Akhlak

Ikhlas itu Merelakan dan Menenteramkan Hati

3 Mins read

Pada hari Minggu pagi, saya bangun sedikit terlambat, lantaran semalam begadang tak karuan. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya. Iseng-iseng saya berselancar di Instagram sambil melihat kalau-kalau ada up-date berita terbaru. Tanpa sengaja, saya sampai pada cuitan akun @mardiguwp, atau lebih dikenal Bossman. Ia merupakan ciri orang yang menurut saya sangat berani, tegas, ikhlas, dan cerdas tentunya.

Banyak video-video viralnya menyindir payung hukum yang sering menjadi kontroversi. Oke, kembali kepada cuitan tadi yang intinya cerita tentang pengalaman boss Mardigu saat berteduh dari hujan yang mengguyur bumi Jakarta. Beliau tanpa sengaja mendengar percakapan seorang anak dan ayahnya yang juga ikut berteduh.

Anak itu mengomel dikarenakan ada mobil yang lewat lalu mencipratkan genangan air ke baju mereka. Dengan tenang, sang ayah mengatakan bahwa jangan marah, itu adalah energi yang negatif. Sebaliknya, belajarlah ikhlas. Sebab ikhlas adalah energi yang positif. Doakan saja orang tadi agar selamat sampai tujuan. Selang beberapa menit, datanglah sebuah mobil Alphard, lalu mereka berpamitan pulang kepada Bossman dan beberapa pengendara yang masih berteduh.

Ikhlas adalah Pekerjaan Hati

Luar biasa, sungguh cuplikan kejadian yang mengharukan juga patut untuk diteladani. Khususnya bagi para sultan (baca: orang kaya) di zaman sekarang. Sulit menjumpai sultan-sultan yang rendah hati serta bisa mendidik anak dengan pembelajaran kehidupan yang bermakna.

Masih banyak orang kaya yang pongah, selalu menganggap bahwa kehidupan ini hanya tentang harta, tahta, dan wanita. Intisari dari pengalaman Bossman tadi ialah mengenai keikhlasan. Suatu hal yang pada hakikatnya ialah pekerjaan hati. Ikhlas hanya sang pelaku dan Allah yang tahu. Tidak bisa ditakar oleh siapapun.

Baca Juga  Inilah Tiga Manfaat Melatih Jiwa Keikhlasan

Agama Islam ialah agama yang menyeru kepada keikhlasan. Sebagimana termaktub dalam Al-Qur’an: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar mereka melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)”.

Ternyata salah satu syarat untuk menjalankan agama Islam secara lurus ialah ikhlas. Di rumah biasanya, saya dan saudara-saudara saya diwajibkan oleh orangtua untuk bersih-bersih rumah setiap harinya. Tak jarang saya yang waktu itu sering disuruh ini dan itu. Jika sudah lelah dan capek, maka saya pasti menjawab ketus permintaan ibu. Lalu ibu akan  mengatakan bahwa kalau kerja harus ikhlas.

Dari sini saya menarik kesimpulan bahwasanya ikhlas masih dinilai secara zahir (luar) saja. Padahal tidak demikian setelah saya menempuh pendidikan pesantren 6 tahun di Balikpapan. Sebuah lingkungan yang visinya ingin membangun peradaban Islam. Di pesantren ini, tiap hari Minggu ada kegiatan kerja bakti.

Semua kalangan ikut serta, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Tak satu pun yang luput. Kerja baktinya pun bermacam-macam. Mulai dari membersihkan selokan, membuang rumput liar yang tumbuh di empang, membersihkan jalanan, serta membabat hutan liar untuk dijadikan kebun tanaman. 

Semua itu dilakukan dengan lapang dada. Tak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin. Antara pejabat dan rakyat sama rata. Tak ada keluhan sama sekali. Tidak ada yang diistimewakan.

Ikhlas itu Merelakan

Inilah implemantasi dari keikhlasan. Semuanya hanya mempunyai satu pegangan, Sami’na wa Ata’na (Kami dengar dan kami taat). Penilaian Allah terhadap hambanya bukan sebanyak apa amalan kebaikannya. Dalam surah al-Mulk dikatakan, kita ini diciptakan untuk menguji siapa di antara kita yang paling baik amalnya. Sedangkan ikhlas merupakan tolak ukurnya. Perbuatan baik manusisa seketika akan sia-sia jika dalam hatinya sudah terbesit sifat pamrih, jumawa, serta ingin dilihat khalayak. 

Baca Juga  Nasihat Imam az-Zarnuji dalam Berdiskusi

Ikhlas berarti merelakan baik yang datang maupun pergi. Meskipun tidak sesuai dengan rencana kita, namun yakinlah akan ada gantinya di kemudian hari. Seseorang yang meninggal dunia contohnya, itu merupakan suatu keniscayaan. Mau tidak mau, suka tidak suka, maut pasti menjemput kita. Pada waktu lain, kita acap kali kalang kabut jika ada barang yang kelupaan. Padahal belum tentu hilang, tapi pikiran kita terburu-buru berprasangka buruk. 

Hikmah Suatu Keikhlasan

Saya pernah membaca sebuah buku karya Ahmad Rifa’I Rif’an. Beliau menceritakan kisah seorang mahasiswa yang berada di Amerika. Ia mempunyai cita-cita menjadi seorang astronot yang ingin sekali menikmati keindahan luar angkasa. Suatu ketika ada penerimaan calon astronot yang akan mengikuti ekspedisi ke luar angkasa.

Mahasiswa Ini pun tak mau ketinggalan kesempatan emas itu. Ia lalu mendaftar dan mengikuti tes seleksi. Alih-alih mengikuti tes tersebut, ada sekita seribu orang yang mendaftar. Pada tahap pertama, ia berhasil lolos dalam klasifikasi 100 besar. Perasaannya mulai deg-degan. Lanjut ke tahap berikutnya ia masuk ke 50 besar. Hingga sampailah mahasiswa itu pada 10 besar. Dan sudah barang tentu tantangannya pun semakin sulit. 

Beberapa hari kemudian, keluarlah surat keputusan dari lembaga yang mengadakan tes astronot. Sangat disayangkan, namanya tak ada dalam 3 orang yang akan terbang ke luar angkasa. Mahasiswa itu merasa terpukul akibat kegagalan mewujudkan impiannya. Tibalah harinya untuk ekspedisi di mulai.

Semua warga berkumpul untuk menyaksikan kejadian langka tersebut tak terkecuali sang mahasiswa ini. Lalu roket pun diterbangkan, para penonton bersorak-sorak sambil bertepuk tangan. Naasnya, sepuluh detik kemudian roket itu pun meledak seketika, “Boooom”. Masyarakat panik lalu menyelamatkan diri dari serpihan badan roket yang jatuh ke tanah. 

Baca Juga  Etika Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Imam al-Ghazali

Rupanya sang mahasiswa ini mengucap syukur berulang kali dalam hati. Jika saja ia yang berada di dalam roket itu, tentunya ia tidak bisa lagi mewujudkan harapan-harapan yang lain. Ini yang saya maksudkan dengan ikhlas. Merelakan hal yang sekalipun sangat kita nanti-nantikan. Ada skenario Tuhan yang pastinya lebih baik untuk kita selanjutnya.

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Putra Lamakera, Nusa Tenggara Timur. adhejunaidiie.blogspot.com
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds