Idulfitri: Mengembalikan Autentisitas Diri
Gema takbir malam Idulfitri dari lembah, ngarai, pegunungan di daerah pedusunan, hingga rumah mewah dan gedung mencakar langit di perkotaan, menembus langit dunia menuju hadiratNya. Suasana kebahagian yang berpadu dalam keharu-biruan batin hanya terwakili oleh gerimis di pipi dan alunan takbir, yang menyinta kesadaran insani.
Tidak ada kebesaran yang perlu dipertontonkan; tidak ada kesombongan yang harus diviralkan; tidak perlu kedigdayaan diri ditunjukkan; dan tidak berguna kemewahan dipublikasikan. Karena, kebesaran ada dalam genggaman Azza wajalla. Kita hanya mampu meleburkan diri dalam butiran debu dalam kemahabesaranNya: Allahuakbar!
Idulfitri adalah siklus tahunan, di mana umat Islam memulai kembali perjalanan spiritual hidup setahun ke depan, dengan semangat baru: kefitrahan yang ada dalam dirinya, setelah selama sebulan ia melakukan penyucian diri, dengan berpuasa dan melakukan amal ibadah, yang menjadikannya menemukan kembali dirinya yang asal, yang fitrah. Itu sebabnya kita sama-sama mengucapkan ja’alana Allah-u min al-‘aidin wa al-faizin wa al-maqbulin (semoga Allah menjadikan kita semua kembali ke fitrah kita dan menang melawan dosa kita sendiri, serta diterima amal ibadah kita. (Madjid: 2009: 49)
Kata fitrah telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, berarti sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan. Sebenarnya kata fitrah itu berasal dari kosa kata Arab, Fathara, yafthuru, yafthiru, fithrah, yang berarti membelah, merobek, mengoyak, mencipta, muncul dan terbit, memerah susu dengan ujung jari tangan. Fithrah dipakai pula sebagai sinomim jablah (dibaca pula Jiblah, jabalah dan jibilah), thahi’ah, dan sajiyyah, yang berarti tabiat asali yang dibawa sejak lahir. (Ali: 2002: 89)
Mengembalikan Autentisitas Diri
Ada beberapa poin penting dalam memaknai Idulfitri dalam mengembalikan autentisitas diri manusia-tauhid:
Pertama, autentisitas manusia-tauhid telah terikrar pada perjanjian primodialisme di alam rahim.
Apabila ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya semua manusia yang hidup di bumiNya ini, telah melakukan perjanjian primodialisme antara dirinya (manusia) dengan Tuhannya di alam rahim, seperti firman Sang Maha Cinta Agung:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS. Al-Ar’af {7}: 172)
Esensi ayat di atas memafhumi kita, bahwa semua manusia, apapun bangsa, agama, suku, bahasa, bentuk/rupa dan jenis kelaminnya di dunia ini. Semua mereka memiliki fitrah. Fitrah menempati batin/rohaniah manusia terdalam, maka keinginan untuk kembali ke jalan Kebenaran merupakan tabiat manusia. Betapapun jahatnya manusia, suatu saat pasti ia ingin kembali kepada fitrah (suci, bening, benar, dan lurus), hanya nafsu amarah bissu’ dan nafsu lawwamah yang menghalangi jalan ke hadirat Allah.
***
Kedua, autentisitas dalam penciptaan manusia cenderung pada Kebenaran/fitrah.
Sang Maha Cinta Agung menjelaskan dalam firmanNya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum {30}: 30)
Para mufasir mengartikan kata fitrah Allah yang maksudnya adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Sejurus dengan itu dalam hadits Sang Pembawa Risalah Cinta Agung menjelaskan:
Setiap anak dilahirkan atas fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR. Muslim)
Ketika Abu Hurairah r.a meriwayatkan hadits di atas, ia menghubungkan dengan ayat Qur’an di atas sebagai isyarat bahwa fitrah yang ada pada diri manusia adalah tabiat alami yang suci dan inheren dengan agama Allah yang suci.
***
Ketiga, autentisitas manusia merupakan desain Ilahi.
“Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah {2}: 138)
Kata Shibghah dalam ayat di atas artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan. Abu al-Aliyah mengartikan “Celupan Allah” ialah fitrah Ilahi yang mewarnai rohani manusia. Fitrah Ilahiah lah yang menjadi warna dasar rohani manusia sehingga menjadi sebaik-baik bentuk. Seperti firman Sang Maha Cinta Agung, “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin {95}: 4).
Esensi Idulfitri
Ketiga poin di atas, menyadarkan kita sebagai hambaNya, bahwa Idulfitri esensinya bukanlah ‘karnaval’ yang dirayakan dengan simbolik, berupa pakaian serbabaru, kue serbalezat, pelisiran diberbagai objek wisata, unjuk kedigdayaan diri, pristise, harga diri dan pesona materi lainnya. Akan tetapi, subtansi idul fitri adalah menggembalikan manusia-rohani pada jalan fitrahnya (suci, bening, benar, dan lurus) yang telah dilakoni melalui tazkiyatunnafs berupa laku puasa, salat fardu dan sunnah, membaca Al-Qur’an, berinfak, dan amal saleh lainnya selama sebulan penuh, secara istiqamah.
Laku hidup yang fitrah (suci, bening, benar dan lurus) selam sebulan, seharusnya dapat tetap terpelihara kefitrahannya dalam melakukan aktivitas hidup untuk sebelas bulan ke depannya. Apabila hal itu bisa dilakukan berarti sang hamba telah memelihara autentisitas dirinya sebagaimana ia diciptakan hingga ia dimatikan; selalu terbuhul perjanjian primordialisme di alam rahim dengan kehidupan nyata; dan berbading lurus antara “desain” Ilahi dengan polah-tingkah di sehari-hari, sampai el-maut menjemputnya dengan husnul khatimah; serta senantiasa bertobat apabila melakukan kesalahan supaya terpelihara kesucian, kebenaran, kebeningan dan kelurusan dirinya.
Akhirnya, seperti kata Ibnu Arabi, “Fitrah adalah cahaya (nur) yang membelah kegelapan mumkinat (alam yang serba mungkin) dan berfungsi membedakan beragam bentuk.” Jadi, nur melambangkan kecerahan dan kesucian. Mari kita kembalikan autentisitas diri sebagai manusia rohani. Itulah hakikat idul fitri yang sesungguhnya.
Wallahua’lam bishshawab.
Editor: Nabhan