Persoalan keimanan mengenai takdir kerap menjadi persoalan yang mengundang perdebatan panjang hingga rumit diselesaikan. Terlebih jika regulasi terkait takdir tersebut pada situasi dan konteks tertentu bergesekan dengan perkara lain yang juga menjadi tata hukum sendiri pada aspek lain dalam syariat Islam. Pada situasi seperti itu, pandangan moderat yang mengakomodasi kedua sisi perlu diketengahkan.
Salah satu contoh pola dari permasalahan tersebut adalah seperti ketika kita menjumpai suatu kemungkaran, perbuatan dosa, ataupun hal-hal yang dilarang oleh syariat. Pada posisi itu, sebagai yang mengetahui dan menyadari jika yang terjadi di depan mata menyalahi aturan syariat, kita bertanggung jawab untuk menegur hingga meluruskan.
Akan tetapi, terkadang kita dibenturkan oleh semacam keyakinan bahwa, bukankah segala hal yang terjadi di dunia ini semata karena kehendak dan ketentuan Allah? Termasuk kemungkaran-kemungkaran yang tengah kita saksikan? Maka, jika kita berniat dan berikhtiar merubahnya, apakah itu tidak terbilang menolak ketentuan yang sudah digariskan Allah? Tak pelak keadaan seperti itu membuat kita dilematis, minimal dalam ranah berkeimanan akan qada’ dan qadar Allah.
Keimanan dan Tanggung Jawab
Mengenai konteks persoalan di atas, Imam Al-Ghazali (w. 1111 M/450 H) mempunyai jawaban yang ia kemukakan dalam salah satu karya besarnya, Ihya ‘Ulumiddin. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hal tersebut tidak semestinya bertentangan, dan bagi yang masih merasakan keragu-raguan tersebut agar seyogyanya lebih memperdalam lagi pemahamannya akan hal-hal yang menyangkut keberimanannya.
Imam Al-Ghazali menjawab, bahwa keridhaan kita atas takdir Allah (maqamur ridha) dan tanggung jawab meluruskan kemungkaran (maqamul karahah) dianggap bertentangan jika memang kedudukan kedua hal tersebut berada dalam satu perkara dan dalam satu sudut pandang. Oleh karenanya, kedua hal tersebut tidak dianggap bertentangan apabila berada dalam satu konteks perkara namun dalam dua sudut pandang.
Dari rumus yang diajukan Imam Al-Ghazali tersebut, maka dapat dipahami bahwa maqamur ridha dan maqamul karahah seharusnya dilihat sebagai dua sudut pandang yang berbeda, yang sama-sama berjalan, walau berada dalam satu konteks perkara. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa tindakan kita menegur kemungkaran (maqamul karahah) tidak lantas menafikan keimanan kita akan takdir Allah yang absolut (maqamur ridha) (Al-Ghazali: 2005).
Artinya, kita tak perlu ragu untuk merealisasikan tanggung jawab dalam meluruskan kesalahan dan menegakkan apa yang menurut syariat benar tanpa khawatir tindakan kita itu mengganggu keimanan kita akan takdir Allah. Dengan skema sudut pandang yang diajukan Imam Al-Ghazali tersebut membuat kita dapat mengakomodir dua aspek yang terkesan kontradiktif dalam sekali waktu.
Analogi Imam Al-Ghazali
Lebih jelas, Imam Al-Ghazali memberikan sebuah analogi untuk memahami persoalan tersebut. Hal itu seperti andai kata ada orang yang menjadi musuh kita mati, yang notabene musuh kita yang mati itu juga menjadi musuh dari beberapa orang lain yang juga musuh kita. Di satu sisi, kita mungkin tidak senang dengan kematiannya karena melihat bahwa kematiannya tentu menguntungkan bagi musuhnya yang juga musuh kita, akan tetapi di sisi yang lain kita juga senang lantaran orang yang selama ini menjadi musuh kita telah mati.
Demikian pula halnya dengan kemaksiatan dan kemungkaran. Kata Imam Al-Ghazali, agar tidak ada gejolak paradoks dalam mengimani takdir Allah, kita harus melihat kemungkaran dari dua sisi: sisi Allah dan sisi manusia. Dari sisi Allah, kita tetap harus meyakini bahwa betapapun itu sebuah kesalahan, kemaksiatan tetaplah keniscayaan yang sudah menjadi bagian dari takdir dan ketentuan Allah. Dari sisi manusia, meskipun kemaksiatan adalah kehendak-Nya, namun maqam kita sebagai manusia harus menyadarinya sebagai sebuah hal yang dibenci oleh Allah sehingga perlu untuk diluruskan.
Berikhtiar dan Berdoa Bukan Menolak Takdir
Begitu pula dalam konteks lain seperti doa. Barangkali masih ada yang menyimpan kebimbangan, tidakkah berdoa meminta segala sesuatu itu mencederai keimanan dan keridhaan kita atas keadaan yang sudah diberikan Allah kepada kita yang menjadi takdir-Nya?.
Melalui persepsi sudut pandang ganda yang ditawarkan Imam Al-Ghazali di atas menegaskan bahwa, doa dan segala permintaan kita kepada Allah tidak mengganggu keimanan kita terhadap takdir-Nya.
Di satu sisi, keadaan yang sudah terjadi dalam hidup kita memang merupakan ketentuan Allah, akan tetapi kita tak boleh melewatkan sisi yang lain, yakni kesadaran maqam manusia sebagai hamba yang justru keidentitasannya menjadi ada sebab penghambaan, permintaan, dan persembahan doa-doa kepada Allah.
Imam Al-Ghazali memberikan permisalan seperti halnya ketika kita meraih segelas air untuk kemudian kita minum demi menghilangkan dahaga. Upaya kita dalam meraih segelas air untuk diminum agar rasa haus hilang tersebut bukanlah indikator dari ketidakterimaan kita akan keadaan haus yang Allah berikan kepada kita. Justru inisiatif kita untuk meminum segelas air itu adalah bentuk kesadaran penghambaan kita kepada Allah, sekaligus cara seorang hamba dalam “menerima” rasa haus yang telah menjadi kehendak Allah kepada kita (Al-Ghazali: 2005).
Jadi intinya, kita berikhtiar dan berdoa dalam keseharian kita bukan berarti kita menolak apa yang sudah menjadi kehendak atau takdir Allah kepada kita.
Referensi:
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulumiddin. (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2005).
Editor: Rivan