Falsafah

Ikhwan Al-Shafa: Upaya Merekonsiliasi Agama dan Filsafat

4 Mins read

Tentang Ikhwan Al-Shafa

Ikhwan Al-Shafa atau dikenal dengan “persaudaraan suci” merupakan nama kelompok pemikir Islam yang pergerakannya secara rahasia. Kelompok dan para anggotanya merahasiakan diri dan aktivitas mereka, sehingga identitas dari kelompok ini tidak jelas.

Kelompok ini berasal dari sakte Syi’ah Isma’iliyah yang lahir di tengah-tengah masyarakat Sunni yang eksis pada abad ke-4/10 M (373 H/983 M) di Basrah.

Nama Ikhwan Al-Shafa diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita kalilat wa Dumnat  yang diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa’. Penamaan khulan al-wafa’, ahl al-Adl, dan Abna’ al-Hamd kepada kelompok bertujuan untuk menjaga kerahasiaannya.

Keberadaannya baru terungkap setelah berdirinya kekuasaan Dinasti Buwaihi berpaham Syiah di Baghdad pada tahun 983 M. Kerahasiannya kemungkinan dipengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syiah karena basis pergerakannya berada di tengah masyarakat Sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya.

Kelompok ini tentu tidak sejalan dengan kelompok Sunni yang menganggap filsafat bukan “anak kandung” peradaban Islam dan juga refleksi radikal sebagai ciri filsafat. Mereka sangat dikhawatirkan oleh ulama Sunni karena dianggap bisa mengguncang iman.

Kondisi inilah yang membuat pergerakan kelompok Ikhwan Al-Shafa dipengaruhi oleh faham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syiah. Kendati identitasnya tidak jelas itu hanya sebagai upaya menyelamatkan diri.

Baik dari pihak yang mencurigai dan memusihi filsafat, ataupun dari pihak penguasa yang  menyadari kecenderungan politik kelompok ini ketika menampakkan diri.

Kelompok Ikhwan Al-Shafa ini berawal dari pertemuan kemudian menyusun organisasi yang pergerakannya tertutup. Di antaranya adalah Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr Al-Busti yang terkenal dalam sebutan Al-Muqoddasi, Zaid Ibnu Rifa’ah, Ahmad Ibnu Abd Allah, dan Abu al-Hasan  Ali ibnu Harun al-Zanjani. Tokoh-tokoh ini menyusun Rasail Ikhwan Al-Shafa yang akan bergerak untuk mengubah pemikiran yang cenderung tradisional.

Baca Juga  Sejarah Matinya Filsafat dalam Dunia Islam

Karena mereka menganggap bahwa agama sudah dinodai dengan paham yang sudah tak sesuai dengan syariat yang akan dituntun kembali dengan jalan Filsafat.

Tiga Taraf Filsafat Ikhwan Al-Shafa

Dalam hal ajaran filsafatnya, Ikhwan Al-Shafa memiliki tiga taraf. Pertama taraf permulaan (mencintai pengetahuan). Kedua taraf pertengahan (mengetahui hakikat manusia dari segala yang ada). Ketiga taraf akhir (berbicara dan beramal sesuai dengan ilmu pengetahuan).

Ikhwan Al-Shafa berusaha merekonsiliasi agama dengan filsafat dan juga agama dengan agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariat telah dikotori dengan berbagai macam kejahilan dan dilumuri dengan berbagai macam kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.

Usaha Merekonsiliasi Agama dana Filsafat

Usaha rekonsiliasi antara agama dan filsafat sebenarnya telah dilakukan al-Farabi dan Ibnu Sina. Akan tetapi, bedanya kedua filosof Muslim ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat dan agama, sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an.

Sementara, Ikhwan Al-Shafa melangkah lebih jauh, mereka melepaskan sekat-sekat perbedaan agama. Karenanya, rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan agama Islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama, ajaran, dan keyakinan yang ada itu, dipertemukan dan disusun antara filsafat Yunani dan syariah Arab. Maka, akan menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih sempurna.

