapal di Selat Malaka. Artinya, dalam ilmu geopolitik, jika Indonesia-Malaysia memutus jalur kapal-kapal Tiongkok, maka akan berdampak cukup serius bagi pembangunan ekonomi negara tersebut.
Terkait dengan posisi Geopolitik Ibu Kota baru, Lutfi Mutaali hanya berbicara terkait posisi dengan daerah lokal. Ia mengatakan, bahwa hampir semua provinsi di Pulau Kalimantan menginginkan dirinya untuk menjadi lokasi terpilih. Jadi tidak ada persoalan.
“Masyarakat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan relatif lebih terbuka dan heterogen dibandingkan Kalimantan Tengah. Keduanya juga memiliki sejarah panjang dengan wilayah luar dengan daya terima cukup besar. Disamping konflik sosial juga relatif rendah,” tutur Luthfi.
Meninjau Tujuan Utama Pemindahan Ibukota
Bagi saya kacamata Geopolitik harus lebih luas dan visioner. Seperti yang pernah Soekarno lakukan Pada tahun 1957. Ia telah merencanakan masterplan dengan menjadikan Palangkaraya, Kalimantan Tengah sebagai Ibu Kota Negara Indonesia. Gagasan ini tentunya diintegrasikan dengan komitmen menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Mempelajari Geopolitik berarti memandang suatu persoalan bangsa dengan wawasan dan tinjauan yang luas. Jika Soekarno mempunyai tujuan besar untuk meletakkan Palangkaraya sebagai Ibu Kota negara ketika itu, lalu apa tujuan besar dari Presiden Jokowi? Bagaimana tinjauan secara geopolitik terhadap kawasan Penajam Paser Utara?
Rakyat tentu berharap pemindahan Ibu Kota negara tidak cukup hanya tinjauan politis yang justru menimbulkan kegaduhan tanpa solusi jelas. Ingat! bahwa negara ini dibangun atas gagasan dan pemikiran.
Lemhanas sebagai lembaga negara yang bergerak dalam pengkajian permasalahan strategis nasional, regional, dan internasional diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan geopolitik. Kemudian merencanakan geostrategi agar menjadi pijakan bagi pemerintah dalam mengambil setiap keputusan.
*Mahasiswa Fakultas Geografi, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta 2019