Perspektif

Ilmu Sosial Otonom: Motor Penggerak Perubahan

4 Mins read

Lantas apa nilai penting dari ilmu sosial otonom? Dengan adanya ilmu sosial otonom ini, sesungguhnya kita mampu memberikan kontribusi terhadap dinamika pembangunan ilmu sosial secara umum.

Kita memahami bahwa, ilmu sosial otonom memiliki karakter seperti misalnya “berperspektif penyelesaian masalah”, “otonom” dan “terikat dengan upaya-upaya untuk perubahan dan transformasi sosial”. Melalui karakter-karakter inilah, maka patut kiranya ilmu sosial otonom dianggap sebagai jalan baru atau jalan alternatif dalam ilmu sosial, terutama yang hingga saat ini masih didominasi oleh kesarjanaan Barat.

Jalan alternatif ini harus terbebas dari segala dominasi Barat, karena kita memiliki masalah, tradisi, cita-cita kemodernan dan keadaban, serta arah kesarjanaan yang berbeda. Dalam banyak aspek, kesarjanaan Barat dan Non-Barat tentu saja berbeda, meskipun memiliki beberapa kemiripan (Said 1993).

Akan tetapi, hanya memikirkan masalah dominasi dan keberbedaan saja tidaklah cukup. Pemikiran ini juga harus dibawa kepada refleksi yang lebih mendalam yang dapat membangun batas-batasan kritik. Memahami masalah dan kemudian menawarkan solusi sebagai contoh, bisa menjadi upaya yang baik dalam konteks ini.

Mari kita mendiskusikan dua hal penting, yakni masalah dominasi kesarjanaan dan penyelesaian masalah tersebut. Memang masalah yang fundamental dalam konteks dominasi kesarjanaan adalah mengenai hal “kapasitas dan antusiasme para sarjana untuk berpikir kritis” tidaklah terbangun dengan baik.

Di Malaysia dan Indonesia, masih banyak para sarjana yang tidak melakukan refleksi kritis, terutama mengenai pentingnya mengangkat gagasan “alternatif”. Seperti yang disinggung sebelumnya, mereka masih kerap terjebak dalam mengaplikasikan teori-teori Barat, sayangnya tanpa kesadaran mengenai pentingnya mempertimbangkan kecocokan penerapannya, fungsinya dan yang paling penting adalah, mereka terhempas dari akarnya sendiri: masyarakat.

Dalam berbagai karya di bidang antropologi dan sosiologi, yang dapat kita baca melalui buku “Social Science and Power in Indonesia” yang diedit oleh Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (2005), menjadi contoh terbaik mengenai kecenderungan di dalam ilmu sosial yang sama sekali kehilangan dimensi kritisnya.

Baca Juga  Anomali Perilaku Hijrah
***

Karya-karya ini, kebanyakan diproduksi hanya untuk memenuhi pesanan penguasa, sejak era kolonial hingga tahun 1990an. Dalam konteks Orde Baru Indonesia, di bawah jerat yang kuat dari rezim Suharto, bahkan karya-karya dalam ilmu sosial harus diarahkan kepada legitimasi dari proyek pembangunan penguasa. Peran para sarjana ekonomi, khususnya mereka lulusan dari Universitas California, Berkeley, sangatlah kuat di sini (Hadiz & Dhakidae 2005, h. 2-30).

Hal yang sama juga terjadi di Malaysia. Masih banyak akademisi yang mempoduksi karya akademik hanya untuk melayani kepentingan politik penguasa. Bahkan karya-karya tersebut tidak jarang terlalu bergantung kepada teori-teori yang sebenarnya tidak bermanfaat dan tidak berfungsi ketika hendak menjelaskan mengenai masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat (Alatas, SH 1977a; 1977b).

Dalam menanggapi masalah kekeliruan yang serius ini, Alatas menyatakan bahwa “the phenomena of servility and intellectual bondage are not the same as genuine creative assimilation from abroad” (Alatas, SH 2001, h. 36).

Di titik inilah sifat “alternatif” dalam konsep ilmu sosial otonom Alatas menjadi sangat vital. Bersifat alternatif, berarti hal tersebut fungsional, diagnostik, mengakar kuat dengan masyarakat (Alatas SF 2006, p. 82). Hal ini berbeda dengan pelbagai pandangan dominan di dalam ilmu sosial – yang tidak jarang – tidaklah cocok, irelevan dan disfungsi dengan kepentingan masyarakat.

Sebenarnya, ilmu sosial alternatif ini dimaksudkan untuk mengupayakan transformasi kebudayaan, tradisi dan aspek sosial kemasyarakat menuju kepada kondisi dan situasi yang lebih baik (Soedjatmoko 1985).