Kesan bahwa kelompok ini menempatkan filsafat di atas agama sebenarnya tidak lah demikian. Ikhwan Al-Shafa hanya menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu.

Tentunya, kesimpulan ini didukung dengan pernyataan mereka dalam bidang agama. Menurutnya, ungkapan Al-Qur’an yang berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkat nalar orang Arab Badui. Bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, mereka harus memakai takwil dan melepaskan diri dari pengertian-pengertian indrawi.

Baca Juga  Syafiq Mughni: Islam Berkemajuan itu tidak Tekstual

Sebenarnya, pendapat mereka untuk mempergunakan takwil dalam memahami ayat-ayat yang mutasyabihat merupakan pendapat yang sama di kalangan para filsuf. Menurut filsuf, agama adalah tempat melambangkan secara indrawi (antsal wa rumuz) agar bisa dipahami oleh orang awam yang juga menjadi bagian terbesar umat Islam.

Jika tidak demikian, tentu banyak ajaran agama yang mereka tolak karena tidak memahami isinya. Sebaliknya, kaum filsuf harus mengambil makna metaforis terhadap teks Al-Qur’an yang bernada antromorfisme. Jika tidak, tentu ajaran agama akan ada yang ditolak karena tidak masuk akal.

At-tawfiq (rekonsiliasi) mereka lakukan dengan cara mengambil ajaran-ajaran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka memahami ajaran agama secara rasional.

Filsafat, menurut mereka, diawali dengan mencintai ilmu pengetahuan, kemudian dengan filsafat juga mememahami hakikat segala sesuatu, dan diakhiri dengan beramal sesuai dengan pengetahuan.

Kesamaan Tujuan antara Agama dan Filsafat

Menurut Ikhwan Al-Shafa, ada kesamaan antara filsafat dan agama yaitu dalam hal tujuan. Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejauh kemampuan manusia dengan dasar ilmu yang benar dan akhlak yang mulia.

Agama juga dimaksudkan untuk mendidik jiwa manusia dan mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Keduanya sama  mengarah untuk menjadikan seseorang yang baik untuk bisa mencapai sebuah kebahagiaan dan pada akhirnya bisa dengan mudah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Untuk itulah Ikhwan Al-Shafa berusaha dengan gigih memadukan antar agama dan filsafat, dengan menurunkan metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif murni atau pemikirannya masih dalam bentuk teori yang tidak bisa dijangkau secara aktif-praktis.

Dengan hal itu, harus dimunculkan satu tingkat kepercayaan yang menengahi kepercayaan yang telah ada, yaitu tingkat kepercayaan yang cocok untuk keduanya (orang-orang pilihan dan awam). Hal ini berakar pada akal, ditopang oleh kitab suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari kebenaran.

Baca Juga  Kritik Asghar Ali Engineer terhadap Teologi Islam Klasik

Memadukan Beberapa Ajaran Agama

Mereka juga melakukan pemaduan antara agama-agama yang ada, seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi, dan lainnya. Menurut mereka, tujuan pertamanya itu sama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar ini, mereka menghimpun, menyusun, dan memadukan semua agama menjadi satu agama khusus yang dasarnya adalah asas filsafat yang berakar pada akal dan disempurnakan oleh kitab suci.

Inilah yang akan menjadi benteng dalam negara baru yang mereka impikan. Karena perpaduan antara agama-agama yang dibuat dalam satu agama khusus, akan menghasilkan formula bagi kehidupan.

Usaha al-tawfiq diatas akan menghasilkan kesatuan filsafat dan kesatuan mazhab dan akan melahirkan apa yang disebut dengan al-talfiq (elektrik), yang memadukan semua pemikiran yang berkembang pada waktu itu, seperti pemikiran Persia, Yunani, dan semua agama.

Elektik yang mereka lakukan ialah dengan cara mengambil ajaran-ajaran dari sumber manapun yang mereka nilai benar dan baik. Selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Karena hal inilah mereka tetap mengagungkan agama Islam sebagai agama dan ajaran yang terbaik.

Editor: Yahya FR

Salman Akif Faylasuf
59 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds