Perspektif

Identitas Perempuan di Balik Konflik Ekologi

2 Mins read

Sebuah tahapan peta jalan (roadmap) dalam mengetahui bagaimana perempuan turut serta berperan dalam upaya mencapai tujuan besar dalam mempertahankan wilayah khusus yang disebut dengan lingkungan, diskursus perempuan dan sumber daya alam (Kartika, 2018: 1).

Dikeluarkannya Omnibus Law atau yang biasa disebut sebagai ‘Undang-undang Sapu Jagad’ yang tidak lain juga menyinggung tentang legitimasi investor asing yang dipermudah dalam akses investasinya di lingkungan serta mengabaikan investasi lokal dari masyarakat.

Undang-undang ini dipercaya dan diramalkan akan membawa percepatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis (Man-made Disaster) dan kerusakan lingkungan yang berkepanjangan.

Kasus di Desa Penago Baru

Jika tercium aroma otoritas negara dalam menghentikan operasi ekstraktif tambang ataupun jenis eksploitasi lain bukan untuk menyejahterakan rakyat, atau melindungi rakyat dari kerusakan alam dan kepunahan sumber daya di dalamnya, tetapi merupakan sinyal perlindungan terhadap korporasi.

Sebagai contoh tanda sikap politis tersebut tampak di Desa Penago Baru, Kabupaten Seluma, Bengkulu, pembangunan desa bekas konflik tambang tidak mendapat afirmasi pemulihan. Pemerintah seakan membiarkan pemulihan desa bekas konflik tambang ini sepenuhnya kepada kearifan lokal dan kemudian mereka berlepas tangan dari penyelesaian konflik tersebut.

Contoh tersebut akhirnya membawa gerakan pemulihan kerusakan fisik yang dikelola oleh masyarakat sendiri, sebagai akibat dari operasi tambang, pemulihan lubang raksasa (pits) di Desa Penago Baru, sampai tahun 2017 dan tidak mengalami perubahan juga sampai sekarang.

Perlawanan Konflik Ekologi

Hasil penelitian tentang perempuan dan tambang yang dilansir dari cerita perempuan Desa Penago Baru menjadi terlihat (visible) dan memperlihatkan penguatan terhadap kepemimpinan perempuan (Kartika, 2018: xiv). Ketertindasan, intimidasi, disintegrasi sosial, dan pudarnya solidaritas sosial di desa, mendorong perempuan terlibat dalam perlawanan korporasi.

Baca Juga  Hari Ibu Indonesia, Bukan Hari Ibu Rumah Tangga

Gerakan perempuan itu mewarnai lembaran baru dalam sejarah gerakan sosial di Bengkulu. Gerakan melawan dari kaum perempuan yang lain ada pada kisah perempuan dalam tiga vingettes; perempuan penangkap burung, perempuan memeluk masjid, dan remis sebagai sumber kehidupan, yang belum terpublikasikan. Ketiga vingettes ini adalah narasi penting dalam gerakan perempuan lokal melawan kapitalis global.

Studi di atas memberi sebuah penerangan bahwa temuan menarik tentang keterlibatan gerakan perempuan untuk mengakhiri eksploitasi tambang pasir besi multinasional, ternyata perempuan memiliki sumbangsih besar terhadap perlawanan menolak tambang. Ketika pemimpin mereka dikriminalisasi, maka di situ perempuan berada pada pusaran utama lingkar gerakan.

Identitas dalam Kultur Konflik

Studi lain di Desa Praikaroku Jangga, Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Kabupaten Sumba Tengah, NTT, dalam pascakonflik tambang emas. Perempuan yang berada pada situasi konflik tambang. Merekalah yang mengisi rongga gerakan sosial mulai dari pengumpulan logistik, memastikan kecukupan pangan, menyumbang pemikiran dan strategi, hingga aksi memimpin barisan depan dalam demonstrasi.

Pertama, publikasi terhadap keterlibatan perempuan hampir tidak ada atau sangat kurang. Walaupun berita tentang perlawanan ini sangat layak dipublish di khalayak, namun, dokumentasi tentang keterlibatan perempuan tersimpan dalam tutur di antara perempuan saja tanpa ada yang menguaknya.

Identitas inilah yang seharusnya bisa dimunculkan bahwa setiap masyarakat punya hak yang sama untuk turut serta dalam menjaga lingkungan dan menolak korporasi ekploitasi lingkungan dalam bentuk apapun.

Kedua, fenomena tersembunyi di balik hal ini, ada suara bisu yang tidak disuarakan pada sisi gerakan anti tambang yang perlu dibuka dan diberitahukan kepada publik. Ketersediaan tutur dari kontribusi kelompok perempuan atas keberhasilan aksi dan pemikiran mereka dalam mengakhiri aktivitas tambang.

Baca Juga  Masjid-masjid Sekuler

Perlu Dokumentasi

Catatan inilah yang perlu didokumentasikan dalam bentuk tulisan, sesuai dengan harapan dan kenyataan yang dilakukan para perempuan aktivis lokal anti tambang. Mereka mengharapkan pengakuan atas perjuangan memperebutkan ruang hidup untuk dirinya sendiri, keluarga, terutama anak-anak sekarang dan masa depan.

Dari catatan inilah, tampak bahwasanya pengalaman kelompok perempuan tentang alam dan sumber dayanya, serta perjuangan perempuan mempertahankan tanah beserta lingkungannya, merupakan pengetahuan yang autentik serta menakjubkan, yang sangat filosofis dan belum terungkap.

Editor: Arif

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds