Dalam konteks yurisprudensi dan akidah Islam, hadis menempati posisi yang cukup penting yaitu sebagai sumber hukum dan ajaran kedua setelah Al-Qur’an.
Penempatan hadis sebagai sumber hukum kedua di bawah Al-Qur’an tentunya menciptakan tanda tanya, pasalnya Nabi Saw menyebut Al-Quran dan hadis secara bersamaan sebagai pegangan untuk umat muslim agar tidak tersesat dalam menjalankan kehidupan.
Dapat dipahami bahwa Nabi Saw mensejajarkan Al-Qur’an dan hadis sebagai dua sumber ajaran utama dalam Islam. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan fakta bahwa hari ini hadis sendiri dinomorduakan dalam ajaran Islam.
Penomorduaan hadis oleh para ulama Islam tentunya dilakukan bukan tanpa alasan. Salah satu alasan utama penomorduaan hadis adalah karena Al-Qur’an diriwayatkan secara qath’i wurud (Riwayat yang pasti benar kapanpun dimanapun). Sedangkan hadis sendiri diriwayatkan dengan zhanni wurud (Riwayat yang mengandung keraguan akan kebenarannya).
***
Sederhananya adalah bahwa teks Al-Quran yang ada sekarang ini sudah pasti valid kebenarannya karena dijamin langsung oleh Allah swt keotentikannya. Sedangkan teks hadis belum pasti kebenarannya, karena tidak ada jaminan mengenai itu.
Tidak mutlaknya keotentikan hadis dapat dibuktikan dengan fakta bahwa terdapat sangat banyak hadis palsu yang beredar di sepanjang zaman, sedangkan Al-Qur’an jarang sekali atau bahkan tidak ada isu terkait kepalsuan yang muncul kapanpun dan dimanapun.
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa hadis mengalami semacam isu validitas dan otentisitas. Isu validitas hadis bisa dibilang merupakan salah satu penyebab terbesar dinomorduakannya hadis oleh ulama dan umat Islam.
Dinamika Hadis Pra Kodifikasi
Mengenai keraguan akan otentisitas hadis, perlu diketahui bahwa hadis dibukukkan atau dikodifikasi pada tahun 100 hijriyah. Terdapat rentan waktu cukup lama antara wafatnya Nabi Saw dengan pembukuan hadis.
Dalam rentan waktu yang cukup lama itulah, hadis mengalami beberapa gejolak perkembangan. Dinamika yang terjadi antara rentan waktu tersebut antara lain:
Pertama, pelarangan para sahabat untuk terlalu banyak meriwayatkan dan menyebarkan hadis karena dikhawatirkan akan mengganggu fokus umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an. Pelarangan tersebut terjadi di zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Kebijakan Khalifah tersebut tentunya berdampak pada kuantitas hadis-hadis yang ada pada zaman ini. Sangat besar kemungkinan banyak hadis yang hilang di zaman itu, karena tidak pernah didiskusikan dan akhirnya terlupakan oleh para sahabat.
Kedua, mulai munculnya hadis-hadis yang dipalsukan demi kepentingan politik dan golongan. Pemalsuan hadis tersebut sangat marak terjadi di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib.
Adapun hal yang melatar belakangi pemalsuan adalah fanatisme umat Islam terhadap dua tokoh politik yang berselisih hebat pada zaman itu, yaitu Ali dan Mu’awiyah. Diantara dampak perselisihan mereka adalah para pendukung mereka rela membuat hadis palsu demi kepentingan politik dan pengagungan terhadap tokoh tersebut.
Ikhtiar Ulama dalam Menjaga Otentisitas Hadis
Demi menjaga kesakralan dan otentisitas hadis Nabi, para ulama yang hidup di abad awal hijriyah melakukan berbagai macam upaya yang hasilnya dapat kita rasakan hingga saat ini. Bentuk dari upaya-upaya penjagaan otentisitas tersebut terus berkembang dari masa ke masa mengikuti perkembangan isu-isu hadis yang hadir.
Beberapa upaya yang dilakukan oleh para ulama menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam bukunya Mabahits Fi Ulumil Hadis antara lain:
Pertama, para ulama mulai menjadikan aspek kepribadian seorang rawi sebagai pertimbangan dalam menentukan validitas hadis. Apabila seorang rawi tidak adil (baik akhlaknya) dan tidak memiliki kualitas intelektual yang baik, maka hadis tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai hadis shahih. Konsep ini kemudian terus dikembangkan hingga menjadi cabang-cabang keilmuan baru seperti jarh wa ta’dil dan tarikh ar-ruwah.
Kedua, para ulama menyusun sanad sebagai bukti bahwa hadis tersebut memang berasal dari Nabi Saw. Para ulama bahkan menjadikan ketersambungan sanad sebagai syarat pertama validitas hadis. Mengenai sanad hadis, Imam Abdullah bin Mubarak menegaskan bahwa sanad adalah bagian dari agama, karena apabila tidak ada sanad, maka orang-orang akan secara bebas dan sembarangan menyandarkan sesuatu kepada Nabi Saw.
Ketiga, melakukan kodifikasi hadis sebagai upaya mendokumentasikan hadis secara sistematis. Hasil dari upaya ini bahkan masih dapat kita rasakan hingga saat ini berupa kitab-kitab hadis primer maupun sekunder yang telah dicetak dan diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.
Perlu diketahui bahwa para ulama hadis juga mendokumentasikan hadis-hadis dhaif bahkan hadis palsu ke dalam kitab mereka, hal itu bertujuan agar umat Islam mengetahui tentang kedhaifan atau kepalsuan hadis tersebut dan tidak tersesat karenanya.
Keempat, para ulama mengembangkan berbagai macam bidang keilmuan hadis demi menjawab dan menyelesaikan problematika tentang hadis. Berkembangkannya kajian ilmu hadis hingga saat ini, membuka peluang bagi seluruh umat Islam untuk mempelajarinya dan mulai mencoba mengimplementasikannya kepada hadis secara langsung sebagai upaya untuk membedakan kualitas hadis shahih dan dhaif.
Dampak Positif dari Ikhtiar Para Ulama
Upaya-upaya yang dilakukan oleh ulama-ulama hadis dari zaman dulu hingga zaman kini tentunya memberikan dampak yang luar biasa bagi hadis itu sendiri. Salah satu dampak terbesarnya ialah mulai terselesaikannya isu keraguan akan validitas dan keotentikan hadis.
Melalui berbagai macam metode analisa otentisitas dan bidang-bidang keilmuan hadis tersebutlah para Ulama hadis berhasil mengedukasi umat muslim mengenai kualitas, validitas dan otentisitas hadis yang tersebar di masyarakat.
Editor: Daib