Ilmu Sosial yang Berakar Kuat

Secara lebih detil, kita memahami betul bahwa konsep alternatif ini tidaklah muncul dari ruang hampa. Sejak era kolonial hingga era globalisasi saat ini, domain kesarjanaan di Malaysia, Indonesia, dan Singapura didominasi oleh Barat, baik dalam bentuk Orientalisme, Eropasentrisme, dan lain sebagainya.

Baca Juga  “Quo Vadis Ulil?” (2): Fikih Lingkungan Saja Tidak Cukup!

Di zaman kolonial, di tangan para orientalis, karya-karya di dalam ilmu sosial, secara intensional diproduksi dalam rangka melayani kepentingan kolonialisme. Sementara itu di era kontemporer ini, karya-karya yang ada, justru mengarah kepada globalisme, nativisme, dan bahkan Islamisme.

Sayangnya, respon yang terburu-buru terhadap dominasi kesarjanaan Barat, bersifat sangat resentimen (bertumpu kepada semangat balas dendam yang picik). Sementara di saat yang sama, masalah utama yang dihadapi tetap tidak terselesaikan (Ibrahim 2016).

Sebagai contoh, kesarjanaan dalam arus poskolonialisme juga hendak membuktikan bahwa “orientalisme” sesungguhnya merupakan jenis kesarjanaan yang salah dan sungguh merugikan masyarakat jajahan.

Dalam hal ini, upaya yang terjauh yang bisa dilakukan oleh sarjana poskolonialis adalah menawarkan oksidentalisme atau bagaimana secara reaktif melakukan serangan balik terhadap orientalisme.

Sementara itu, hal yang lebih buruk adalah melahirkan trend akademik yang mengafirmasi nativisme, chauvinisme kultural, dan Islamisme. Semua ini terjadi sejak terdapat sebagian sarjana yang memiliki tendensi untuk menciptakan ilmu pengetahuan yang berbasis pada tradisinya sendiri dan menolak segala hal yang datang dari tradisi lainnya, terutama Barat (Alatas, F 1999a, h. 9-10; 1999b).

Hal yang terburuk adalah, munculnya gejala perbudakan intelektual. Kecenderungan ini membawa kepada trend kesarjanaan yang menerima akademisme, obyektivisme yang bermakna netralisme, positivisme (Dube 1973) dan jelas, eropasentrisme. Dalam situasi yang demikian, segala hal yang ada harus secara total dipertimbangan menurut kerangka kerja dan idealitas ilmu sosial Barat (Pieris 1976, h. 107-125).

***

Di dalam situasi yang kompleks ini, Alatas mengritik di antara para sarjana yang tidak segera membangunkan kesadaran kritisnya. Bagi Alatas, akal para sarjana tersebut terpenjara. Ia menjelaskan bahwa, akal yang terpenjara (captive mind) adalah (1) “it is alienated from major issues in society”; (2) “it is fragmented in outlook”; (3) “uncreative and incapable of raising original problems”; (4) “a way of thinking dominated by Western thought in an imitative and uncritical manner”; dan (5) “incapable of devising an analytical method independent of current stereotypes” (Alatas, SH 1977, p. 77).

Baca Juga  Belajar Ilmu Agama itu Sangat Penting!

Dalam rangka menyelesaikan masalah ini, perspektif yang kritis dan diagnostik sangatlah diperlukan. Perspektif tersebut mampu memecah kebuntuan dalam berpikir. Oleh karena itu, para sarjana seharusnya memiliki “(1) the ability to identify and being affected by a particular problem of issue confronting the society; (2) the ability to determine and define the problems that emerged; (3) the ability to analyse the problems from various dimensions; (4) the ability to offer viable solutions to solve the problems; and (5) the courage to challenge the existing ideas that have caused the aggravation of the problems confronted.” (Mannheim 1951, h. 4; Ibrahim 2006, h. 24).

Demikianlah tulisan ringkas mengenai ilmu sosial otonom. Ilmu sosial ini sejatinya bersifat alternatif yang diupayakan agar supaya memberikan kontribusi bagi pembangunan ilmu sosial secara umum.

Sifat dari ilmu sosial otonom adalah berbasis masalah, otonom dan difungsikan sebagai motor penggerak perubahan dan transformasi sosial. Ilmu ini, harus mengakar dengan masyarakat sekitar dan dengan demikian berdimensi “keberpihakan”. Ilmu ini juga tidak menghendaki Eropasentrisme maupun nativisme (pribumisme/Islamisme), karena yang paling penting bagi perspektif otonom adalah, bagaimana membantu menyelesaikan persoalan masyarakat.

Editor: Yahya FR
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds